Bab 19Gelisah di Tengah Malam yang PanasAku menghampirinya Mas Saleh yang sedang asyik bermain ponsel, sedangkan TV juga sedang menyala. Senyum dan tawanya tidak dia tunjukan untuk acara lawak layar kaca yang lebih lebar itu. Tatapannya masih fokus pada gawai dan seolah keberadaanku tidak bisa dirasa. “Mas,” panggilku pelan.“Ya ampun, Dek! Kamu bikin kaget aja!” Padahal, aku tidak berniat untuk mengagetkannya. Suaraku juga sehalus kapas, tetapi dasar Mas Saleh saja yang fokusnya hanya pada ponsel saja. “Kamu lagi apa, sih, Mas? kelihatannya serius amat, asyik banget lagi. Chattingan sama Tante Feby, ya?” Aku asal saja, tetapi tentunya dengan niat terselubung.“Apa, sih, Dek? Kamu jangan mulai lagi, deh!” Dia menjawab dengan acuh tak acuh. Namun, saat aku mencoba untuk mengintip, dia justru menyembunyikan ponsel itu dengan menempelkannya di depan dada. “Dek … geseran dikit, dong. Kamu terlalu nempel kayak permen karet, tau!” Aku mengendus sembari mengambil jarak yang semula mem
Bab 20 Gelisah yang Tak Kunjung HilangSeperti yang sudah dijanjikan Mas Saleh, aku akhirnya bisa dengan leluasa membuka ponselnya. Saat ini masih pagi buta. Mas Saleh sepertinya masih kelelahan karena aktivitas panak kami semalam. Dia tidur dengan kepala yang mengusel di punggungku yang polos. Dengan posisi miring, aku bisa meraih ponsel Mas Saleh dengan mudah di atas nakas. Aku tidak mau kehilangan kesempatan buat mendapatkan nomor ponsel wanita itu. Wanita yang Mas Saleh bilang adalah istri dari temannya yang suka mengerjai. Aku ingat betul. Suaranya mirip dengan suara Tante Feby. Nada suara yang mendayu manja dan sedikit cempreng, tetpai kesannya dipaksa buat halus--astaga! Mengingatnya saja sudah berhasil membuatku merinding.Kubuka aplikasi chat berwarna hijau. Nomor kontak itu menjadi pusat perhatianku karena berada paling. Aku membukanya. Ada kekecewaan di dalam hati saat obrolan itu itu hanya sebatas ucapan selamat malam saja. Padahal, aku yakin sebelumnya pasti ada hal
Bab 21Akun Facebook-nya TanteSaat Mas Saleh sudah berangkat bekerja, dan setelah menyelesaikan pesanan untuk jualan online-ku, aku mencoba untuk menghubungi nomor yang aku curigai milik Tante Feby. Tentu saja agar tidak ada kecurigaan dari Mas Saleh, aku menggunakan nomor baru yang sama sekali belum pernah aku gunakan. Percobaan pertama dan kedua kali panggilanku tidak dijawab. Untuk yang ketiga kalinya, barulah ada jawaban dari si pemilik nomor. “Halo? Siapa ini?” Aku tidak langsung menjawab. Suara ini jelas-jelas suaranya tante ganjen itu. Padahal, sebelumnya Mas Saleh bilang kalau pemilik nomor ini adalah temannya yang suka mengerjainya. Namun, mengapa dia harus berbohong padaku? “Ih, siapa, sih, ini?!”Sepertinya dia mulai kesal karena tidak kunjung mendapat jawaban dariku. “Kalau mau niat nelepond, bicara, dong! Orang iseng, ya?!” Baru aku akan menjawab ucapannya, panggilan itu sudah diakhiri. Kuhela napas panjang, Jangan biarkan aku terjebak dalam emosi seperti ini, Aku
Bab 22Berbohong Itu Tidak MenyenangkanSegera aku menelepon Mbak Desi. Namun, dia sama sekali tidak menjawab panggilanku. Ya Allah, apa yang akan dia lakukan? Jika Mas Saleh tahu tentang ini, dia pasti akan marah padaku.Sebagai alternatif lain, aku menghubungi Mas Saleh. Memintanya agar tidak percaya dengan ucapan Mbak Desi. Kalau bisa, aku buat dia agar tidak bertemu dengan wanita itu. “Assalamu’alaikum, Mas. Kamu ada di mana?”“Wa’alaikumsalam. Ada apa, Dek? Kok, kedengerannya kayak lagi buru-buru banget, sih?” “Kamu masih berjaga, ‘kan, Mas?” Aku mengabaikan pertanyaannya. Sepertinya Mas Saleh sedang senggang, jadi bisa menerima panggilan dengan cepat. “Iya, masih berjaga di komplek. Kenapa, Dek?” Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan ini benar atau tidak, tetapi yang jelas aku tidak ingin Mas Saleh bertemu dengan Mbak Desi. Kakak iparku itu tidak pernah main-main dengan ucapannya. Mungkin saat ini juga dia sedang menuju ke tempat kerja suamiku. Ragu-ragu, aku berkata, “K
Bab 22Jaminan HutangAku ingin menertawakan situasi aneh seperti ini. Setelah Mas Saleh kembali ke tempat kerjanya, Mbak Desi justru datang. Sebelumnya wanita itu sudah mengancamku lebih dulu dan akan memastikan kalau aku memang tidak memiliki uang untuk membayar hutang.“Buat apa, sih, Mbak kalau aku bohong? Aku juga mau hutangku cepat lunas. Tapi, gimana caranya aku melunasi kalau Mbak Desi terus membengkakkan bunga yang nggak seharusnya.” “Halahh … itu salah kamu sendiri yang ngundur-ngundur waktu terus! Kamu itu aslinya nggak niat buat bayar hutang. Iya, ‘kan?” Wanita yang mengenakan make up tebal itu terus menghardik tanpa peduli kalau mungkin tetangga bisa mendengar suaranya yang menggelegar itu. Oh, mungkin memang dengan sengaja dia melakukannya. Dari dulu juga kakak iparku ini selalu gemar mempermalukanku di depan umum. “Aku nggak pernah berniat begitu, Mbak. Sejak awal aku juga udah bilang kalau perekonomian kami tidak selamanya lancar.”“Mana mungkin! Kamu berusah membo
Bab 24Dia yang Tidak KonsistenMas Saleh pulang, dan sesuai dengan janjinya dia membawakan martabak untuk. Setelah Apa yang dilakukan oleh kakak iparku tadi siang, rasanya aku benar-benar kehilangan minat untuk makan. Namun, demi menghargai niat baik suamiku, aku tetap memakan martabak yang dia bawa."Kamu masih lemas gara-gara diare tadi siang?" Dia bertanya setelah duduk di depanku. Kami berada di ruang tamu, sementara Kevin sudah tidur sejak tadi.Mas Saleh sudah terlihat bersih dan rapi. Tidak ketinggalan juga aroma parfum yang belakangan ini sering dia gunakan meski berada di dalam rumah. "Mungkin, Mas." Padahal aku lemas gara-gara sikap Mbak Desi. Aku benar-benar dilema sekarang."Tapi kamu harus tetap makan. Biar ada tenaga." Mas Joko juga ikut mengambil sepotong martabak dan menyuapkan mulutnya sendiri. Aku tersenyum dan mengiyakan saja ucapannya."Ngomong-ngomong perhiasan yang kita beli kemarin kamu nggak pakai?" Deg!Aduh, kenapa dia bertanya sekarang? Pasti saat aku m
Bab 25Dia dan Kloningannya Meskipun Mas Saleh bilang kalau aku tidak perlu jualan online lagi, aku tetap mengerjakannya dengan sepenuh hati. Hutangku pada Mbak Desi tinggal sedikit lagi. Secepat mungkin akan kulunasi jika sudah cukup uangnya.“Dek, aku berangkat dulu, ya.” Mas Saleh beranjak dari meja makan setelah menyelesaikan sarapannya. Aku menghampirinya, kemudian mencium tangan suamiku itu. “Kamu pulang malam lagi, Mas?”“Eum … nggak tahu. Nanti aku kabari kamu aja.”Kuanggukkan kepala sebagai respons. “Mas,” panggilku sebelum dia benar-benar keluar dari halaman rumah. “Aku nggak keberatan hidup pas-pasan kayak dulu, kok. Aku menerima dengan ikhlas dan ridho dengan apa yang Mas berikan padaku.” Mas Saleh tidak langsung menjawab. Dia sepertinya tahu ke mana arah ucapanku tadi. Karena tidak kunjung mendapat jawaban, aku kembali berbicara, “Aku benar-benar lebih merasanya nyaman dengan kehidupan kita yang dulu, Mas. Kamu yang nggak pulang malam, banyak waktu juga buat main sama
Bab 26Penghinaan dari Kakak IparMbak Desi beberapa hari ini sudah tidak menerorku lagi. Berkat perhiasan yang dia ambil dariku, teror 'kapan bayar hutang?' itu tidak mengusik hari-hariku. Namun, bukan berarti tidak ada lagi ancaman. Kakak iparku itu mungkin diam-diam sedang menaikkan bunga hutangku lagi, dan tentu saja akan membuatku sulit untuk membayarnya. Kali ini aku tidak akan membiarkannya begitu saja. Alhamdulillah, berkat izin Allah, pelanggan kemarin benar-benar memborong daganganku sampai stok yang ada di rumah habis. Tentu saja untungnya juga lumayan dan bisa menambal kekurangan hutangku. Hari ini, setelah makan siang, aku berkunjung ke rumah Mas Mamat."Assalamualaikum." Kuketuk pintu dengan perasaan was-was. Setelah dua kali mengucapkan salam, akhirnya pintu terbuka dan memperlihatkan Mbak Desi yang raut wajahnya langsung masam ketika melihatku."Mau apa kamu?" Dia menyahut tanpa menjawab salamku."Anu, Mbak, aku ke sini buat bayar hutang." Meski ditatap tajam, aku m