Selama menjalani masa idah, aku terus saja melakukan salat istikharah. Meminta petunjuk kepada Allah, supaya tidak salah memilih dengan siapa hati ini akan berlabuh.Jika memang jodohku seorang Abraham, maka dekatkanlah. Namun jika kami tidak bisa bersama, aku memohon dengan sangat kepada Sang Rahim, agar lekas mencabut rasa dalam sanubariEntah mengapa hampir setiap selesai melakukan salat istikharah, aku selalu bermimpi berada di tengah tanah lapang nan tandus, dimana ada badai besar menerpa, dan sebuah pohon kecil berdiri kokoh jadi pegangan.Aku tidak paham dengan arti mimpi tersebut. Apa itu petunjuk, ataukah hanya bunga tidur saja. Sebab mimpi dikala tidur, bisa datang dari Allah, bisa juga datang dari syaitan.Masa idahku hampir saja selesai. Hati ini semakin gundah gulana, merasa berat jika harus mengiyakan permintaan Ummi.Sedangkan Abraham. Sudah hampir tiga bulan ini lelaki berambut panjang itu tidak mengirimkan kabar. Mungkin dia sudah lupa kepadaku. Atau mungkin sudah men
Kenapa sampai berpikir macam-macam kepada lelaki alim itu. Ini kan rumah sakit. Bukan lagi di asrama, atau hotel. Kalau dia mengajak ke kamar ya pasti kamar rawat inap.Senyum tipis tergambar di bibir merah Gus Azmi. Dia berjalan mendahului, karena tidak mau aku berada di depan. Takut zina mata katanya.Semua mata tertuju kepada kami saat memasuki kamar inap Ummi. Ada yang terlihat bahagia, ada pula yang terlihat tegang. Memangnya ada apa? Apa Gus Azmi mengatakan sesuatu sebelum dia keluar dari kamar ini?Ah, sudahlah. Tidak mau berprasangka buruk. Aku harus fokus kepada kesehatan Ummi dan juga persiapan pernikahanku yang akan dilangsungkan segera.“Ahmad, besok bisa minta tolong antarkan Mas beli cincin?” tanya Gus Azmi kepada sang adik, yang wajahnya begitu mirip dengan dia.“Bisa, Mas. Ajak Mahfia sama Mbak Mayla juga. Takut kaya aku waktu beliin cincin buat Hafsah, dia nggak ikut, eh, cincinnya kekecilan,” sahut Gus Ahmad terkekeh.“Iya.” Gus Azmi menjawab singkat.Apa dia tidak s
“Afwan, Gus. Saya ....” Menunduk malu, tidak tega melanjutkan kalimat.“Kenapa, Dek?”“Saya sedang datang bulan. Sudah hampir selesai sih. Tapi belum bisa ....”Gus Azmi terkekeh.“Maksud Mas bukan olah raga itu, Sayang. Ih, pikiran Adek ngeres!” Dia mencubit mesra hidungku.Aku menunduk semakin dalam.“Mas itu setiap malam, selesai salat tahajud biasanya olah raga ringan di teras kamar!” Menunjuk pintu kamar, yang ternyata langsung berhadapan dengan sebuah taman.Duh, malu sekali.“Sudah malam. Sebaiknya Dek Mayla istirahat dulu. Pasti Adek capek seharian berdiri menemani Mas menyalami tamu.” Dia berujar sambil mengusap lembut kepalaku yang masih terbungkus hijab.Aku menjawab dengan menganggukkan kepala.Walaupun kami tidak mengadakan pesta besar. Tetapi banyak sekali tamu yang datang lalu lalang untuk mengucap selama kepada kami.Setelah menukar pakaian dan menghapus makeup di wajah. Lekas diri naik ke atas tempat tidur, menyingkirkan kelopak bungan mawar yang berserakan sebab tida
Mengambil gawai, mengirim dia pesan menanyakan keberadaannya. Centang dua, tapi belum dibaca.Ah, ternyata ponsel milik suamiku tergelatak di atas meja.Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh pagi. Rasanya ingin menangis ditinggalkan sendiri di rumah, padahal masih pengantin baru.“Assalamualaikum.” Cepat-cepat mengenakan kerudung ketika mendengar seseorang mengucap salam disertai suara deritan pintu terbuka.“Njenengan dari mana, Gus?” tanyaku menahan emosi.“Tadi pulang dari masjid langsung ke rumah Ummi,” jawabnya datar. Nyebelin.“Aku nungguin dari pagi, kelaparan, belum sarapan sampai jam segini. Njenengan malah ke rumah Ummi nggak bilang-bilang. Padahal aku sengaja masak pagi-pagi biar kita bisa sarapan bareng malah njenengan jam segini baru pulang!” sungutku kesal. Tidak kuat lagi menahan amarah.“Ya Allah, Dek. Maaf. Mas tadi ketiduran di kamar Ummi. Sekali lagi Mas minta maaf. Tolong jangan marah sama Mas ya.” Mata legam lelaki itu terus memindai wajahku. Riak wajah
Menyadari kehadiranku di depan kelas. Gus Azmi segera menghampiri sambil mengembangkan sedikit senyuman.“Mau jalan sekarang, Dek?” Gus Azmi bertanya dengan intonasi sangat lembut.“Cuma pengen liat njenengan ngajar. Kangen suasana mondok.”“Kangen sama suasana pondok apa sama suami?” ledek Gus Azmi seraya mencubit mesra pipi ini.Aku berusaha melengkungkan bibir.“Raihan tadi izin mau menginap di rumah. Apa boleh, Dek?”Dahiku berkerut-kerut sambil menatap Gus Azmi dengan mimik heran. Kenapa mesti izin kepadaku?“Kalau njenengan mengizinkan ya monggo. Itu kan rumahe njenengan, Gus!”“Rumah kita, Dek.”“Iya!”“Mandi dulu sono gih. Setelah ini kita ‘kan mau jalan-jalan,” perintahnya sembari mencubit hidungku. Kebiasaan.“Iya.” Hanya itu yang bisa terucap dari mulutku.Aku duduk memaku di depan televisi sambil menunggu Gus Azmi melaksanakan ibadah salat isya. Dia menyuruhku berdandan rapi, karena hendak mengajakku keluar mengelilingi kota Tegal.Ponsel di atas meja kembali bergetar. Ada
“Kenapa dulu kamu tidak jujur sama aku kalau kamu mempunyai perasaan sama seperti yang aku rasakan, Bram. Padahal, kamu tahu kalau semenjak kita dekat, aku mulai menyimpan rasa.” Suaraku kian memelan.“Karena kamu masih berstatus istri orang. Aku hanya ingin menjaga etika. Tidak mau disebut perebut istri orang.”“Sekali lagi aku minta maaf, Bram. Tapi demi Allah, aku sangat mencintai kamu dan pernah berharap ingin bersatu dengan kamu, tapi sepertinya takdir berkata lain. Terima kasih karena selama ini kamu sudah menjaga aku juga Raihan. Aku minta maaf!”Abraham memasukkan tangannya ke dalam kantung celana kemudian mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna merah.“Ini, May. Tadinya aku beli cincin ini untuk melamar kamu, tetapi karena kamu sudah menikah dengan Gus Azmi jadi cincin ini aku jadikan kado pernikahan kalian berdua.” Menyodorkan sebuah cincin berlian yang menyembul di dalam kotak.“Titip Mayla, Gus. Tolong jaga dia baik-baik. Jangan sakiti perasaan Mayla. Saya permisi. Maaf
“Ada apa, Dek?” Dia duduk sambil mengucek mata.“Sudah malam. Kenapa njenengan tidur di luar?” Tanyaku pelan.“Biar Adek merasa nyaman tidur di kamar.”Aku menatap lekat netra hitamnya.“Jangan liatin terus. Nanti naksir. Sudah, bobok lagi, gih. Masih malam. Mas juga masih ngantuk.” Dia membingkai wajahku dengan kedua telapak tangan.“Tapi, Gus ...?”“Sudah. Mas ndak apa-apa tidur di sini. Sudah biasa. Mas memang jarang tidur di kamar.” Dia kembali merebahkan bobotnya di sofa, lalu menutup mata.Segera kumatikan kembali lampu ruang tamu, mengambil bedcover, menggelarnya di dekat sofa kemudian lekas tidur.Baru beberapa menit memejamkan mata, tubuhku terasa melayang, seperti sedang terbang dan hampir memekik ketika menyadari ternyata Gus Azmi sedang membopongku masuk ke dalam kamar.“Tubuh aku berat loh, Gus!” ucapku malu-malu.“Ndak berat kok, Dek. Kan gendongnya pake cinta.”Aku mengalungkan tanganku di lehernya, takut jatuh karena bobotku lebih dari lima puluh kilogram.Entah mengap
“Assalamualaikum!” Tok! Tok! Tok!Terdengar suara Ning Mahfia mengucap salam.Cepat-cepat mengikat rambut yang masih sedikit basah. Membukan pintu untuk adik iparku dan mempersilahkan dia masuk.“Duh, kayanya semalam nggak hujan, Mbak?” celetuknya, membuat dahiku berkerut.“Memangnya kenapa, Dek?” tanyaku bingung.“Rambutan basah terus!” Dia tertawa kecil.“Kejar setoran ya, Mbak. Biar Ummi cepat gendong cucu dari Mas Azmi dan Mbak May!” selorohnya.“Orang Aku baru selesai datang bulan. Baru bersih tadi pagi.”Mata bulat nan indah Ning Mahfia melotot menatapku. Dia lalu kembali terkekeh kemudian mengulum senyum ketika Gus Azmi tiba-tiba sudah berdiri di samping wanita bertubuh mungil itu.“Ya sudah, Mbak. Aku pulang dulu. Nggak mau ganggu pengantin baru. Tadinya mau ngajak Mbak Mayla ke pasar. Tapi ndak jadi.” Ning Mahfia menyalami kami kemudian beranjak pergi.Suasana canggung kembali terjadi ketika kami berada hanya berdua saja di dalam.Ting!Sebuah pesan whatsapp masuk ke gawaiku.
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem