Bab 41Tak Mau Kalah"Apa maksud kamu nyogok?"Masih saja pura-pura tidak tahu. "Tolong, dong, Mas, jangan mengelak terus. Aku--" Sadar karena Kevin masih ada di sisiku, aku menyuruhnya untuk masuk ke kamar terlebih dahulu agar perdebatan orang tuanya tidak sampai ke telinganya. "Sekarang apa lagi? Ada masalah apa lagi, Dek?" "Seharusnya aku yang tanya ke kamu. Apa yang sudah kamu lakukan sampai masalah lain timbul kayak gini, Mas?""Bicara yang jelas biar aku ngerti." "Kamu bayar tetangga agar anak mereka mau main sama Kevin, iya kan?" Mas Joko terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk santai dan berkata, "Iya. Memangnya salah? Itu juga nggak bisa diartikan dengan sogokan, Dek. Mas cuma ngasih mereka nggak seberapa, kok. Buat bukti kalau aku punya pekerjaan yang lebih baik daripada yang mereka pikirkan.""Kerjaan apa?!" Tanpa sadar aku meninggikan suaraku sampai dia berjengit keget. "Kerjaan apa yang kamu jelaskan ke mereka, Mas?" Kali ini aku berbicara lebih tenang daripada seb
Bab 42 Manjanya Si SuamiAuthor PovDi kediaman rumah Mamat, Desi tengah menggerutu. Tak henti-hentinya dia menggerutu karena tadi Mega dengan seenak jidatnya memutus panggilan, padahal dia masih ingin masih ingin berbicara. “Dasar adik ipar kurang ajar! Nggak ada sopan santunnya!” Desi sampai di rumah sejak 5 menit yang lalu, karena tidak tenang dengan ancaman adik ipar, dia memutuskan untuk mendatanginya dan berbicara langsung. Begaimana bisa dia tinggal diam sementara masih besar kemungkinan untuk Mega diam-diam menusuknya dari belakang?Saat itu, kala dirinya baru memasuki komplek di mana Mega tinggal, ada pemandangan yang menarik perhatiannya. Mega ada di warung bersama Kevin. Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, Desi memutuskan untuk menyembunyikan diri di balik pohon yang letaknya tak jauh dari lokasi mereka berada.Ada informasi yang luar biasa bagi Desi. Ternyata banyak juga yang mempertanyakan tentang pekerjaan sampingan Saleh, dan bukan hanya dirinya yang curiga t
Bab 43 Teman SuamikuHari ini Mega mendapat pesanan dari seseorang yang tinggal di salah satu komplek perumahan di mana Saleh bekerja. Dia lupa kalau dirinya bisa menitipkan barang pesanan itu kepada suaminya pagi ini, jadi dia tidak perlu keluar bersama Kevin. Namun, apa boleh buat? Pelanggan adalah raja. Dia sudah menjanjikan akan mengirim pesanan itu hari ini juga. Mega belum bisa menyewa jasa kurir karena usaha onlinenya masih kecil, upah yang didapat pun belum seberapa. Lagi pula, orang-orang yang menjadi pelanggan masih di sekitar kawasannya, belum menjangkau banyak tempat. Jadi, dia bisa mengantarkannya sendiri untuk sementara. Benar, semoga saja hanya untuk sementara karena nantinya akan terus berkembang hingga benar-benar perlu jasa kurir.Sebenarnya Mega bisa saja memasukkan jualannya lewat situs belanja online yang terkenal, tetapi entah mengapa dirinya masih ragu. Dia terbilang masih awan soal dunia bisnis seperti ini. Berbekal tekad dan niat untuk membantu suaminya, dia
bab 44Ponsel di Atas MejaPov MegaSaat aku sampai di rumah, terlihat Mbak Desi yang sedang menunggu di teras. Untuk apa lagi dia ada di sini? Batinku selalu merasa tidak enak jika melihat dia. Bukan bermaksud benci, hanya merasa jika bertemu dengannya, yang terjadi hanyalah keributan. “Heh, Mega! Dari mana aja, sih?!” Kuhela napas panjang, baru saja aku menginjakkan kaki di teras, tetapi dia sudah main bentak-bentakkan saja. “Habis mengantar pesanan, Mbak. Ada apa, ya, kok ke sini mendadak, Mbak?”“Memangnya aku harus buat janji dulu sama kamu?! Kayak orang penting aja!” Haduh … padahal dia yang rugi sendiri karena sudah menungguku sejak tadi. Kalau dia mau ke sini di jam segini, mungkin aku tidak akan mempir ke pos jaga dan menunggu Mas Saleh. “Ya sudah. Jadi, Mbak ada keperluan apa ke sini?”Dia berdehem sekali, kepalanya terangkat, sementara tatapan mata Mbak Desi merendah. Pose di mana dirinya tengah merendahkanku hanya dengan sorot mata saja. “Kalau Mas Mamat tanya soal uang
Bab 45Ngeles LagiAku yakin kalau ponsel hanh yang tergeletak di meja itu adalah milik Mas Saleh. Dari bentuk, casing, merk ... Ya Allah, kenapa semakin banyak fakta yang terkuak ke permukaan?Aku ingat saat siang tadi. Ketika aku mengantar pesanan di komplek seberang, Mas Saleh tidak ada di pos jaga. Kemungkinan besar dia bersama dengan Tante Feby untuk makan siang. Ia sudah berbohong kepadaku, entah sudah ke berapa kalinya. Kugenggam ponsel dengan erat. Posisi tidurku yang miring, membelakangi Mas Saleh, perlahan kepalaku menoleh ke arahnya. Dia tengah terlelap, matanya terpejam rapat dan dengkuran halus menyeruak dari sela bibirnya.Bagaimana bisa aku berpura-pura baik-baik saja sedangkan luka dia terus torehkan, bahkan masih sempat dia menabur garam di luka yang belum sembuh. Ada apa dengan suamiku? Belum juga aku berhenti berpikir tentang pesan Mas Saleh kepada Sugi siang tadi, masalah baru kembali muncul. Sebenarnya ini lebih kepada bukti atas kecurigaanku yang semakin lama
Bab 46Para IstriTidak ada tanggapan lagi dari Sugi. Aku menggulir layar hingga kembali tampak status terakhir Tante Feby yang sedang makan di restoran. Fokusku masih pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan tentang hal itu kepada Tante Feby melalui chat. [Hai Tante. Lagi sibuk nggak?][Ada yang mau aku omongin nih.] Ternyata si Tante Feby itu membalas pesan dariku dengan sangat cepat. Sepertinya dia juga sedang sangat bersemangat saat ini.[Lagi kesepian juga. Istri sedang tidak becus mengurus suami.]Aku menambahkan lagi emoticon mulai dari ciuman genit hingga tangisan yang berderai air mata. Butuh beberapa saat kemudian untuk mendapatkan balasan dari wanita itu. [Hai Ferry ganteng!][Tante juga lagi kesepian nih. -emoticon menangis]Sudah ku duga dia sangat mudah untuk digoda. Hanya sapaan manis dengan bermodalkan stiker dan emoticon saja sudah membuat tante girang itu kesenangan.Tante Feby bahkan tidak sungkan untuk mengirim fotonya
Part 47HildaTepat jam 04.00 sore di rumah makan Langen Sari, aku menghampiri wanita cantik yang memakai jilbab instan berwarna hijau muda. Hanya dengan sekali lihat saja aku sempat merasa terpesona melihat kecantikannya. Terpesona karena merasa kagum terhadap sesama wanita. Jika aku sebagai perempuan saja bisa terpesona, bagaimana dengan para lelaki?"Selamat sore, assalamualaikum." Dia menyapa terlebih dahulu padaku dengan senyum manis.Aku membalasnya seraya duduk tepat berhadapan dengan wanita itu, di sampingku ada Kevin yang duduk ganteng sembari memainkan mobil-mobilannya. "Namanya Mbak Mega, 'kan?""Iya, Mbak. Mbak Hilda?" Aku menyebut namanya dengan nada bertanya. "Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu di sini."Dari cara bicara dan gerak-geriknya dia tipikal wanita muslimah yang taat beragama, lemah lembut dan anggun. Sesaat aku tidak menyangka bahwa Sugi, lelaki yang dari luar memang tidak terlalu buruk, tetapi cara berbicara yang sedikit kasar dan memiliki tipikal l
Bab 48Bukan Hanya Aku yang Menderita"... Tentang merahasiakan pekerjaan sampingan dari kita, para istri."Kalimat yang barusan terlontar beberapa detik yang lalu terus terang yang di kepalaku. Ternyata suami kami benar-benar sengaja merahasiakannya. Tentu saja setiap tindakan pasti memiliki alasan, setiap orang, setiap kehidupan rumah tangga yang dijalaninya juga memiliki alasan yang berbeda."Saya terus kepikiran hal itu sejak kemarin. Merasa ragu juga untuk membicarakan hal ini sama mbak Mega karena takut kalau saya justru yang akan memicu hubungan dan si suami jadi renggang."Aku bisa mengerti kecemasan dan rasa tidak enak yang Hilda maksud. Kalau aku jadi dia juga mungkin butuh waktu berhari-hari atau lebih lama untuk mengajak istri dari teman suaminya membicarakan masalah yang sangat sensitif ini."Sebelumnya aku mau terima kasih sama kamu karena udah mau berbagi informasi," kataku tulus."Saya juga seorang istri, Mbak. Meski tidak tahu apa Mbak Mega sudah tahu tentang hal ini