Bab 46Para IstriTidak ada tanggapan lagi dari Sugi. Aku menggulir layar hingga kembali tampak status terakhir Tante Feby yang sedang makan di restoran. Fokusku masih pada ponsel yang tergeletak di atas meja. Akhirnya aku memutuskan untuk menanyakan tentang hal itu kepada Tante Feby melalui chat. [Hai Tante. Lagi sibuk nggak?][Ada yang mau aku omongin nih.] Ternyata si Tante Feby itu membalas pesan dariku dengan sangat cepat. Sepertinya dia juga sedang sangat bersemangat saat ini.[Lagi kesepian juga. Istri sedang tidak becus mengurus suami.]Aku menambahkan lagi emoticon mulai dari ciuman genit hingga tangisan yang berderai air mata. Butuh beberapa saat kemudian untuk mendapatkan balasan dari wanita itu. [Hai Ferry ganteng!][Tante juga lagi kesepian nih. -emoticon menangis]Sudah ku duga dia sangat mudah untuk digoda. Hanya sapaan manis dengan bermodalkan stiker dan emoticon saja sudah membuat tante girang itu kesenangan.Tante Feby bahkan tidak sungkan untuk mengirim fotonya
Part 47HildaTepat jam 04.00 sore di rumah makan Langen Sari, aku menghampiri wanita cantik yang memakai jilbab instan berwarna hijau muda. Hanya dengan sekali lihat saja aku sempat merasa terpesona melihat kecantikannya. Terpesona karena merasa kagum terhadap sesama wanita. Jika aku sebagai perempuan saja bisa terpesona, bagaimana dengan para lelaki?"Selamat sore, assalamualaikum." Dia menyapa terlebih dahulu padaku dengan senyum manis.Aku membalasnya seraya duduk tepat berhadapan dengan wanita itu, di sampingku ada Kevin yang duduk ganteng sembari memainkan mobil-mobilannya. "Namanya Mbak Mega, 'kan?""Iya, Mbak. Mbak Hilda?" Aku menyebut namanya dengan nada bertanya. "Alhamdulillah, akhirnya kita bisa bertemu di sini."Dari cara bicara dan gerak-geriknya dia tipikal wanita muslimah yang taat beragama, lemah lembut dan anggun. Sesaat aku tidak menyangka bahwa Sugi, lelaki yang dari luar memang tidak terlalu buruk, tetapi cara berbicara yang sedikit kasar dan memiliki tipikal l
Bab 48Bukan Hanya Aku yang Menderita"... Tentang merahasiakan pekerjaan sampingan dari kita, para istri."Kalimat yang barusan terlontar beberapa detik yang lalu terus terang yang di kepalaku. Ternyata suami kami benar-benar sengaja merahasiakannya. Tentu saja setiap tindakan pasti memiliki alasan, setiap orang, setiap kehidupan rumah tangga yang dijalaninya juga memiliki alasan yang berbeda."Saya terus kepikiran hal itu sejak kemarin. Merasa ragu juga untuk membicarakan hal ini sama mbak Mega karena takut kalau saya justru yang akan memicu hubungan dan si suami jadi renggang."Aku bisa mengerti kecemasan dan rasa tidak enak yang Hilda maksud. Kalau aku jadi dia juga mungkin butuh waktu berhari-hari atau lebih lama untuk mengajak istri dari teman suaminya membicarakan masalah yang sangat sensitif ini."Sebelumnya aku mau terima kasih sama kamu karena udah mau berbagi informasi," kataku tulus."Saya juga seorang istri, Mbak. Meski tidak tahu apa Mbak Mega sudah tahu tentang hal ini
Bab 49Kabar Baik dan BurukHilda menangis sekitar kurang lebih 15 menit. Aku tidak mencoba untuk menghentikannya. Bagaimana pun aku juga ikut sedih, sakit hati dengan apa yang dia katakan tadi. Memang setiap orang memiliki hak untuk mengambil keputusan masing-masing dalam hidup, aku juga tidak tahu seberapa menderitanya dia dalam menjalani kehidupan rumah tangga bersama Sugi. Hilda bilang bahwa dialah yang meminta cerai lebih dulu, tetapi dia juga yang menangis sesenggukan seperti ini. Aku menghela nafas. Ya, memang sulit untuk diartikan, tetapi wanita memang begitu.“Aku sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari, Mbak,” katanya saat isak tangis tidak sedalam tadi. Tidak ada jawaban dariku karena aku lebih menunggu dia berbicara lagi. Di saat-saat seperti ini, yang dibutuhkan Hilda adalah didengarkan. Mungkin sebelumnya dia tidak terlalu ‘buka-bukaan’ tentang masalah rumah tangganya, tetapi kali ini tidak.“Saya sudah menikah dengan Mas Sugi 5 tahun ini, dan sampai sekarang juga kam
Bab 50Pertemuan Sebagai Ferry“A-apa? Rumah, Mas?” “Iya, Dek. Rumah yang lebih bagus dan lebih besar dari ini.”“Tapi—““Dengan uang segini bisa kita gunakan buat beli rumah impian, Dek!”Aku kehilangan kata-kata untuk bisa merespons ucapannya. Dia bilang beli, bukan menyewa lagi. bagaimana mungkin aku tidak terkejut setengah mati mendengarnya? Mungkin akan berbeda jika cara Mas Saleh mendapatkan uang ini dengan pekerjaan yang jelas. Paling tidak aku tahu seluk beluknya hingga kapan dia menabung—tunggu. “Mas, kamu dapat uang ini selama satu minggu atau sudah nabung sejak jauh-jauh hari tanpa sepengetahuanku?”“Hm?” Aku menangkap perubahan ekspresinya. “Kenapa? kok, tanyanya gitu?”“Ya wajar aja, dong, Mas. Siapa juga yang nggak akan bertanya-tanya kalau diperlihatkan uang sebanyak itu dan akan ebli rumah?!” “Kamu nggak senang, Dek?” Ada raut protes di wajahnya. “Bukannya nggak senang, tapi—“ Aku membuang napas kasar. “Jawab dulu, dong, Mas. Kamu dapat uang ini dari mana?”“Kerj
Bab 51Meminta CeraiPesanan kami datang, vanila latte dingin untukku dan ice americano untuknya. Tidak ada yang memulai pembicaraan selama beberapa menit berlalu. Tante Faby terlihat tidak nyaman dengan duduknya.Lucu sekali. Di situasi seperti ini aku pikir dia yang akan lebih ganas untuk menyerangku terlebih dulu, mengingat bagaimana sikapnya.“Tante nggak mau tanya?”“Eh?”“Pasti banyak yang mau Tante tanyakan padaku, ‘kan?” Walaupun sebenarnya aku yang lebih berhak bertanya kepadanya. “Oh, itu ….”“Kalau gitu, biar aku yang bicara dulu, deh.” Aku berdehem sekali sembari menyandarkan punggung pada kepala kursi, tanganku bersedekap di depan dada. “Seperti yang sudah aku bilang sebelumnya—aku ini Ferry yang hampir setiap hari dalam kurun waktu satu minggu belakangan mengobrol dengan Tante lewat facebook.” Dia diam.“Gimana rasanya ditipu, Tante? Bukankah seharusnya Tante marah sama aku?” Sengaja aku mengulur waktu dengan meledeknya terlebih dahulu. Tak dapat dimungkiri bahwa aku
Bab 52Usahanya Menghiburku“Kamu salah paham, Dek. Mana mungkin aku melakukan hal kayak gitu?!” Mas Saleh terus saja menyangkal. “Kalau aku salah paham, apa kamu bisa jelasin siapa orang yang foto hot sama Tante Faby? Coba jelasin apa pekerjaan kamu sampai nggak lama kamu udah punya uang buat beli rumah!” “Dek, i-itu jelas bukan aku!” Dia menunjuk-nunjuk ponsel yang ada di tanganku. “Dilihat dari manapun juga, itu sama sekali nggak ada kesamaan! Mungkin cuma mirip aja kali, Dek. Udahlah, kamu kebanyakan nonton sinetron istri yang tersakiti jadi gampang curiga sama suami sendiri!” Mas Saleh melengos. Dia berusaha untuk menghindari tatapanku. Jelas kalau dia sedang berbohong. “Mas, apa kamu berpikir kalau permintaanku buat cerai itu hanya omong kosong?! Aku serius, Mas!”“Hush! Kamu jangan asal bilang begitu! Nggak baik. Kalau tetangga dengar bagaimana?! Bisa jadi gosip tetangga kita, Dek!” “Kita, terutama kamu udah lama jadi bahan gunjingan para tetangga. Itu bukan sesuatu yang b
Bab 53Harga Diri dan Hidup Layak"Maaf karena buat kamu nunggu lama dan nggak balas pesan kamu. Itu karena kami, Pak RT, aku dan si pembeli tanah itu lagi fokus berdiskusi mengenai harga tanah sampai ngurus sertifikatnya juga. Aku nggak sadar kalau sampai larut malam. Hehehe." Terdengar dentingan piring dan sendok hingga tombol gas yang akhirnya dimatikan. Sejak tadi dia berbicara, aku tidak memperhatikannya dan seolah-olah permukaan meja jauh lebih menarik daripada suamiku sendiri. Sampai aku baru sadar dia sudah menyiapkan sepiring nasi goreng dan telur mata sapi untukku dan satu piring lagi untuknya. "Kamu tahu kalau aku paling jago bikin nasi goreng. Lama banget rasanya baru pegang wajan sama spatula. Hahah.""Mas," panggilku pelan, menginterupsi tawanya dengan mata yang tertuju pada sepiring nasi goreng di hadapanku."Akhirnya kamu menyauti ucapanku, Dek. Dari tadi rasanya aku kayak bicara sama tembok.""Aku hargai kerja keras kamu buat menghiburku," kataku mengabaikan ucapan