Suamiku Simpanan Tante-tante 15
Tante Feby Yang CentilAku pun berusaha menunjukkan senyum palsu pada Mas Saleh kali ini. Tetapi aku sungguh kaget saat keluar dari toko dan melihat ke arah tempat duduk Mas Saleh dan Kevin. Seorang wanita setengah baya, mungkin usianya hampir sama dengan ibu mertuaku, saat ini sedang duduk dan mengelus pipi Mas Saleh dengan mesranya. Anehnya lagi, suamiku itu pun sepertinya tak risih dengan perlakuan itu. Siapa sebenarnya perempuan itu?"Si-siapa ibu ini, Mas?" tanyaku dengan sedikit gugup.Mungkin karena saking intensnya Mas Saleh dan wanita itu berinteraksi, mereka hingga tak sadar kini aku tengah berdiri tepat di depan mereka."Eh ... kamu sudah selesai belanjanya, Dek?" ucap suamiku masih dengan terlihat gugup.Mas Saleh nampak sangat gugup sekali juga saat ini. Dengan sigap dia pun memindahkan tangan wanita setengah baya berpakaian sexy itu, yang sejak tadi mengelus pipi Mas Saleh itu.<Suamiku Simpanan Tante-tante 16Dia Kesepian"Oke, aku minta kalian berdua jawab dulu pertanyaanku ini. Jadi Tante Feby ini salah satu penghuni perumahan yang dijaga oleh Mas Saleh, tetapi kenapa kalian tadi begitu mesra sekali? Bahkan kurasa sudah seperti pasangan kekasih saja!" ucapku sambil tersenyum.Aku memang sudah berusaha untuk bersikap lebih lembut dan tidak lagi emosi, tetapi tentu saja hal ini tetap harus ku ketahui. Enak saja mereka mau mangkir penjelasan dariku, sudah jelas melakukan sebuah kesalahan di depan mata kok ya masih saja tenang dan tak mau menceritakan hubungan apa yang terjadi di antara mereka."Di antara kami tentu saja tak ada hubungan apa-apa, Dek. Ya sebatas hubungan antara penjaga dan tuan rumah, ya seperti itu saja. Tante Febby ini memang orangnya supel sekali pada semua orang, dan baik sekali dengan siapa saja. Tak hanya denganku beliau ini baik, tapi pada semua satpam dan juga warga penghuni perumahan." Mas Saleh p
Suamiku Simpanan Tante-tante 17Royal"Kamu jangan berpikir yang macam-macam ya tentang aku, Mbak. Meski penampilan aku seperti ini, dan kadang aku bersikap manja pada laki-laki. Tetapi percayalah aku ini bukan Tante-tante kesepian seperti yang ada di layar kaca itu. Aku masih memiliki hati nurani untuk tak melakukan perbuatan yang menjijikkan itu. Banyak cara lain untuk menghapus kesepian tanpa berbuat yang tidak benar."Seakan mengerti dengan apa yang saat ini kupikirkan tentang dia, si Tante Feby pun berucap demikian. Ada sedikit rasa tak enak karena aku telah memikirkan hal yang tidak baik tentang orang lain."Yang pasti aku dan Saleh tak punya hubungan apa-apa, Mbak. Hanya saja dia ini persis seperti putraku, karena itu aku senang dengannya. Kapan-kapan kamu dan Kevin juga main saja ke rumahku ya, aku tentu akan merasa sangat senang sekali nanti." Tatapan mata Tante Feby kali ini terlihat berbeda padaku, tetapi aku tak bisa menebak apa artiny
Bab 18Dalih Bercanda"Apa maksud kamu, Dek? Kenapa ujung-ujungnya jadi bahas tanda merah lagi?""Ucapan Tante Feby tadi menyinggung masalah soal tadi malam. Apa yang kalian lakuin sebenarnya?! Jawab dengan jujur, Mas!"Aku melihat wajah Mas Saleh yang mulai tegang sedangkan Tante Febby justru terlihat santai sambil senyum-senyum tidak jelas. "Tadi malam itu--""Saya tadi cuma bercanda aja, Mbak." Tante itu kembali tertawa, kali ini bahkan sambil mukul-mukul ke lenganku. "Kenapa wajah kalian jadi tegang begitu, sih? Hidup kalian serius banget kayak nggak ada santai-santainya gitu. Hahaha.""Tuh, 'kan?! Kamu bikin malu aja, deh, Dek. Masa habis digigit Tomcat kamu sangkutin sama bercandaannya Tante Feby? Jangan mikir yang nggak-nggak, dong. Kamu mau bikin malu aku?""Bukan begitu, Mas. Lagian bercandanya nggak etis banget, sih. Kenapa harus bawa-bawa ranjang segala? Bercandanya tante Feby bikin siapa saja bisa salah paham!" Kesel rasanya karena seolah-olah aku sedang dipermainkan di s
Bab 19Gelisah di Tengah Malam yang PanasAku menghampirinya Mas Saleh yang sedang asyik bermain ponsel, sedangkan TV juga sedang menyala. Senyum dan tawanya tidak dia tunjukan untuk acara lawak layar kaca yang lebih lebar itu. Tatapannya masih fokus pada gawai dan seolah keberadaanku tidak bisa dirasa. “Mas,” panggilku pelan.“Ya ampun, Dek! Kamu bikin kaget aja!” Padahal, aku tidak berniat untuk mengagetkannya. Suaraku juga sehalus kapas, tetapi dasar Mas Saleh saja yang fokusnya hanya pada ponsel saja. “Kamu lagi apa, sih, Mas? kelihatannya serius amat, asyik banget lagi. Chattingan sama Tante Feby, ya?” Aku asal saja, tetapi tentunya dengan niat terselubung.“Apa, sih, Dek? Kamu jangan mulai lagi, deh!” Dia menjawab dengan acuh tak acuh. Namun, saat aku mencoba untuk mengintip, dia justru menyembunyikan ponsel itu dengan menempelkannya di depan dada. “Dek … geseran dikit, dong. Kamu terlalu nempel kayak permen karet, tau!” Aku mengendus sembari mengambil jarak yang semula mem
Bab 20 Gelisah yang Tak Kunjung HilangSeperti yang sudah dijanjikan Mas Saleh, aku akhirnya bisa dengan leluasa membuka ponselnya. Saat ini masih pagi buta. Mas Saleh sepertinya masih kelelahan karena aktivitas panak kami semalam. Dia tidur dengan kepala yang mengusel di punggungku yang polos. Dengan posisi miring, aku bisa meraih ponsel Mas Saleh dengan mudah di atas nakas. Aku tidak mau kehilangan kesempatan buat mendapatkan nomor ponsel wanita itu. Wanita yang Mas Saleh bilang adalah istri dari temannya yang suka mengerjai. Aku ingat betul. Suaranya mirip dengan suara Tante Feby. Nada suara yang mendayu manja dan sedikit cempreng, tetpai kesannya dipaksa buat halus--astaga! Mengingatnya saja sudah berhasil membuatku merinding.Kubuka aplikasi chat berwarna hijau. Nomor kontak itu menjadi pusat perhatianku karena berada paling. Aku membukanya. Ada kekecewaan di dalam hati saat obrolan itu itu hanya sebatas ucapan selamat malam saja. Padahal, aku yakin sebelumnya pasti ada hal
Bab 21Akun Facebook-nya TanteSaat Mas Saleh sudah berangkat bekerja, dan setelah menyelesaikan pesanan untuk jualan online-ku, aku mencoba untuk menghubungi nomor yang aku curigai milik Tante Feby. Tentu saja agar tidak ada kecurigaan dari Mas Saleh, aku menggunakan nomor baru yang sama sekali belum pernah aku gunakan. Percobaan pertama dan kedua kali panggilanku tidak dijawab. Untuk yang ketiga kalinya, barulah ada jawaban dari si pemilik nomor. “Halo? Siapa ini?” Aku tidak langsung menjawab. Suara ini jelas-jelas suaranya tante ganjen itu. Padahal, sebelumnya Mas Saleh bilang kalau pemilik nomor ini adalah temannya yang suka mengerjainya. Namun, mengapa dia harus berbohong padaku? “Ih, siapa, sih, ini?!”Sepertinya dia mulai kesal karena tidak kunjung mendapat jawaban dariku. “Kalau mau niat nelepond, bicara, dong! Orang iseng, ya?!” Baru aku akan menjawab ucapannya, panggilan itu sudah diakhiri. Kuhela napas panjang, Jangan biarkan aku terjebak dalam emosi seperti ini, Aku
Bab 22Berbohong Itu Tidak MenyenangkanSegera aku menelepon Mbak Desi. Namun, dia sama sekali tidak menjawab panggilanku. Ya Allah, apa yang akan dia lakukan? Jika Mas Saleh tahu tentang ini, dia pasti akan marah padaku.Sebagai alternatif lain, aku menghubungi Mas Saleh. Memintanya agar tidak percaya dengan ucapan Mbak Desi. Kalau bisa, aku buat dia agar tidak bertemu dengan wanita itu. “Assalamu’alaikum, Mas. Kamu ada di mana?”“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Dek? Kok, kedengerannya kayak lagi buru-buru banget, sih?” “Kamu masih berjaga, ‘kan, Mas?” Aku mengabaikan pertanyaannya. Sepertinya Mas Saleh sedang senggang, jadi bisa menerima panggilan dengan cepat. “Iya, masih berjaga di komplek. Kenapa, Dek?” Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan ini benar atau tidak, tetapi yang jelas aku tidak ingin Mas Saleh bertemu dengan Mbak Desi. Kakak iparku itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Mungkin saat ini juga dia sedang menuju ke tempat kerja suamiku. Ragu-ragu, aku berkata, “K
Bab 22Jaminan HutangAku ingin menertawakan situasi aneh seperti ini. Setelah Mas Saleh kembali ke tempat kerjanya, Mbak Desi justru datang. Sebelumnya wanita itu sudah mengancamku lebih dulu dan akan memastikan kalau aku memang tidak memiliki uang untuk membayar hutang.“Buat apa, sih, Mbak kalau aku bohong? Aku juga mau hutangku cepat lunas. Tapi, gimana caranya aku melunasi kalau Mbak Desi terus membengkakkan bunga yang nggak seharusnya.” “Halahh … itu salah kamu sendiri yang ngundur-ngundur waktu terus! Kamu itu aslinya nggak niat buat bayar hutang. Iya, ‘kan?” Wanita yang mengenakan make up tebal itu terus menghardik tanpa peduli kalau mungkin tetangga bisa mendengar suaranya yang menggelegar itu. Oh, mungkin memang dengan sengaja dia melakukannya. Dari dulu juga kakak iparku ini selalu gemar mempermalukanku di depan umum. “Aku nggak pernah berniat begitu, Mbak. Sejak awal aku juga udah bilang kalau perekonomian kami tidak selamanya lancar.”“Mana mungkin! Kamu berusah membo