"Kenapa kamu diam saja? Aku tanya, apa kamu mencintai Joseph?" tanya Bradley menunggu jawaban dari Juliana, karena dia ingin memastikan kalau semua pemikirannya itu benar atau salah. Pertanyaan yang dilontarkan oleh Bradley membuat Juliana bungkam. Dia juga tidak tahu apa yang dirasakannya saat ini. Juliana tidak mungkin berbohong untuk menyenangkan Bradley dan tidak mungkin juga mengatakan kalau dia tidak mencintai Joseph, karena saat ini perasaannya pun sedang bimbang. Melihat diamnya Juliana, Bradley pun kembali mengajukan pertanyaan yang berbeda. "Kalau begitu, apa kamu masih mencintaiku?" tanya Bradley lagi tiba-tiba membuat Juliana terdiam. Dia terlihat bingung. Ini sebuah pertanyaan yang menyudutkannya. Saat ini Juliana benar-benar dilanda kebimbangan. Juliana tidak tahu harus mengatakan apa. Melihat Juliana yang lagi terdiam, membuat Bradley berdecak kasar. Dia menatap wanita di sampingnya dengan tajam dan kecewa. "Kamu mulai meragukan perasaanmu padaku dan aku tidak su
Suara pintu dibuka dengan terburu-buru membuat Reina terkesiap. Reina yang sedang duduk di depan meja rias langsung menoleh ke sumber suara, takut jika itu adalah orang jahat yang masuk ke kamar dia dan Juliana. Betapa kagetnya Reina melihat Juliana yang saat ini sedang berdiri, bersandar di pintu dengan bahu naik turun. Napasnya terengah-engah seperti tengah dikejar oleh sesuatu. Reina tentu saja penasaran. Dia pun langsung menghampiri kakaknya itu. "Kak, kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya Reina sembari meneliti penampilan dan wajah Juliana. Juliana menatap adiknya dengan khawatir dan ketakutan. Wajah Juliana terlihat pias dengan keringat yang bercucuran di kening. Wanita itu langsung menarik lengan Reina untuk ikut duduk di kasur. Napas Juliana masih terdengar tidak teratur dan ini membuat Reina benar-benar ketakutan. "Apa yang terjadi? Apakah Bradley berbuat ulah lagi?" tanya Reina langsung digelengi kepala oleh Juliana. "Bukan, ini tentang Lena," ucap Juliana membuat Rei
Ariana, Juliana, Reina, dan Lena setengah berlari ke arah Jennifer yang berada di depan ruang tunggu gawat darurat dengan raut wajah cemas. Jennifer yang baru saja akan menjelaskan apa yang terjadi, Ariana sudah terlebih dahulu bertanya tentang keadaan Joseph. "Bagaimana keadaan Joseph? Apa kata dokter? Apa dia baik-baik saja?" "Dokter sedang memeriksanya. Saya juga belum tahu bagaimana keadaannya." "Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Joseph bisa pingsan?" tanya Ariana lagi. "Pak Joseph, awalnya baik-baik saja. Kami baru saja selesai rapat di hotel. Setelah kembali ke kantor, tiba-tiba saja pingsan." Juliana duduk sambil menunduk tidak bersuara. Bibir wanita itu berkomat-kamit mungkin sedang berdoa. Air mata terjatuh dari pelupuk matanya dan cepat-cepat dihapusnya lagi. Wajahnya terlihat sangat kusut dan basah oleh air mata. Juliana mendongak, matanya yang masih sembap mengarah ke ruang pemeriksaan. Reina duduk di sampingnya sambil menguatkan kakaknya. "Joseph akan baik-baik sa
Pintu ruang perawatan terbuka, Reina melongokan kepalanya ke dalam. Pelan-pelan dia menutup pintu dan menghampiri kakaknya. Sejenak Reina melihat ke arah Joseph yang masih belum sadar, lalu memandangi kakaknya yang terlihat sedih. "Apa ada yang bisa aku bantu?" tanyanya. Juliana memaksakan untuk tersenyum agar adiknya itu tidak khawatir. "Tidak ada. Sebaiknya kamu pulang saja." "Aku tidak mau. Bagaimana aku bisa meninggalkan Kakak di sini sendirian?" "Aku tidak akan apa-apa di sini sendiri." Reina menatap wajah kakaknya memastikan kalau kakaknya itu memang baik-baik saja. Akan tetapi, dia tak percaya kakaknya baik-baik saja. "Aku akan tetap bersama Kakak di sini," tegasnya sambil melipat tangan di dada. Reina begitu bersikeras tidak mau pulang. Juliana meraih tangan Reina dan membawanya keluar. Di depan ruangan terlihat sepi. Juliana seakan sedang mencari seseorang. "Di mana Bu Ariana?" "Oh dia sedang bicara dengan dokter sejak dari tadi." "Jennifer?" "Dia sudah kembali ke
Ariana sudah membawa air minum Joseph ke laboratorium disebuah rumah sakit untuk diperiksa. Jika benar ada racun di air minum itu, Ariana yakin kalau salah satu orang yang mendiami mansionnya adalah seorang pembunuh dan dia harus segera mencari tahu siapa pelakunya. Ariana tidak akan pernah memaafkannya dan akan memasukannya ke penjara. Reina yang sejak dari tadi memperhatikan Ariana merasa ikut khawatir. Dia tidak tahu bagaimana caranya supaya Bradley bisa diketahui sebagai orang yang memberikan racun pada Joseph, karena Reina yakin, pria itu memiliki sejuta cara untuk menutupi kejahatannya. "Reina, aku mau istirahat di kamar. Kepalaku pusing dengan masalah yang terjadi akhir-akhir ini.""Baiklah Nyonya Ariana." Baru saja Reina akan pergi ke kamarnya, dia melihat Bradley yang baru saja pulang. Reina langsung menarik pria itu ke luar dan memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Kamu ini kenapa Reina? Tiba-tiba menarikku ke sini." Reina bersidekap dengan kekesalan di wajah
Seperti apa yang dikatakan oleh wanita itu, orang-orang di pasar itu kenal dengan Diego sehingga mudah untuk ditemukan. Detektif itu menghampiri kios milik Diego. "Selamat sore!" "Sore! Anda membutuhkan apa?" tanya Diego. "Aku ke sini tidak untuk membeli buah-buahan. Ada yang ingin aku tanyakan tentang Juliana." Kening Diego berkerut dan memandang curiga pada sang Detektif. "Oh ya perkenalkan namaku, Daniel. Aku teman lama Juliana." Diego seakan tidak percaya dengan pengakuan Daniel, tapi dia mencoba untuk berprasangka baik mungkin saja Daniel memang teman Juliana yang tidak diketahui olehnya. "Apa kita bisa bicara sebentar?" "Tentu saja," jawab Diego. Mereka kemudian duduk dan minum teh. "Aku teman kuliah Juliana dan sudah lama kehilangan kontak dengannya sampai akhirnya aku mendapatkan informasi kalau Juliana tinggal di sini." "Jadi apa keperluanmu dengan Juliana?" "Aku mau mengundangnya ke acara pernikahanku dan aku dengar dia sudah menikah dan tidak lagi tinggal di sin
"Aku rasa pelakunya, Bradley." Juliana tidak bisa berkata-kata dan seketika tubuhnya lemas. Jantungnya berdetak kencang. Tiba-tiba Joseph tertawa lepas dan membuat Juliana bingung. "Raut wajah terkejutmu itu sangat lucu. Aku hanya bercanda. Pelakunya tak mungkin Bradley." Juliana memukul tubuh Joseph. "Kamu jangan bercanda. Ini tidak lucu. Aku kira itu betulan." Joseph menangkap tangan Juliana dan menggenggam tangannya. "Maaf! Aku hanya ingin mengerjaimu sedikit." Joseph menciumi jari-jemari Juliana dan untuk sementara hatinya lega. Dia masih belum siap jika nanti Bradley ketahuan sebagai pelakunya, karena pria itu nanti akan menyeretnya dan membeberkan semua rahasia mereka, meskipun dia ingin sekali kejahatan Bradley terungkap. Sekarang dia sedang berada di posisi yang serba salah. ***Diego berada di apartemennya dan memikirkan pria yang menemuinya beberapa hari yang lalu. Sekarang dia tiba-tiba meragukan, bahwa pria yang mengaku bernama Daniel itu adalah teman Juliana. Diego
Juliana sedang bersiap-siap untuk menghadiri makan malam dengan Joseph dan untuk menambah percaya diri Juliana, Reina pun membantu kakaknya bersiap-siap. Dia yang memilih gaun beserta mendandani Juliana. "Wah, Kak. Kamu cantik sekali seperti Ratu yang akan menghadiri pesta dansa," cetus Reina memuji kecantikan Juliana. Saat ini Reina berdiri menghadap cermin bersama Juliana yang duduk di depan meja rias. Melihat pantulan diri di cermin, Juliana benar-benar terpukau. Dia seperti melihat orang lain di sana dan ini semua hasil polesan Reina. "Kamu benar, aku seperti orang lain. Kamu benar-benar hebat, Reina. Bisa mengubahku seperti ini," ucap Juliana memuji keahlian adiknya. Reina menaikkan dagu sembari melipat tangan di depan dada. "Tentu saja. Siapa dulu, Reina!" ucap Reina dengan tersenyum. Mereka terkekeh pelan, lalu Reina pun mengatakan agar Juliana segera pergi, takut jika Joseph sudah menunggu wanita itu. Juliana pun mengangguk setuju. Dia meminta Reina untuk terus mend
Lima tahun telah berlalu sejak Juliana melahirkan bayi kembarnya. Dia mengajar di sekolah baru di Miami. Ya, dia dipindah tugaskan ke sekolah lain. Sebenarnya Juliana tidak ingin kembali ke Miami, tapi dia tidak punya pilihan lain selain menerima keputusan pihak sekolah. Sekarang ia menyambut murid-muridnya. Satu per satu memasuki kelas. Ibu-ibu mereka mengantar hingga pintu, lalu melambaikan tangan. Anak-anak nampak ceria. Mereka duduk tenang, menunggu guru memulai pelajaran. "Pagi Bu guru!" sapa seorang anak perempuan bernama Clarie. Juliana tersenyum. "Pagi, Clarie!" Diusapnya rambut gadis kecil itu yang menggunakan jepit rambut berbentuk pita berwarna pink. Setelah semua anak-anak masuk kelas. Juliana berdiri di hadapan mereka, memulai pelajaran. Kali ini belajar menggambar. Dia memperhatikan satu per satu muridnya menggambar. Juliana nampak tertarik dengan hasil menggambar Clarie yang cukup bagus. Sejak melihat Clarie untuk pertama kalinya di tahun ajaran baru, entah kenapa J
"Kakak sudah bangun?" tanya Reina begitu melihat Juliana membukakan mata. Juliana menatap Reina dan Jennifer silih berganti. Dia baru sadar berada di rumah sakit. "Dimana anak-anakku?" Juliana nampak panik. "Tenanglah! Bayimu baik-baik saja. Sekarang ada di ruang bayi. Mungkin sebentar lagi perawat akan mengantarnya ke sini," ucap Jennifer. Juliana meringis kesakitan ketika akan membenarkan posisi berbaringnya. "Jangan banyak gerak dulu! Kakak baru melahirkan," ujar Reina. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." Jennifer dan Reina membantunya agar Juliana bisa berbaring lebih nyaman lagi. "Terima kasih sudah mau datang." Juliana berkata pada Jennifer. Jennifer membalasnya dengan senyuman. "Tentu saja aku datang mana mungkin aku melewatkan kelahiran anak kembar bosku." "Joseph tidak tahu kan soal ini?" "Jangan khawatir! Pak Joseph tidak tahu." Juliana nampak lega. Dia sendiri yang menghubungi Jennifer kalau dia akan segera melahirkan, karena Juliana sudah berjanji untuk member
Setelah giliran Joseph mencoba pakaiannya, dia menunggu Lena yang sedang bicara dengan pemilik butik. Lelaki itu menatap Lena dari kejauhan. Rambutnya bergerak mengiringi gerakan kepalanya saat berbicara. Joseph menghela napas berkali-kali. Ini adalah kesalahannya pikir Joseph. Andai saja waktu itu, dia tidak melampiaskan kesedihannya dengan meminum alkohol dan benar-benar mabuk, dia tidak akan bersama Lena di kamar hotel. Sialnya Joseph tidak ingat apa-apa. Saat Ariana tahu tentang kehamilan Lena, wanita itu terus mendesaknya supaya dia segera menikah dengan Lena. Dua bulan sejak Juliana pergi dari rumah, para wartawan mulai mengendus tentang hubungan mereka berdua dan Joseph tidak bisa menghindar lagi saat banyak gosip bahwa dia dan Juliana tidak tinggal bersama lagi. Joseph mendengus kesal dengan semua berita itu. Dia heran apa mereka tidak mempunyai berita lagi selain mencampuri urusan kehidupan orang lain. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana orang-orang yang mengenalnya
Jennifer masuk ke ruangan Joseph membawakan secangkir kopi hitam. Dilihatnya pria itu sedang membereskan mejanya dan memakai jasnya. "Apa Anda akan pergi sekarang, Pak?" "Iya. Lena sudah menungguku di butik. Gaun pengantinnya sudah selesai." "Lalu bagaimana dengan kopinya, Pak?" Joseph berdecak. "Kopi itu untukmu saja." "Tapi saya tidak suka kopi hitam." "Buang saja!" "Tapi Pak, kopi ini sangat mahal. Saya tidak mau membuangnya." Joseph memandang kesal pada sekretarisnya. "Kenapa kamu sempat-sempatnya mempermasalahkan secangkir kopi saat ini? Kamu tahu kan sedang terburu-buru." "Saya tahu. Saya akan menyimpannya di meja. Terserah Anda mau meminumnya atau tidak setelah Anda kembali lagi ke kantor. Jangan suruh saya yang membuangnya!" "Astaga Jennifer!" Jospeh mengambil cangkir dari tangan Jennifer dan langsung meminumnya sampai habis. "Sekarang aku mau pergi." "Tunggu, Pak!""Ada apa lagi?" Joseph berbalik dengan mimik kesal. "Saya bukannya mau mencampuri urusan pribadi A
"Apa maksudmu?" "Ah tidak apa-apa, Pak. Lupakan saja!" Jennifer buru-buru pergi sebelum Joseph kembali bertanya, sedangkan pria itu masih penasaran apa maksud perkataan sekretarisnya yang tiba-tiba terlihat misterius. "Seharusnya tadi aku tidak berkata seperti itu," gumam Jennifer setelah berada di luar ruangan Joseph, lalu duduk di kursi sambil menyusun dokumen di meja. Berkali-kali Jennifer menghela napas dan berpikir andai saja bosnya tahu kalau Juliana sedang mengandung anaknya, entah apa reaksinya. Iya, Jennifer secara tidak sengaja mendengar pembicaraan Ariana dan Lena sebelum dia pulang kemarin sore. "Jadi Juliana hamil? Apa Tante yakin?" Lena nampak syok. "Yakin. Tidak salah lagi." "Kalau itu memang benar, anak siapa yang dikandung Juliana?" "Entahlah. Aku tidak tahu, tapi kemungkinan besar itu anak Joseph." Lena memejamkan matanya. "Apa Joseph tahu?" "Dia tidak tahu." "Joseph tidak boleh tahu hal ini. Kalau dia tahu, dia tidak akan jadi mengusir Juliana dari sini."
"Juliana, Reina," seru Diego terkejut. "Halo Ayah!" sapa Reina dengan senyuman yang dipaksakan. "Kenapa kalian bisa ada di sini? Kenapa kalian tidak memberitahuku kalau kalian akan datang? Di mana Joseph?" Diego mengedarkan pandangan ke belakang Juliana dan tidak menemukan Joseph. "Joseph tidak ikut bersama kami," jawab Juliana. "Ayah, boleh kami masuk?" Reina bertanya. "Ya tentu saja." Diego memberi jalan pada kedua putrinya dengan menyingkir ke samping, lalu menutup pintu. Mereka memdorong koper dan menghempaskan diri di sofa. Diego yang masih penasaran dengan kepulangan kedua putrinya duduk di hadapan mereka menuntut penjelasan. "Apa yang terjadi?" Juliana dan Reina saling pandang dan keadaan ini tidak disukai oleh mereka berdua dimana mereka harus memberitahu Diego tentang apa yang terjadi. Reina baru saja membuka mulut, tapi Juliana sudah lebih dulu berkata. "Kami diusir dari kediaman Joseph." Mata Diego melebar. "Diusir bagaimana?" "Begini Ayah. Ada beberapa hal yang
Juliana tercekat, tidak percaya pada pendengarannya. "Apa maksud Ibu?" tanya Juliana yang mungkin saja dia salah dengar. "Kamu sedang hamil, Juliana." Reina memandangi Kakaknya tidak percaya. "Kenapa Kakak tidak bilang padaku kalau Kakak sedang hamil?" "Aku tidak tahu kalau sedang hamil." Juliana kembali menegaskan "Masa Kakak tidak tahu kalau sedang hamil," ujar Reina tak percaya. "Tapi itu benar. Akhir-akhir ini Kakak memang selalu merasa pusing dan tidak enak badan, tapi Kakak tak mengira kalau sedang hamil." Ariana menghela napas panjang melihat perdebatan kedua kakak adik itu. "Kalian berdua hentikan dan jangan berdebat lagi!" Mereka berdua terdiam. "Aku tidak tahu anak siapa yang sedang kamu kandung itu? Joseph atau Bradley?" Jika memang dia benar-benar hamil tentu saja Juliana yakin anak yang dikandungnya adalah anak Joseph, karena sejak dia tinggal di mansion, dia tidak pernah tidur lagi dengan Bradley. "Ibu tahu dari mana aku hamil, bahkan aku sendiri tidak tahu?"
"Pergilah! Dan jangan kembali lagi." Juliana memperhatikan wajah Joseph. Dia bisa menangkap ada sesuatu pada diri Joseph yang jauh berbeda saat dia pertama kali berjumpa dengannya. Tidak ada lagi kesan hangat yang selalu membuat perasaannya nyaman. Juliana menghela napas panjang. "Jika itu maumu, baiklah. Selamat tinggal!" Joseph memandangi kepergian Juliana. Jantungnya berdetak lebih cepat dan dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguasai resah yang menjalari setiap pembuluh darahnya. Semakin menatapnya, Joseph merasakan kegetiran hatinya. Dia berusaha mengebalkan diri dari ketertarikan yang terpendam pada wanita itu. Matanya mulai memanas tersengat air mata. Tak lama setelah kepergian Juliana, Jennifer masuk. Dia tidak tahu kalau sekretarisnya itu masih belum pulang. "Saya mau mengambil berkas yang ketinggalan." Joseph melihat ada satu tumpuk berkas di atas mejanya. Dia menyerahkannya pada Jennifer. "Lain kali jangan lupa lagi!" "Maaf Pak!" Sosok Jennifer masih saja b
Juliana masuk ke kamarnya dengan terburu-buru. Di sana Reina telah menunggunya. Begitu pintu kamar dibuka, Juliana masuk dan Reina menghampirinya. Mata Juliana memerah seperti habis menangis. "Apa yang terjadi?" Juliana tidak menjawab pertanyaan adiknya. Dia mengambil koper dan meletakkannya di atas tempat tidur, lalu membuka lemari dan mengambil semua pakaiannya. Dia memasukkan semua pakaiannya secara sembarang ke dalam koper tanpa dilipat dulu. "Apa Kakak akan pergi?" Juliana menghentikan kegiatannya dan menatap adiknya. "Seharusnya kamu jangan diam saja. Bereskan semua pakaian dan barangmu. Kita akan pergi dari sini sekarang juga." "Apa harus sekarang?" "Ya. Tentu saja. Kita tidak diperbolehkan tinggal di sini lebih lama lagi." "Itu artinya mereka sudah mengusir kita." Reina memasang wajah cemberutnya dan berdecak kesal. Sebenarnya dia sayang harus meninggalkan mansion ini. "Kita masih beruntung tidak dimasukan ke penjara," imbuh Juliana. "Kita harus mensyukuri itu, tapi