"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
🌺🌺🌺"Enggak, gak mungkin ... kamu salah orang kali, Nel?" kataku pada Nella-teman kerjaku di pabrik garmen. Baru saja dia menunjukkan sebuah foto seorang pria yang tengah duduk membelakangi kamera dan latar belakang sedang berada di sebuah restoran ternama di kota ini.Nella mengatakan, "Aku gak mungkin salah orang, Ly. Jelas banget itu suami kamu, kok. Aku melihat dengan mata dan kepalaku sendiri."Gadis berambut sebahu itu terus berusaha meyakinkanku."Tapi ini rasanya mustahil, Nel. Bagaimana mungkin Bang Danu bisa keluar rumah tanpa memberitahu aku lebih dulu? Kamu tahu sendiri kan, kalau dia lumpuh dan pergerakannya sangat terbatas," kataku sambil menggelengkan kepala berusaha gak suudzon dengan suami sendiri."Aku bingung harus percaya sama siapa? Sahabat atau suami yang sama-sama selalu menemaniku selama ini," batinku sangat bimbang, tetapi aku harus tetap berpikir positif dan mengambil sikap yang hati-hati supaya, tak ada hati yang terluka.Aku adalah seorang istri, juga ib
"Lihat apa sih, sampai kaget dan tegang gitu, Dek?" tanya Bang Danu yang hendak mengulurkan tangannya ke lantai untuk mengambil ponselku.Bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah spontan mengambil ponselku yang jatuh tadi, sebelum keduluan olehnya. Entah kenapa, aku seolah belum siap menginterogasi Bang Danu soal foto itu.Hati kecilku memilih mengikuti arahan Nella, untuk diam-diam mencari tahu kebenaran suamiku. Jika memang benar Bang Danu yang ada di foto itu, kenapa dia tidak pernah cerita denganku?Dengan siapa dia pergi? Semua harus kucari tahu dengan benar dan akurat daripada aku terus saja berprasangka buruk dengan suamiku sendiri."Dek ... kok malah melamun?" Aku terkesiap saat Bang Danu melambaikan tangan di depanku."Hmm ... Maaf, Bang. Aku kurang fokus," jawabku sedikit gugup, namun aku berusaha untuk bersikap santai agar tidak terlalu mencolok."Pertanyaanku belum dijawab loh, Dek! Lagi liat apa sih di ponsel sampai segitunya gak fokus?" tanyanya hendak melihat ponselk
"Jangan main-main, sebaiknya kamu jujur ... atau aku ...," ucapan Nella yang samar terdengar di telingaku tiba-tiba menggantung.Aku yang memang memarkirkan motor agak jauh dari rumah, perlahan berjalan ke rumah dengan segala tanya di kepala.Otakku yang tiba-tiba traveling membuatku buntu. Yang ada dalam pikiranku saat ini, aku ingin tahu tujuan Nella tiba-tiba datang ke rumah tanpa memberitahukan kepadaku lebih dulu.Bukankah ia yang menyuruhku untuk mencurigai suamiku sendiri?Pertanyaan itu terus saja berputar di kepalaku.Bukankah ia pergi dengan calon suaminya?Aku menggelengkan kepala untuk menepis pikiran burukku terhadap suami dan sahabatku.Meski itu sangat mengganggu, apalagi banyak kejadian-kejadian nyata yang berseliweran tentang kasus suami dan sahabat yang selingkuh, terus sahabatnya jadi adik madu lalu istri pertama akan terbuang tanpa belas kasih.Aku menggeleng pelan saat pikiranku menjadi paranoid. "Tidak ... ini tidak mungkin, aku harus memastikannya sendiri," gum
POV Alyera "Kamu ngapain, jalan sambil nunduk? Mikirin apa? Kamu beruntung karena aku datang tepat waktu kalau tidak ... mungkin jidatmu sudah selebar tiang tadi," katanya sambil bertanya, disertai dengan sindiran serta kekehan.Aku memilih memalingkan wajah ke luar jendela menatap pohon yang masih terkena cahaya langit yang mulai redup berganti cahaya malam.Ucapan pria cambang ini benar-benar bikin jengkel, asli."Kok, gak dijawab?" tanyanya lagi membuatku menarik napas dalam."Saum," jawabku singkat."Apa hubungannya, puasa dengan bicara?""Saum bicara," balasku lagi dengan memutar bola mata."Emang ada saum bicara, tapi ngebalas terus dari tadi," kekehnya sembari menatap lurus ke depan. Aku memilih diam tak menjawab lagi."Biar aku tebak," katanya antusias."Gak lagi pengen main tebak-tebakan," protesku"Kamu pas jalan tadi pasti sambil mikirin suami kamu," ujarnya sok tahu banget."Calon mantan suami," ujarku penuh penekanan."Sama aja, kan baru calon berarti masih.""Terserah T
Hari-hariku semakin kacau, kala pulang ke rumah untuk makan siang. Akan tetapi, Nella belum masak sama sekali.Bahkan istriku itu masih betah berlabuh di pulau mimpi dan melukis pulau Kalimantan di sarung bantal.Aku hanya bisa membuang napas kasar, mau marah juga tidak bisa karena sudah bisa ditebak kalau aku akan kalah berdebat sama Nella."Yank! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh Nella yang masih terbungkus selimut itu."Ini udah tengah hari, loh. Udah mau masuk waktu salat Zuhur," ujarku lagi, tetapi Nella tetap bergeming.Saat menyebut salat Zuhur ada yang bergetar di dalam hati. Entah sejak kapan terakhir kali aku melakukan salat. Sudah sangat lama sekali aku tidak melaksanakan kewajibanku sebagai umat yang mengaku beragama muslim.Mungkin aku bisa bisa dinobatkan jadi duta Islam KTP, karena mengaku Islam, tetapi tidak melaksanakan kewajiban.Aku mendadak ingat, Ely. Dia selalu mengingatkan aku untuk salat sambil duduk. Meski aku lebih memilih berbohong dan mengaku sudah mengerjak
"Minggu depan aku akan menikah dengan kekasihku," ucap Nella sambil menatap langit-langit kamar, seolah ada yang membuatnya resah.Lain halnya denganku, aku senang mendengar dia akan menikah. Setidaknya dia tidak memintaku lagi datang kemari, sekedar memuaskan hasratnya.Malam ini aku hanya terpaksa melakukannya karena dia memintaku. Hanya sebagai balas budi ... itu saja. Semenjak mengetahui kalau asetnya juga dipakai oleh bandot tua, aku jadi jijik padanya.Meski kuakui, kalau dia pernah membuatku melayang tinggi ke langit ke tujuh. Tapi, malam ini tidak sama sekali.Aku hanya berusaha membuatnya puas dengan permainanku karena lagi-lagi aku ingin membalas jasanya yang telah membelikanku motor. Meski ngutang, tetapi wanita ini tidak pernah menagih seperti para wanita rentenir."Pakai aja uangnya buat kamu makan sama beli kuota!" ucap Nella menolak setiap aku menyetor upah ngojekku. Itulah yang membuat aku ingin membalas jasanya. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah hidup gembel di
"Bang Danu! Bangun!" samar kudengar suara seseorang memanggil. Lebih tepatnya membangunkan karena terasa tubuhku terguncang."Hem ... Apaan sih, Ly. Aku masih ngantuk ini!" balasku dengan malas dan kembali merapatkan selimut, dan meringkuk sembari memeluk guling."Kok, Ely sih, Bang! Ini aku Nella," protes seseorang yang langsung membuatku terperanjat karena baru sadar kalau aku sedang di rumah Nella, sahabat istriku yang sudah kunikmati keindahan tubuhnya."Eh ... maaf Nella Sayang. Aku lupa kalau sekarang aku ada di rumahmu. Biasanya kan aku dibangunkan sama Ely," balasku sambil menatap wanita yang kini memasang muka cemberut karena merajuk."Apa kejadian yang semalam kamu juga lupa, Bang?" tanyanya membuat aku kembali panas dingin."Oh, jelas tidaklah. Masa lupa sih, sama permainanmu yang sungguh sangat agresif, tapi aku suka," balasku sambil mengecup pipinya yang memerah dan Nella langsung senyum malu-malu.Ah, wanita. Hanya modal rayuan maut saja, sudah luluh mau diapain juga. It
"Pergi kamu dari sini! Jangan pernah nampakkan wajahmu di depanku. Sekarang aku sudah tidak punya anak sama sekali." Bapak melempar tas berisi pakaian ke hadapanku sembari menyuruhku pergi dari rumahku sendiri.Rumah itu memang dibangun memakai dana dari Bapak, tetapi aku berhak tinggal karena aku anaknya satu-satunya. Eh ... malah mau dijual rumah itu, terus diberikan sama Ely. Padahal yang anaknya itu aku, bukan Ely. Ely itu hanya menantu, menantu itu orang luar yang tidak berhak sama sekali.Aku meraih tas itu, lalu bangkit dan pergi tanpa berpamitan pada Bapak dan Ibu. Kulihat Ibu menangis pilu menatap kepergianku, tetapi tak dapat mencegah karena mungkin tidak berani melawan suaminya yang tua bangka itu.Para tetangga masih saja sibuk menonton drama yang sebenarnya sudah selesai. Begitulah parah tetangga, selalu penasaran dengan masalah orang. Bukan untuk simpatik, melainkan ingin menertawakan.Aku yakin seratus persen kalau mereka sedang menertawakan diriku, bahkan mungkin ada
"Sekarang kamu tidak bisa berbuat apa-apa, Sayang. Karena apa? Karena kamu memang masih begitu sangat sangat mencintaiku." Bang Danu semakin mendekat dan menyeringai menjijikkan."Bismillah." Kuangkat kakiku tinggi-tinggi hingga lututku mendarat di selangkangannya."Auw ... Auw ... Arggggg." Bang Danu spontan memegang benda pusakanya dan menjerit-jerit."Syukurin." Kini giliran aku yang menyeringai sinis padanya."Kalau kamu berpikir aku sangat ingin kembali dengan pria sepertimu, kamu salah. Tidak pernah terlintas dipikiranku sama sekali untuk mengambil apa yang sudah aku muntahkan." Aku berpangku tangan di depan Bang Danu yang masih meringis."Kamu jangan besar kepala dan mengkhayal setinggi langit! Karena, kalau itu jatuh sakit. Aku tekankan sekali lagi, aku tidak butuh suami benalu sepertimu.""Ely, Sayang. Kenapa kamu jadi ganas dan bar-bar begini?" tanyanya dengan sekuat tenaga menahan sakitnya.""Aku benar-benar ingin kembali padamu, Sayang.""Ya, ampun. Siapa yang mau lelaki b
"Maaf ... aku tidak bisa," ucapku pada Nella yang terus saja membujuk agar aku meminta bos untuk menerimanya kembali.Padahal dia tau benar siapa aku, apa posisiku di kantor tidaklah penting. Siapa aku yang harus meminta dengan Tuan Adnan ini dan itu.Beliau sudah banyak membantu dan rasanya aku tidak punya muka lagi jika harus meminta bantuan lagi.Bukan aku egois, bukan pula aku marah pada Nella, bukan. Hanya saja, aku benar-benar tidak bisa membantu untuk saat ini."Jadi kamu betul-betul tidak mau membantuku?" tanya Nella dengan tatapan tajam.Aku mengangguk perlahan. "Maaf, Nella.""Ternyata aku salah memanggilmu ke sini. Aku salah karena menganggap kamu itu baik, aku pikir kamu masih Ely yang dulu, sahabatku yang selalu peduli sama semua orang. Sahabat yang selalu menolong orang tanpa pamrih," ujar Nella tampak geram."Aku masih Ely yang dulu, Nel," balasku menatapnya dengan senyuman."Bukan! Kamu bukan Ely yang dulu. Kamu sudah berubah El," ujarnya sengit."Bukan aku yang beruba
"Dek! Gak usah jemput Kakak ya! Soalnya kakak lagi ada urusan dulu sama teman. Kak Ely titip Naifa ya!" pintaku pada Amran melalui percakapan di ponsel sambil berjalan ke luar dari kantor.Hari ini adalah hari pertamanya kerja sebagai mandor di pabrik yang pernah menjadi tempatku berkerja sehari-hari.Karena motor hanya satu terpaksa Amran yang membawa motor itu dan demi alasan keamanan, adikku dengan senang hati mengantar jemput aku setiap hari.Karena semalam, Nella terus memohon untuk ditemui, dengan terpaksa juga aku harus menemuinya.Hati nurani telah mengalahkan logikaku. Harusnya aku menolak tegas karena sudah jelas, Nella selalu ingin memanfaatkan aku saja.Selama ini dia baik dan memperingatkanku untuk menyelidiki suamiku, hanya untuk kepentingannya sendiri. Bukan demi kebaikanku.Sepulang dari kantor baru sempat mengabarkan pada adikku itu karena aku terlalu sibuk dalam kerjaan seharian ini. Tuan Adnan banyak jadwal meeting dan aku tidak boleh lengah dan salah saat bekerja.
"Alyera! Kamu tidak kenapa-kenapa?" tanya pria itu mendadak panik dan hendak menyentuhku, tetapi mungkin ia mengingat teguranku selama ini agar tidak ada kontak fisik membuat ia urung melakukan dan menarik kembali tangannya."Kamu baik-baik saja?" tanyanya sekali lagi membuatku menggeleng pelan tanpa membalas ucapannya. Aku sangat sok dengan kejadian ini sehingga aku mendadak bungkam."Ada yang sakit? Atau Daffa berbuat apa sama kamu?" Lagi-lagi pria cambang ini bertanya.Baru hendak membuka mulut untuk menjawab tiba-tiba aku menangkap dari ekor mataku kalau Daffa hendak melayangkan tendangan pada Tuan Adnan."Awas Tuan," teriakku lantang dan langsung memeluk Tuan Adnan sambil memutar tubuhnya, sehingga tendangan Daffa langsung mendarat di tubuhku."ALYERA ...," pekik Tuan Adnan saat kami berjatuhan di lantai karena aku menjadi tameng untuknya.Sesaat aku melupakan sakit yang diterima tubuhku karena pukulan pria brengsek itu. Aku malah terpana pada sorot mata elang Tuan Adnan yang tib