Bab 37Air Mata Tengah MalamMas Saleh pulang larut malam hari ini. Setikar pukul 11 malam, dia baru menampakkan batang hidungnya di depan pintu. “Assalamu’alaikum, Dek,” salamnya dengan senyum hangat kala aku membukakan pintu untuknya.“Wa’alaikumsalam,” jawabku seraya memintanya untuk masuk. “Kamu nggak nungguin aku sampai belum tidur di jam segini, ‘kan?” tanyanya saat kami menuju ke kamar.“Aku mana bisa tidur kalau kamu belum pulang?”“Ya ampun, Dek. Udah aku bilangin sejak jauh-jauh hari kalau kamu nggak perlu sampai terjaga.” Dia menghentikan langkahku dan meminta untuk duduk di sofa ruang tamu terlebih dahulu. Aku pikir dia sudah lelah, jadi aku juga mau bersiap tidur saja. “Mas, kamu nggak lelah? Kalau mau mandi, aku bisa siapkan air hangat biar tidurmu juga nyenyak.” Kami sudah berada duduk di sofa panjang. Dia menyenderkan kepala di pundakku. “Aku udah mandi, kok, tadi.”Seketika aku menarik diri darinya dan menatap Mas Saleh dengan tatapan curiga. “Mandi? Kamu mandi d
Bab 38 Balik MengancamAku terus mendesak Mas Saleh, tetapi dia mengelak dengan berdalih kalau yang dikhawatirkan olehku tidaklah benar. Semua yang dituduhkan oleh para tetangga hanya fitnah belaka. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi agar Mas Saleh bisa jujur padaku."Kamu harus percaya sama aku dek! Semua yang dikatakan tetangga itu nggak benar!""Kalau gitu jelaskan siapa orang yang selalu pulang sama kamu sampai tengah malam? Apa tadi juga kamu pulangnya bareng sama perempuan itu?" Aku tahu kalau ribut di tengah malam seperti ini tidaklah baik titik tetangga juga bisa mendengar keributan kami. Akan tetapi rasanya aku tidak bisa menahan lagi gejolak amarah dengan diriku. "Tetangga bisa saja salah lihat. Aku memang terkadang pulang bersama penghuni komplek ini yang bekerja di komplek sebelah. Dia itu kalau pulang memang selalu malam banget, Dek. Kerjanya lembur terus kadang juga shift malam. Kurang lebih sama kayak aku. Namanya Mbak Dian. Dia itu penghuni baru rumah yang ada di
Bab 39Tawaran Kerjaan BaruMakan siang di rumah Mas Mamat berjalan dengan baik. Mbak Desi juga tidak banyak bicara kerena mungkin dia mulai merasa terancam tentang apa yang aku bicarakan tadi. Sebenarnya, aku tidak bermaksud untuk benar-benar mengancamnya, tetapi karena keadaan cukup mendukung, aku bisa apa? hehehe.“Saleh gimana pekerjaannya, Ga? Apa lancar aja?” tanya Mas Mamat saat kami selesai makan.“Alhamdulillah lancar, Mas.” Kami sedang ada di teras. Aku memangku Kevin yang asyik main dengan mobil-mobilannya.“Aku dengar dia punya kerjaan sampingan.” “Eh?”“Kerjaan sampingan Saleh apa, Dek?” Mas Mamat mengeluarkan puntung rokok, tetapi sepertinya dia baru ingat ada Kevin di depannya, jadi dia kembali memasukkan benda bertembako itu ke tempatnya. “Desi bilang kalau suami kamu cukup sukses di perkerjaan sampingannya juga.”Ternyata Mbak Desi tidak seperti apa yang aku pikir. Dia tidak akan membiarkan aku hidup dalam ketenangan.“Oh, eum … Alhamdulillah, Mas. Mas Saleh memang
bab 40Uang SogokanAku memikirkan tentang rentetan pesan dari teman Facebook-nya Mas Saleh. Semuanya tentu tidak bisa percaya begitu saja. Bisa saja kalau dia hanya bercanda, bukan? Kegebutan hingga berujung membicarakan hal yang tak masuk akal. Atau … hanya aku saja yang sampai saat ini sulit untuk percaya dan menerima kenyataan? “Kamu kenapa, sih, Dek? Dari tadi melamun terus?” Suara Mas Saleh yang duduk di seberangku membuyar lamunan. Kami sedang menonto TV bersama. Hari ini dia memang tidak lanjut kerja sampingan. Atau … hanya aku saja yang sampai saat ini sulit untuk percaya dan menerima kenyataan? “Kamu kenapa, sih, Dek? Dari tadi melamun terus?” Suara Mas Saleh yang duduk di seberangku membuyar lamunan. Kami sedang menonto TV bersama. Hari ini dia memang tidak lanjut kerja sampingan. Atau … hanya aku saja yang sampai saat ini sulit untuk percaya dan menerima kenyataan? “Kamu kenapa, sih, Dek? Dari tadi melamun terus?” Suara Mas Saleh yang duduk di seberangku membuyar lam
Bab 41Tak Mau Kalah"Apa maksud kamu nyogok?"Masih saja pura-pura tidak tahu. "Tolong, dong, Mas, jangan mengelak terus. Aku--" Sadar karena Kevin masih ada di sisiku, aku menyuruhnya untuk masuk ke kamar terlebih dahulu agar perdebatan orang tuanya tidak sampai ke telinganya. "Sekarang apa lagi? Ada masalah apa lagi, Dek?" "Seharusnya aku yang tanya ke kamu. Apa yang sudah kamu lakukan sampai masalah lain timbul kayak gini, Mas?""Bicara yang jelas biar aku ngerti." "Kamu bayar tetangga agar anak mereka mau main sama Kevin, iya kan?" Mas Joko terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk santai dan berkata, "Iya. Memangnya salah? Itu juga nggak bisa diartikan dengan sogokan, Dek. Mas cuma ngasih mereka nggak seberapa, kok. Buat bukti kalau aku punya pekerjaan yang lebih baik daripada yang mereka pikirkan.""Kerjaan apa?!" Tanpa sadar aku meninggikan suaraku sampai dia berjengit keget. "Kerjaan apa yang kamu jelaskan ke mereka, Mas?" Kali ini aku berbicara lebih tenang daripada seb
Bab 42 Manjanya Si SuamiAuthor PovDi kediaman rumah Mamat, Desi tengah menggerutu. Tak henti-hentinya dia menggerutu karena tadi Mega dengan seenak jidatnya memutus panggilan, padahal dia masih ingin masih ingin berbicara. “Dasar adik ipar kurang ajar! Nggak ada sopan santunnya!” Desi sampai di rumah sejak 5 menit yang lalu, karena tidak tenang dengan ancaman adik ipar, dia memutuskan untuk mendatanginya dan berbicara langsung. Begaimana bisa dia tinggal diam sementara masih besar kemungkinan untuk Mega diam-diam menusuknya dari belakang?Saat itu, kala dirinya baru memasuki komplek di mana Mega tinggal, ada pemandangan yang menarik perhatiannya. Mega ada di warung bersama Kevin. Karena rasa penasaran yang menggebu-gebu, Desi memutuskan untuk menyembunyikan diri di balik pohon yang letaknya tak jauh dari lokasi mereka berada.Ada informasi yang luar biasa bagi Desi. Ternyata banyak juga yang mempertanyakan tentang pekerjaan sampingan Saleh, dan bukan hanya dirinya yang curiga t
Bab 43 Teman SuamikuHari ini Mega mendapat pesanan dari seseorang yang tinggal di salah satu komplek perumahan di mana Saleh bekerja. Dia lupa kalau dirinya bisa menitipkan barang pesanan itu kepada suaminya pagi ini, jadi dia tidak perlu keluar bersama Kevin. Namun, apa boleh buat? Pelanggan adalah raja. Dia sudah menjanjikan akan mengirim pesanan itu hari ini juga. Mega belum bisa menyewa jasa kurir karena usaha onlinenya masih kecil, upah yang didapat pun belum seberapa. Lagi pula, orang-orang yang menjadi pelanggan masih di sekitar kawasannya, belum menjangkau banyak tempat. Jadi, dia bisa mengantarkannya sendiri untuk sementara. Benar, semoga saja hanya untuk sementara karena nantinya akan terus berkembang hingga benar-benar perlu jasa kurir.Sebenarnya Mega bisa saja memasukkan jualannya lewat situs belanja online yang terkenal, tetapi entah mengapa dirinya masih ragu. Dia terbilang masih awan soal dunia bisnis seperti ini. Berbekal tekad dan niat untuk membantu suaminya, dia
bab 44Ponsel di Atas MejaPov MegaSaat aku sampai di rumah, terlihat Mbak Desi yang sedang menunggu di teras. Untuk apa lagi dia ada di sini? Batinku selalu merasa tidak enak jika melihat dia. Bukan bermaksud benci, hanya merasa jika bertemu dengannya, yang terjadi hanyalah keributan. “Heh, Mega! Dari mana aja, sih?!” Kuhela napas panjang, baru saja aku menginjakkan kaki di teras, tetapi dia sudah main bentak-bentakkan saja. “Habis mengantar pesanan, Mbak. Ada apa, ya, kok ke sini mendadak, Mbak?”“Memangnya aku harus buat janji dulu sama kamu?! Kayak orang penting aja!” Haduh … padahal dia yang rugi sendiri karena sudah menungguku sejak tadi. Kalau dia mau ke sini di jam segini, mungkin aku tidak akan mempir ke pos jaga dan menunggu Mas Saleh. “Ya sudah. Jadi, Mbak ada keperluan apa ke sini?”Dia berdehem sekali, kepalanya terangkat, sementara tatapan mata Mbak Desi merendah. Pose di mana dirinya tengah merendahkanku hanya dengan sorot mata saja. “Kalau Mas Mamat tanya soal uang