“Aku sama Kak Andita nggak ditawari, Om?” celetuk Athira seraya memonyongkan bibir manja.“Maksud Om kalian semua!” jawab Abraham terlihat salah tingkah.“Iya deh, yang lagi jatuh cinta. Yang diingat Cuma sang pujaan hati. Ada keponakan di depan mata juga terlupakan.” Athira tertawa renyah menggoda sang paman.Namun, tidak dengan Andita. Aku lihat wajah gadis berusia dua puluh lima tahun itu langsung terlihat berubah. Pendar di wajahnya meredup, menunjukkan rasa cemburu yang terpendam dalam di dasar sanubari.Astagfirullah ....Aku lupa bahwa dia sudah memendam rasa sejak lama kepada Abraham. Dia mengagumi laki-laki berwajah tampan itu, dari semenjak kami bertemu dan bekerja sama.Tapi, apakah salah jika sekarang ini aku juga memiliki rasa yang sama dengan dia?***#Tiga minggu kemudian.Hari ini, aku kembali harus menghadiri sidang perceraianku dengan Mas Ibnu. Semoga saja persidangan kali ini berjalan lancar, seperti persidangan sebelumnya. Tidak apa-apa jika Mas Ibnu tidak menghadi
“Kalau sampean berkenan, sampean bisa menginap di asrama putra, Mas Bram. Ndak usah di hotel. Biar kita semakin akrab,” timpal Gus Azmi yang baru saja keluar, menyambut kedatangan Raihan.“Matur nuwun sanget, Gus. Nanti saya merepotkan.” Abraham mengulas senyum.Tapi entah mengapa, aku melihat ada keterpaksaan di lengkungan bibir lelaki berwajah tampan itu.“Tidak merepotkan, Mas. Saya justru senang jika ada sampean di sini. Kita bisa ngobrol-ngobrol. Berbagi ilmu, juga pengalaman.” Gus Azmi mendekat, merangkul pundak Abraham dan mengajaknya masuk ke dalam ruangan khusus laki-laki.Ning Mahfia menghampiri, mengajakku masuk menemui Ummi Hanifah di dalam kamar perempuan paling dihormati di kalangan pesantren.“Assalamualaikum, Ummi,” sapaku sembari menyunggingkan bibir.“Waalaikumussalam. Silakan masuk, Nduk.” Wanita bergamis longgar tersebut merentangkan tangan, menyambut kedatanganku, memeluk erat tubuh ini.Ya Allah. Begitu hangat dekapan Ummi. Membuat rinduku kepada Ibu sedikit tero
“Dulu, Azmi pernah meminta Ummi untuk melamar kamu ketika masih gadis. Dan ternyata Allah belum menjodohkan kalian berdua. Kamu menikah dengan mantan suami kamu, dan di sini ada sepotong hati yang terluka. Walaupun Azmi tidak mengungkapkan, tetapi sebagai Ibu, Ummi tahu betul kekecewaan yang sedang dirasa oleh Azmi. Dia sering murung, berzikir meminta supaya Allah menghapus rasa yang dia simpan dalam-dalam selama ini.Hingga beberapa tahun setelahnya, Azmi kembali menemukan tambatan hati. Dia mengkhitbah seorang santriwati, anak salah satu pengurus pondok pesantren dan beberapa hari sebelum mereka melangsungkan akad, calon istri Azmi sudah dipanggil oleh Sang Pemilik hidup.Azmi kembali mengurung diri. Tapi luka yang Ummi lihat, tidak separah ketika kamu lebih memilih Ibnu dari pada putra Ummi.Ketika kamu datang mendaftarkan Raihan di pesantren ini, Azmi terlihat langsung begitu dekat dengan Raihan. Dia begitu menyayangi anakmu, sama seperti dia menyayangi Habibie putra almarhumah Ai
Selama menjalani masa idah, aku terus saja melakukan salat istikharah. Meminta petunjuk kepada Allah, supaya tidak salah memilih dengan siapa hati ini akan berlabuh.Jika memang jodohku seorang Abraham, maka dekatkanlah. Namun jika kami tidak bisa bersama, aku memohon dengan sangat kepada Sang Rahim, agar lekas mencabut rasa dalam sanubariEntah mengapa hampir setiap selesai melakukan salat istikharah, aku selalu bermimpi berada di tengah tanah lapang nan tandus, dimana ada badai besar menerpa, dan sebuah pohon kecil berdiri kokoh jadi pegangan.Aku tidak paham dengan arti mimpi tersebut. Apa itu petunjuk, ataukah hanya bunga tidur saja. Sebab mimpi dikala tidur, bisa datang dari Allah, bisa juga datang dari syaitan.Masa idahku hampir saja selesai. Hati ini semakin gundah gulana, merasa berat jika harus mengiyakan permintaan Ummi.Sedangkan Abraham. Sudah hampir tiga bulan ini lelaki berambut panjang itu tidak mengirimkan kabar. Mungkin dia sudah lupa kepadaku. Atau mungkin sudah men
Kenapa sampai berpikir macam-macam kepada lelaki alim itu. Ini kan rumah sakit. Bukan lagi di asrama, atau hotel. Kalau dia mengajak ke kamar ya pasti kamar rawat inap.Senyum tipis tergambar di bibir merah Gus Azmi. Dia berjalan mendahului, karena tidak mau aku berada di depan. Takut zina mata katanya.Semua mata tertuju kepada kami saat memasuki kamar inap Ummi. Ada yang terlihat bahagia, ada pula yang terlihat tegang. Memangnya ada apa? Apa Gus Azmi mengatakan sesuatu sebelum dia keluar dari kamar ini?Ah, sudahlah. Tidak mau berprasangka buruk. Aku harus fokus kepada kesehatan Ummi dan juga persiapan pernikahanku yang akan dilangsungkan segera.“Ahmad, besok bisa minta tolong antarkan Mas beli cincin?” tanya Gus Azmi kepada sang adik, yang wajahnya begitu mirip dengan dia.“Bisa, Mas. Ajak Mahfia sama Mbak Mayla juga. Takut kaya aku waktu beliin cincin buat Hafsah, dia nggak ikut, eh, cincinnya kekecilan,” sahut Gus Ahmad terkekeh.“Iya.” Gus Azmi menjawab singkat.Apa dia tidak s
“Afwan, Gus. Saya ....” Menunduk malu, tidak tega melanjutkan kalimat.“Kenapa, Dek?”“Saya sedang datang bulan. Sudah hampir selesai sih. Tapi belum bisa ....”Gus Azmi terkekeh.“Maksud Mas bukan olah raga itu, Sayang. Ih, pikiran Adek ngeres!” Dia mencubit mesra hidungku.Aku menunduk semakin dalam.“Mas itu setiap malam, selesai salat tahajud biasanya olah raga ringan di teras kamar!” Menunjuk pintu kamar, yang ternyata langsung berhadapan dengan sebuah taman.Duh, malu sekali.“Sudah malam. Sebaiknya Dek Mayla istirahat dulu. Pasti Adek capek seharian berdiri menemani Mas menyalami tamu.” Dia berujar sambil mengusap lembut kepalaku yang masih terbungkus hijab.Aku menjawab dengan menganggukkan kepala.Walaupun kami tidak mengadakan pesta besar. Tetapi banyak sekali tamu yang datang lalu lalang untuk mengucap selama kepada kami.Setelah menukar pakaian dan menghapus makeup di wajah. Lekas diri naik ke atas tempat tidur, menyingkirkan kelopak bungan mawar yang berserakan sebab tida
Mengambil gawai, mengirim dia pesan menanyakan keberadaannya. Centang dua, tapi belum dibaca.Ah, ternyata ponsel milik suamiku tergelatak di atas meja.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh pagi. Rasanya ingin menangis ditinggalkan sendiri di rumah, padahal masih pengantin baru.“Assalamualaikum.” Cepat-cepat mengenakan kerudung ketika mendengar seseorang mengucap salam disertai suara deritan pintu terbuka.“Njenengan dari mana, Gus?” tanyaku menahan emosi.“Tadi pulang dari masjid langsung ke rumah Ummi,” jawabnya datar. Nyebelin.“Aku nungguin dari pagi, kelaparan, belum sarapan sampai jam segini. Njenengan malah ke rumah Ummi nggak bilang-bilang. Padahal aku sengaja masak pagi-pagi biar kita bisa sarapan bareng malah njenengan jam segini baru pulang!” sungutku kesal. Tidak kuat lagi menahan amarah.“Ya Allah, Dek. Maaf. Mas tadi ketiduran di kamar Ummi. Sekali lagi Mas minta maaf. Tolong jangan marah sama Mas ya.” Mata legam lelaki itu terus memindai wajahku. Riak wajah
Menyadari kehadiranku di depan kelas. Gus Azmi segera menghampiri sambil mengembangkan sedikit senyuman.“Mau jalan sekarang, Dek?” Gus Azmi bertanya dengan intonasi sangat lembut.“Cuma pengen liat njenengan ngajar. Kangen suasana mondok.”“Kangen sama suasana pondok apa sama suami?” ledek Gus Azmi seraya mencubit mesra pipi ini.Aku berusaha melengkungkan bibir.“Raihan tadi izin mau menginap di rumah. Apa boleh, Dek?”Dahiku berkerut-kerut sambil menatap Gus Azmi dengan mimik heran. Kenapa mesti izin kepadaku?“Kalau njenengan mengizinkan ya monggo. Itu kan rumahe njenengan, Gus!”“Rumah kita, Dek.”“Iya!”“Mandi dulu sono gih. Setelah ini kita ‘kan mau jalan-jalan,” perintahnya sembari mencubit hidungku. Kebiasaan.“Iya.” Hanya itu yang bisa terucap dari mulutku.Aku duduk memaku di depan televisi sambil menunggu Gus Azmi melaksanakan ibadah salat isya. Dia menyuruhku berdandan rapi, karena hendak mengajakku keluar mengelilingi kota Tegal.Ponsel di atas meja kembali bergetar. Ada