Share

Bab 2: Wanita Tanpa Malu

Penulis: Bemine
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 2: Wanita Tanpa Malu

“Aku, Mas?” tantangku seraya menunjuk dada. Seandainya saja Mas Janu tahu bagaimana berdarahnya hatiku saat ini, tentulah Mas Janu mungkin akan bersikap berbeda.

“Mak-maksudku, Sar ... jangan bersikap begini, kasihan Desty dan putrinya. Tidak ada yang menemani mereka di rumah sakit,” elak Mas Janu dengan wajah setengah memelas. Batinku bergolak saat melihat raut itu, seakan-akan balita yang terbaring itu adalah Nandya dan wanita yang berpiyama satin di sana adalah aku.

“Pantas memangnya, Mas Janu di sini? Ngejagain wanita lain?” Aku menunjuk Desty dengan jari tengah, karena telunjuk terlalu berharga untuk wanita itu.

Mas Janu seakan tersinggung, buru-buru diturunkannya tanganku, kemudian pria itu mulai membujuk yang membuat isi perutku bergolak hebat. “Pantas, kok. Kami sudah saling kenal, bahkan Desty pernah jadi tunanganku dulu, Sar.”

“Mantan tunangan, Mas!” Aku menekan kalimatku dengan bola mata yang bergetar. Meski terus berusaha menahan amarah, tetap saja perilaku Mas Janu saat ini membuat manik coklat ini basah dengan mudah.

“Ya sudah, Mas ... pulang saja dulu.” Desty bersuara. Nada bicaranya manja dan menjijikkan. Wanita itu bangkit dari duduknya di sudut ranjang, lantas berjalan anggun menuju Mas Janu, seolah-olah pria ini adalah miliknya.

Begitu kulihat tangannya terulur, aku segera menyambar lengannya dan mencengkeramnya dengan erat. Seketika, Desty meringis sakit namun kuacuhkan karena segala emosi saat ini tercurahkan di sana.

“Mas, sakit ... tanganku sakit,” rengeknya dengan intonasi yang semakin menjijikkan. Desty meliuk, menahan nyeri di lengannya karena kekuatan yang terus kutambah.

“Sari ... kamu apa-apaan?” Mas Janu turun tangan. Cengkeramanku di lengan Desty dia buka secara paksa, mengabaikan jika ternyata hal itu semakin menorehkan luka pada istrinya.

“Mbak, kok kamu jahat sih?” protes Desty padaku tanpa rasa malu.

“Aku jahat? Kamu nggak punya kaca di rumah? Perlu aku yang belikan?”

“Aku Cuma ....”

“Kalau anakmu sakit, panggil mak bapak, kakak adikmu, bukan suamiku! Ingat ya, Desty ... dulu kamu sendiri yang menolak menikah dengan Mas Janu demi pria kaya itu, sekarang hidupmu sulit kamu datang lagi mengganggunya. Punya malu enggak, sih?” selorohku seraya menunjuk wajahnya.

Aku tidak mampu mehanan gejolak di dalam dada saat melihat bagaimana tidak tahu malunya wanita ini. Dengan terang-terangan mengataiku jahat dan memanfaatkan Mas Janu untuk kehidupannya sendiri.

“Mbak enggak lihat anakku lagi sakit?” Desty mengisyarat dengan matanya. “Mbak bisa bangunin dia.”

“Anakmu sakit, itu urusanmu, Desty. Masalahnya, kamu memperalat suamiku!”

“Sari ... udah, ya? Udah! Malu!” Mas Janu menahanku sebelum menggapai surai Desty yang kecoklatan. Wanita itu pasti sudah mewarnai rambutnya, dan semoga bukan dengan gaji Mas Janu.

“Kita pulang, Mas.”

“Kasihan Desty kalau sendiri, Sar!”

“Oh, kamu enggak mau pulang?” Aku membalas tatapan mata Mas Janu yang sayu. Pria itu telah berubah sepenuhnya, memperlakukanku sebagai wanita asing dan menjadikan Desty bak ratu di dalam hidupnya.

“Mas ... pulang dulu, ya? Kita bisa ketemu besok.” Desty lagi-lagi bicara dengan intonasi yang bikin mual.

“Enggak ada kata besok! Ingat ya, Desty ... aku bukan wanita yang bisa kamu rusak hidupnya. Mas Janu ini suamiku, dan sudah menjadi milikku. Jangan harap bisa mengganggu hidup kami lebih jauh dari ini,” ancamku pada Desty.

“Iya, Mbak ... iya. Kita lih ....”

“Kita pulang!” Aku menyeret paksa Mas Janu dengan seluruh kekuatan, masa bodoh dengan ocehan Desty. Mas Janu sempoyongan sepanjang jalan karena keseimbangannya yang tidak stabil berkat tarikan tangaku.

Tidak kuperdulikan tatapan dari orang-orang serta perawat yang masih berkeliaran di sepanjang koridor. Saat ini, aku hanya ingin membawa pria tidak sadar diri ini pulang, dan menyadarkannya tentang siapa yang harusnya menjadi tanggung jawabnya.

Sepanjang perjalanan, aku menyetir dengan pandangan yang nanar. Beberapakali celah mataku basah menahan sakit akibat perilaku Mas Janu dan Desty. Dua sosok orang yang ternyata belum mengakhiri ikatan mereka.

Begitu tiba di rumah, aku menggedor pintu dengan keras. Mbok Sunem yang menjaga Nandya menjawab dari dalam rumah.

“Ibu ... sudah pulang?” Mbok Sunem terlihat khawatir begitu membuka pintu.

“Sudah, Mbok. Sambil bawa bapak yang nyasar.” Aku tidak lagi menjelaskan terlalu panjang, selain menyeret lagi Mas Janu dengan seluruh kekuatan ke dalam rumah.

Ruang keluarga rumah kami berserakan dengan mainan-mainan Nandya, serta beberapa potong pakaiannya yang belum selesai dilipat Mbok Sunem. Mas Janu mengitari pandangannya, menatap benda-benda itu seolah-olah semuanya baru pertama kali dilihatnya.

Beranjak dari ruang keluarga, kami masuk kembali ke kamar, dan di ranjang Nandya sudah terlelap dalam posisi yang menggemaskan. Kuhempas tubuh Mas Janu yang tidak melakukan perlawanan hingga membentur sisi kasur. Pria itu mengusap wajahnya, terlihat begitu kebingungan.

“Jangan pura-pura kamu, Mas!” Aku menunjuknya lagi.

“Ini ... ini yang seharusnya kamu urus! Bukannya wanita penggoda itu!”

“Kamu lihat anak itu? Nandya, putrimu yang baru satu tahun. Kamu tinggalkan di rumah dan lebih memilih merawat anak pria lain!” pekikku lagi lebih tinggi.

Aku acuh jika ternyata tetangga kami yang rumahnya berdekatan mendengar pertikaian ini, rasa sakit yang disebabkan Mas Janu dan mantan tunangannya mengalahkan seluruh rasa peduliku. Sekarang, aku hanya menginginkan kepastian dari pria ini, tetap bersama atau berpisah.

“Jawab aku!” Suaraku melengking lagi.

Mas Janu terus saja diam. Perlahan-lahan dia melepas kaos kaki, kemudian meringsek naik menuju ranjang tempat di mana Mbok Sunem menidurkan Nandya. Hatiku tersayat-sayat melihat momen ini. Seketika, pikiranku membayangkan bagaimana hari-hari kami jika pria ini meninggalkanku dan Nandya sendiri, lalu datang pada Desty.

Mas Janu, meski beberapa kali kuteriaki tetap bergeming. Dia merebahkan dirinya di sisi Nandya, mengulurkan tangannya yang besar dan kokoh, menarik selimut kecil milik putri kami, merengkuh tubuh Nandya yang mungil lalu mulai memejamkan mata.

Tangisku pecah lagi saat melihat hal itu. Aku memang tidak sanggup jika Nandya harus tumbuh tanpa sosok Mas Janu, apalagi jika pria ini pergi pada wanita lain dan meninggalkan Nandya kecil seorang diri.

Kuputuskan untuk keluar dari kamar, membiarkan Mas Janu dan Nandya tidur dengan tenang. Aku membawa serta hati yang terluka serta tangis yang enggan berhenti menuju meja makan, tempat paling tepat untukku mengurai rasa seorang diri.

Aku duduk di salah satu kursi seraya mengusap kedua pipi yang kian menghangat. Tangis yang tidak kunjung usai ini, rupanya mengusik Mbok Sunem yang kamarnya bersebelahan dengan dapur.

Wanita paruh paya itu perlahan-lahan keluar, mendekati meja makan dengan raut wajah iba. “Bu ....”

“Tidak apa, Mbok ... lanjut tidurnya.” Aku menepuk tangan Mbok Sunem yang sudah mendarat di pundak. Wanita paruh baya yang selama ini menggantikan posisi ibu dan bapak, menemani dan merawatku setulus hatinya, entah apa jadinya saat ini jika Mbok Sunem tidak ada.

“Bu ... yang sabar,” bisiknya iba.

“Aku akan bersabar sebentar lagi, Mbok ... tapi jika Mas Janu tetap tidak berubah, maka semuanya akan berakhir sampai di sini. Aku tidak mau hidup dalam luka yang berkepanjangan. Ada Nandya yang harus kurawat hingga dewasa, dan Mbok Sunem juga.”

“Bu ... jangan berpikir begitu, pertahankan pernikahan ini sekuat hati, Bu ...,” nasihat Mbok Sunem.

“Entah, Mbok ... kita lihat saja nanti.” Aku mengangguk lagi pada Mbok Sunem agar wanita itu segera beranjak tidur. Tidak tega rasanya membiarkan wanita sepertinya ikut merasakan resah dari pernikahanku dan Mas Janu.

Biar aku saja yang menghadapinya seorang diri. Aku bukanlah wanita lemah yang akan membiarkan diriku dikhianati dan dibodohi oleh lelaki. Apalagi seorang Desty, yang bagiku hanya seujung jari.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Nyaprut
jedotin tuh kepala suami mu biar otak nya waras
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
buktikan klu desty hanya seujung jari mu dan jgn kasih kendor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 3: Wanita Itu Muncul Lagi

    Bab 3: Wanita Itu Muncul LagiPagi ini, seusai menyiapkan sarapan Mas Janu dan memastikan Nandya telah selesai mandi, aku dan suamiku yang ditakdirkan satu kantor mulai bersiap-siap bekerja. Meski terasa berat setiap kali mengingat perlakuan Mas Janu terhadapku dan Nandya, tetap saja tugas sebagai seorang istri kujalani sepenuh hati.Jika biasanya kami berbagi mobil yang sama dengan dijemput sopir Mas Janu, maka kali ini aku memilih berangkat seorang diri dengan mobil pribadi. Kuabaikan Mas Janu yang terus melirikku karena tidak kunjung bergabung dengannya, hingga akhirnya sopir Mas Janu memacu kuda besi itu keluar dari pekarangan rumah tanpa kehadiranku di dalamnya.Sedikit kuhela napas yang terus memberontak di dalam dada, kemudian menoleh ke arah Mbok Sunem yang berdaster biru terang dan Nandya kecil di dalam gendongannya. Dua sosok yang masa depannya bertumpu di pundakku. Bagaimana nasib mereka nanti? Haruskah aku tutup mata dengan perbuatan

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu

    Bab 4: Rasa Sakit untuk Wanita Tanpa Malu“Loh, kok marah-marah, Sari? Kita rekan kerja loh sekarang,” ujarnya dengan wajah polos bak bidadari.Aku sudah berdiri tepat di sebelah kursinya, mencengkeram benda itu sebagai ganti surai Desty. “Marah? Kamu sudah gila, Desty? Telingamu budek? Kamu tuli sampai enggak dengar peringatanku tadi malam?”“Denger, sih ... ya gimana, ya? Mas Janu yang minta aku bekerja di sini, bukan mauku loh. Maaf, aku juga terpaksa datang ke sini, Sari,” jelasnya dengan ekspresi yang semakin membuat mual.“Apa benar, Mas?” tanyaku pada Mas Janu. Pria itu menjadi pucat pasi, beberapakali dia mengerling agar tatapan kami tidak bertemu.“Kamu kelewatan, Mas! Kamu enggak nganggap aku dan Nandya lagi, hah?” seruku tinggi.“Sar ... tunggu dulu, jangan luapkan di sini. Kamu bisa jadi bahan gosip seisi kantor,” tahan Yulia. Wanita itu menc

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 5: Bukti Rekaman

    Bab 5: Bukti Rekaman“Mas Janu, bolehkan kalau aku ikut?” Nada bicara Desty mendadak jadi centil bin menggelikan serta menjijikkan.Wanita itu bergerak dari duduknya, kemudian berjingkat-jingkat manja menuju Mas Janu. Tidak kusangka jika Desty akan bersikap seberani ini, memamerkan hal buruk di depan karyawan yang dibawahi Mas Janu, termasuk aku istrinya sendiri.Sontak saja aku menahan langkah wanita itu, lebih dulu merangkul lengan Mas Janu yang menyebabkan Desty berhenti. “Aku mau makan apa saja, Mas. Yulia juga, kan?” Aku melirik Yulia dengan sengaja.Wanita itu mengerjab berulang, mungkin kaget dengan drama mendadak yang aku mainkan.“Yuk, Mas? Yul ... barengan?” ajakku sekali lagi dengan sorot mata sedikit memaksa. Jangan sampai rencanaku untuk menghalangi Desty berantakan hanya karena Yulia membocorkan soal kami yang sudah lebih dulu pesan makanan pada Mas Janu.“Loh, bukannya

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 6: Pelajaran untuk Desty

    Bab 6: Pelajaran untuk Desty Setelah perang dingin semalam, pagi ini aku dan Mas Janu kembali pisah mobil saat berangkat bekerja. Tidak ada satu kata pun yang terlintas dari bibirnya ketika melihatku naik ke mobil sedan seorang diri dan tidak bergabung dengannya. Meski masih terasa sakitnya, aku tetap bertahan, menguatkan diri jika apa yang terjadi saat ini antara aku dan Mas Janu hanyalah duri-duri kecil di masa-masa pernikahan kami yang masih begitu muda. Belum lagi ujian yang harus kami lewati di masa depan nanti, dan semuanya pastilah begitu rumit. Kuteguk sendirian seluruh rasa yang menggenangi batin dari kursi putar, perasaan tidak menentu akan hubunganku dan Mas Janu kian merambat. Layar komputer yang berisi berbagai pekerjaan hanya mampu kutatap nanar, tidak ada selera untuk menyelesaikan tugas-tugas yang seakan tanpa henti ini. “Lihat?!” Aku mengusaikan kebimbangan itu, saat Yulia sudah berpindah ke kubikelku. Setengah berbis

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 7: Pilih Aku atau Dia?

    Bab 7: Pilih Aku atau Dia? “Hentikan, Sari!” Mas Janu terus menahanku untuk berhenti membekap Desty. Tetapi tubuhku bagai tak mau mengerti. Desty yang kini mengap-mengap dengan rambut yang basah tidak sedikit pun menaruh empati di hatiku. “Hentikan, Mas bilang hentikan!” teriaknya lagi. Ditariknya dengan satu hentak tanganku yang sedari tadi menghajar Desty ke udara, dan wanita itu segera luruh ke lantai sembari menangis. Aku menatap wajah Mas Janu yang kian memerah dengan mata nanar. Perbuatanku yang barusan tentu membuatnya akan semakin membenci diriku. “Mas ... tolongin aku?!” rintih Desty dari bawah. Tangannya terayun-ayun memohon uluran dari suamiku. Aku meliriknya sesaat, riasan wanita itu menjadi berantakan, bahkan bulu matanya telah terjatuh ke pipi dengan maskara yang luntur. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi selain meringis ketakutan dan menangis. Beranjak dari Desty, karyawan-karyawan lain ternya

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 8: Apa Maumu?

    Bab 8: Apa Maumu? Kukatakan keinginanku dengan tegas pada Yulia. Mbok Sunem yang ternyata juga mendengarnya menangis dari arah luar kamar. Wanita paruh baya itu tidak tahan melihat betapa hancurnya kondisiku dan pernikahan kami berdua. “Bu, jangan begini ... kasihan Nandya,” ujarnya dari arah luar. Wajah siapa pun pasti akan serupa dengan Mbok Sunem jika melihat putri kecil kami yang terlelap di kasur. Gadis mungil itu seakan terusik setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh ibu dan tantenya. Dia menggeliat perlahan, lalu kembali terlelap di ranjang. “Jangan ambil keputusan gila, Sari. Kalau kamu tetap begini, kamu hanya akan menyesal!” Yulia masih mengingatkanku. Kutatap sekali lagi Nandya, dia butuh Mas Janu di dalam hidupnya. Jauh lebih besar dibanding aku membutuhkan Mas Janu. “Masih belum terlambat untuk memperbaiki semua ini. Pikirkan dengan matang sebelum bertindak. Belum ada kejelasan juga jika Desty dan Mas Janu

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti

    Bab 9: Balasan Istri yang Tersakiti “Kamu memang sudah gila. Kamu minta aku menjaga anak wanita itu dan kalian bisa pergi berdua ke rumah sakit? Kalau ke rumah sakit, kalau ke hotel bagaimana?” pekikku kemudian. Tidak bisa kubayangkan andai hal itu benar-benar terjadi. Hanya aku yang boleh bersama Mas Janu dan melihat sisi lain dari pria itu. Terlihat Mas Janu lelah menghadapi ocehanku barusan. Tapi, aku jelas tidak terima jika dia bersikap sememuakkan ini hanya untuk menyenangkan hati Desty. Harusnya hanya aku yang diperlakukan bak ratu, bukannya wanita lain yang pernah menoreh luka di dalam hatinya. “Mas, kenapa kamu ....” “Jangan membantah, Sari. Aku ini suamimu!” “Ya, dan kamu suami yang dhalim! Kamu menyakiti hatiku demi perempuan lain,” seruku. Aku tidak bersedia mundur melihat bagaimana tingkah laku Mas Janu saat ini. Dia sudah begitu berbeda sampai tidak bisa kubedakan lagi antara kenyataan dan mimpi belaka. Bagaimana

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 10: Kelakuan Desty

    Bab 10: Kelakuan Desty Kami tiba di rumah sakit setelah setengah jam memulai perjalanan. Ternyata, rumah sakit yang ditunjuk oleh Mas Janu adalah rumah sakit yang sama dengan yang didatangi Desty saat anaknya dirawat. Tentu saja aku mencak-mencak. Padahal hanya luka kecil tapi dibawa ke rumah sakit sebesar ini. Padahal aku melakukan hal itu karena ulah Desty sendiri, tapi harus repot seperti ini. “Mas Janu, nanti temenin, ya?” lirih Desty dari arah belakang. Wanita itu memasang wajah risau setelah melihat IGD yang sepi dari dalam mobil. Entah apa lagi tujuannya bersikap demikian. Tapi jelas kutemukan jika Desty sedang mencoba mencuri perhatian Mas Januku yang berharga. “Iya, nanti ditemenin!” “Iya, nanti aku temenin, kok!” sahutku tepat setelah Mas Janu. Enak saja Desty ini, dia ingin berduaan dengan suamiku. Jika kubiarkan, entah apa hasutan yang akan dilakukannya pada Mas Janu. “Kamu di mobil saja!” M

Bab terbaru

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)

    Bab 56: Pilihan Terakhir (Tamat)“Pengantin prianya, tolong geser ke kanan, lebih dekat dengan pengantin perempuan!” perintah itu turun dari pria yang memakai kemeja berkerah dengan tulisan Gun Foto.Pria yang memakai setelan pengantin putih dan batik khas yang melilit pinggang tersenyum lagi. Dia mendekat perlahan ke arah kanan sesuai dengan instruksi dan langsung mengapit lengan mempelai perempuan yang tidak lain adalah diriku.Ya ... ini adalah hari pernikahan kami. Tidak ada tamu undangan, tidak ada pesta pernikahan dan kemewahan.Semuanya sangat sederhana, termasuk gaun putih dan jilbab yang saat ini membalut tubuhku. Kami sepakat akan hal ini sejak satu bulan lalu saat permintaan ibu mertua kupenuhi.“Oke ... senyum!” Pria itu berseru kembali.Aku hampir saja lupa melengkungkan bibir karena gugup melihat ibu mertua terus memandang ke arah kami berdua. Ditambah lagi

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 55: Jawaban yang Ditunggu

    Bab 55: Jawaban yang DitungguKata orang, wanita itu kerap kali buta matanya jika sudah berbicara soal cinta. Sepintar dan semandiri apa pun dia, seluruh indranya akan mati saat berurusan dengan perasaan. Mereka sering kali terjebak, terjerat dan terseret dalam. Jatuh dari ketinggian ke lembah tanpa dasar. Terdorong dan terperangkap dalam penjara yang dibangun olehnya sendiri. Akibatnya, mereka terluka parah, sampai kritis dan koma. Kadang ada yang mati rasa lalu menganggap semua pria itu sama. Jika sudah begitu, para wanita sering kali menyalahkan orang lain. Menuduh para prialah yang membuatnya seperti ini, tanpa sadar jika mereka sendiri yang memberi kontribusi dan memudahkan semua kejahatan itu terjadi.Buruknya lagi, ada yang sudah terluka, namun masih berusaha dan bertahan. Angan mereka terus melayang dan terikat dengan masa lalu yang sebenarnya kelam. ‘Mereka

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 54: Pengakuan Mas Janu

    Bab 54: Pengakuan Mas Janu “Bagaimana dengan masa laluku dan Mas Janu, Bu? Aku tidak yakin masih bisa bertemu dengannya jika kami kesbali ke Jakarta,” sahutku pada ibu mertua.Ada banyak faktor yang harus aku pertimbangkan lebih dulu, bukan? Jika kembali dengan Mas Surya, itu artinya kami harus pulang ke Jakarta. Di sana ada terlalu banyak orang yang mengetahui kisah pedih hidup kami. Lalu, ada Desty dan Yulia yang telah mempermainkan diriku.Membayangkannya saja sungguh saat memuakkan. Aku tidak ingin bekerja keras membiasakan diri dengan lingkungan yang menjijikkan.“Aku paham maksud dan keinginan Ibu, tapi di sini aku merasa nyaman dan tenang. Duniaku dan Nandya sudah tumbuh di sini.”Manik mata ibu mertua memendar mendengarku. Dia berusaha menahan perasaan kecewa dengan seutas senyum tipis.Lekas dia berpaling, lalu mengambil secarik tisu yang diletakkannya dekat dengan Nandya. Ibu mertua mengusa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 53: Permintaan

    Bab 53: Permintaan “Silakan, Bu?” Mbok Sunem bertutur lembut pada ibu mertua dan Mas Surya yang memaksa ikut dengan kami ke rumah setelah pertemuan sesaat lalu.Meski sebenarnya aku belum yakin dengan jalan ini, sangat tidak mungkin kubiarkan ibu mertua yang bahagia melihat kami menerima luka penolakan. Akhirnya, aku memaksa diri dan mengajak mereka mampir ke rumah baruku dan Mbok Sunem.Sebuah rumah kecil yang sedang kucicil di pemerintahan itu terlihat agak memalukan. Apalagi jika mengingat hidupku selama bersama Mas Janu cukup mewah, bahagia dan tentu bergelimang rupiah.“Maaf, Bu ... hanya ....”“Kamu bagaimana di sini?” Ibu mertua langsung memotong.Wanita paruh baya itu tidak mendengar ucapan penyesalan soal hunian sederhana yang kuberikan untuk cucunya. Padahal, jika diingat-ingat lagi, di Jakarta sana Nandya mendapatkan semuanya. Rumah bagus, mobil dan

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota Baru

    Bab 52: Tiga Tahun Kemudian – Kota BaruTiga Tahun Kemudian.22 April 2023, 07.10 WIBAku menatap halaman masjid yang kini penuh sesak. Banyak jemaah sudah lebih dulu berdatangan jauh sebelum diriku, bahkan tidak ada lagi ruang yang tersisa hingga beberapa perempuan terpaksa berdiri sembari menunggu lowong.“Mbok, sempit sekali kayanya,” lirihku pada wanita itu.Mbok Sunem yang menggendong Nandya hanya terpaku. Ini sudah kali ketiga lebaran Idul Fitriku di kota orang, namun tidak pernah berhasil mendapat tempat yang nyaman. Kami sering terlambat karena harus menunggu Nandya bangun. Jika dipaksa, gadis kecil itu malah akan rewel jadinya. “Nggak apa-apa, Bu ... kita berdiri saja.” Begitulah Mbok Sunem yang penuh rasa sabar itu berujar.Dia langsung mendahuluiku, menuju teras masjid yang terbuka dan sedikit disiram hangat matahari . Aku mengekor di belakang dengan harapa

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 51: Perpisahan

    Bab 51: Perpisahan “Maaf, Mas ... dan terima kasih,” lirihku seraya memutar ujung jari di permukaan cangkir.Ini sudah ketiga kalinya kata itu aku ucapkan pada pria yang telah memberiku Nandya. Mas Janu ... kami bertemu kembali setelah sekian lama berperang. Uniknya, pertemuan ini sangat sunyi, seolah kami masih saling mengerti.Lelah mengulur waktu dengan cangkir, aku mulai menurunkan kedua tangan ke bawah meja dan memilih memilin ujung blouse putih dengan lambang C di dada. Tidak lupa, kutatap juga heels dengan dua tali yang menyilang di depan. Lalu, melirik sepatu mungil yang dipakai oleh gadis kecilku.Ada Nandya di pangkuan. Anak kecil itu tidak rewel meski di depannya ada Mas Janu̶ sang ayah. Sedangkan Mas Janu hanya melirik sesekali, dia tidak menyentuh, berusaha menekan diri setelah mendengar ucapan dariku.“Ma ... a.”“Katakan hal lain selain kata maaf. Aku muak mendengarnya, Sari!&rdq

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 50: Penjelasan Yulia dan Pilihanku

    Bab 50: Penjelasan Yulia dan PilihankuSemilir sejuk menyapu helaian anak rambutku yang terurai. Menerpa lembut dan menyentuh wajah. Dinginnya menusuk hingga ke relung. Pucuk ilalang menyentil betis dan pinggang. Kemudian, semburat jingga yang muncul di langit menjadi latar belakang dari kehadiranku di taman sepi ini.Sesaat lalu, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah taman terdekat dengan perumahan Yulia. Sebuah tempat sepi yang ditinggalkan banyak orang, meski masih asri dan layak untuk dinikmati.Aku berdiri di tengah rumput dan beberapa bunga liar yang berwarna. Di sana, kutengadahkan wajah ke langit, memejamkan mata demi menyerap damainya. Hatiku berperang, jiwaku diserang, aku terluka sampai tidak lagi punya cela tanpa noda darah.“Sar, kenapa kamu bisa muncul di depan rumahku begini?” Suara Yulia membuatku tersadar jika taman ini juga didatangi olehnya.Aku terkekeh mendengar ucapannya barusan. Masih saja, dia

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 49: Pendusta Lain

    Bab 49: Pendusta Lain Lama dia mendekap, hangat tubuhnya menjalar dengan cepat hingga berhasil menyentuh dasar dari hatiku. Mas Surya dan segala tentangnya memang mulai terasa nyata dan nyaman. Terdengar pula detak jantungnya yang berdebar hebat. Mas Surya seakan kesulitan mengontrol debaran itu sampai napasnya beradu. Entah apa yang membuatnya jadi sejauh ini pada wanita yang ditinggalkan oleh keponakannya sendiri. Entah benar semua ucapannya soal masa lalu itu, karena selama ini aku bahkan tidak mengingat apa pun tentangnya. Kala itu, aku takut akan Mas Surya. Saat itu, aku tidak ingin berurusan sama sekali dengannya. Mungkin inilah penyebab kenapa tidak ada kenangan apa pun soal dia di dalam kepalaku. “Mas, tolong lepaskan!” Aku meminta dengan intonasi yang dingin. Semua perasaan yang membuncah sesaat lalu kutepis dengan kejam. Mas Surya punya banyak hutang penjelasan terhadapku. Karena itulah, aku tidak akan bermud

  • Suamiku Terjerat Mantan Tunangannya yang Menjanda   Bab 48: Kisah di Masa Lalu

    Bab 48: Kisah di Masa Lalu Masa-masa KKN itu, aku masih ingat dengan jelas setiap momen berharganya. Aku bahagia, senyumku lebar dan mataku berair karena tertawa.Baik teman atau keluarga Ratna memperlakukan kami seperti saudara. Kami datang disambut dengan hangat, dan pulang diantar deraian air mata.Namun, ada satu titik yang terlupa olehku kala itu. Dua bulan masa KKN, aku melewatkan momen saat bertemu dengan seorang pria di sebuah warung nasi.“Sar, beli makan di mana kita?” Ratna yang menemaniku berbelanja kebutuhan kala itu bersuara lembut.Dia menggelayut manja di lenganku sampai lengket. Kehadiran Ratna di balai desa membuat banyak anak KKN khususnya laki-laki terpesona dengannya. Sampai, banyak dari mereka meminta untuk dicomblangkan dengan Ratna.“Di warung desa pertama setelah persimpangan bagaimana? Aku lihat warung itu rame,” saranku padanya usai mengelap kedua tangan dengan tisu.

DMCA.com Protection Status