Rutinitas pagi Selena tidak jauh-jauh dari beberes rumah dan memasak. Meski ada Bu Minah yang datang per dua hari, ia tetap tidak nyaman meninggalkan pakaian kotor lebih dari sehari. Apalagi Mba Minah mengaku jasanya digaji oleh Delia. Ia cukup tahu diri agar tidak terlalu merepotkan Bu Minah.
Sudah jam 05.30, Cheryl masih lelap di tempat tidur. Ia tampak ceria saat Selena menjemput dari rumah Delia. Namun saat kembali ke rumah, Cheryl lebih banyak diam. Tidur lebih awal karena seharian capek main dengan bayinya Delia. Selena terpikir agar segera membelikan beberapa jenis mainan dan buku agar Cheryl mulai menyatu dengan suasana baru di rumah ini. Ia perlu mengatur waktu dan keuangannya.
Terpikir untuk menghubungi Harris lebih awal karena banyak yang ingin dia tanyakan. Diambilnya ponsel dan memeriksa baterainya. Penuh. Ia berharap bosnya mau memberi waktu untuknya. Dalam hati ia berucap.
Nada sambung terdengar di seberang sana, tapi hingga tiga kali panggilan ta
Arjuna menyudahi panggilan teleponnya ke Delia. Ponsel ia letakkan di sebelah piring."Kita dapat antrian pertama, jam 11 siang. Nanti kita mampir ke restoran dulu, ya, sayang" katanya meremas jemari Karina yang terletak di meja."Oke"Karina tak bisa lagi menghindar pertemuan dengan dokter. Ia sudah berjanji dan hasil test pack barusan cukup membuatnya bingung. Seharusnya ia merasa lega karena tidak hamil tapi terjebak dengan dokter kandungan dan rencana memilik anak ternyata jauh lebih rumit dari yang ia duga.Hatinya belum ikhlas. Ia belum siap untuk berhenti dari dunia model dan harus berdiam diri hingga dua tahun demi merawat bayi. Umurnya masih muda.'Ini semua karena Indra tapi aku juga tidak tega mematahkan semangat Arjuna' batinnya sambil menarik nafas berat."Kenapa, sayang? Makannya tidak enak?" tanya Arjuna seperti menyadari arti desahan istrinya."Enak, kog. Cuma aku sudah kenyang" sahut Karina cepat."Ya, sudah. K
Perjalanan kembali menuju restoran menjadi lebih lama dari perkiraan Kirana. Terutama karena Arjuna terlihat menurunkan kecepatan, lalu mengambil lajur kiri menuju bahu jalan."Kita mau kemana, mas?" tanya Karina yang semakin gugup melihat mobil berhenti."Coba kamu hubungi manajer kamu sekarang. Aku mau make sure dia kasih kamu ijin untuk Rabu depan. Biar dia kosongin jadwal kamu setiap Rabu" ujar Arjuna membuka seat belt-nya.Wajah Karina mendadak tegang, ia sungguh tidak ingin berbicara dengan Indra setelah seluruh pesan yang dihapusnya barusan. Susah payah menelan salivanya sambil mengedarkan pandangan ke luar. Rasanya tidak mungkin mencari alasan untuk menghindari permintaan Arjuna kali ini."Karina ... hei ...."Lambaian tangan Arjuna di wajah membuatnya berhenti menggigit bibir."I-iya, mas. Sebentar, ya" ucapnya sedikit kaku saat mengambil ponsel dari tasnya. Mengaktifkan layar dengan enggan, berharap baterai ponselnya tidak support
Roy bangun pagi dengan uring-uringan. Malam tadi ia tak singgah ke apartemen Melissa. Ia memang sengaja mengatur jarak, lagipula pikirannya terbagi mengingat isi rumah berantakan. Apalagi bangun tidur kali ini, tumpukan baju kotor sangat menganggu pandangannya di kamar.Seolah enggan berlama-lama di ranjang, Roy bangkit dengan sekali gerakan. Gegas ke kamar mandi dan membersihkan diri. Lantai kamar mandi terasa sedikit licin. Ia merasa jijik dan risih.'Si Lala kenapa belum kasih kabar, sih? Kalau dia gak bisa, gue panggil siapa lagi, ya?'Lagi-lagi pikirannya terganggu karena tidak nyaman dengan lantai kamar mandi yang licin. Sekilas memandangi peralatan kebersihan yang tergantung tapi di dekat WC duduk.'Ah, bersih-bersih itu tugas perempuan, laki-laki urusannya cari duit!'Menyelesaikan ritual mandinya dengan segera dan mengambil handuk yang tergantung di balik pintu. Handuknya lembab dan sedikit berbau.'Kog, tiap aku pake selalu kering,
Selena baru saja menyelesaikan laporan akhir bulan dengan timnya. Masih di meja bundar dengan laptopnya, ia mengambil ponsel di tengah meja. Melihat pesan baru dari Delia yang mengabari bahwa mereka dalam perjalanan kembali ke rumah.[Tengkiu banyak, Delia. Cherylnya rewel gak? Biasanya jam segini udah minta tidur tuh bayi.]Sebenarnya ia sungkan merepotkan sahabatnya itu, tapi Delia memaksa ingin makan siang bersama di restoran bersama Cheryl. Demi menjaga agar Delia tidak kesal, Selena keluar istirahat makan siang tepat pukul 12.00. Untungnya, ia tidak terlambat kembali dari makan siang.[Aman. Ini sudah tidur di pelukanku. Lanjut kerja lagi, mom!]Sebuah emoticon jempol dibuat pada akhir pesan Delia. Selena mengulum senyum dan meletakkan ponsel ke tempat semula. Merapikan tumpukan kertas di dekatnya, lalu menanyai satu-persatu staf-nya tentang progress pengerjaan laporan pribadi mereka."Sudah ada kabar dari Pak Harris, Bu? Kapan dia kembali dar
"Karina, ada apa dengan Indra? Kenapa kamu menghindarinya?" kejar Arjuna hingga ke pintu restoran."Nothing! Tolong jangan membuatku semakin muak, mas" jawab Karina setengah menjerit.Jeritan kecil Karina sontak mereka berdua terkejut, Arjuna tampak memandangi istrinya dengan heran. Karina bahkan menutup mulutnya dengan kedua tangan.Sempat terdiam di tempat masing-masing dalam hitungan detik, akhirnya Arjuna melangkah lebih dahulu mendekati mobil. Karina masih sibuk mengatur nafas dan rambutnya. Matanya sudah berembun, berusaha jatuhnya buliran itu dengan menengadah ke atas.Suara mesin mobil menyala membuat Karina membalikkan badan, berjalan menuju mobil. Membuka pintu dan duduk di sebelah Arjuna tanpa kata. Ia tahu, diamnya Arjuna pertanda marah. Dan, ia tak perlu bersusah payah membujuk, sebab suaminya hanya butuh waktu sendiri. Begitupun dia.Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Perjalanan empat puluh menit terasa lebih lama karena keduanya t
Melissa bergerak malas di bawah selimut. Kakinya menelusup masuk ke kaki Arman. Pria berumur 50 tahun itu sedang sibuk dengan ponselnya setelah baru saja mereka berdua menikmati indahnya surga dunia. "Sini!" ajak Arman mengangkat kaki kirinya dan menjepit panggul Melissa dengan kedua kakinya. Melissa menenggelamkan tubuhnya yang terbilang mungil dibanding tubuh Arman. Menyesap aroma parfum Arman dengan perlahan dan mencium dada pria itu dengan lembut. "Sebentar, sayang. Sedikit lagi" kata Arman yang berbaring miring memeluk Melissa dan kedua tangan memegang ponsel. "Asistenmu rese, om. Tiap malam ganggu mulu" ujar Melissa manja. Ia sengaja meniup puting Armin. "Kalau gak ada dia, aku gak bisa pulang cepat dan menginap, sayang. Kamu juga paham, kan?" Tak lagi menyahuti ucapan sugar daddy-nya, Melissa kembali mengeratkan pelukannya. Hangatnya tubuh Arman begitu nyaman di kulitnya. Usainya boleh setengah abad, tapi tubuh Arman masih terli
'Argh! Macet lagi!' gerutu Roy sambil membanting gagang kemudi. Ia hanya punya waktu istrihat satu jam, ke rumah bertemu Lala, makan siang dan harus kembali ke kantor."Jam 13.00 harus sudah di kantor, ya, Roy"Melissa mewanti-wanti agar tidak terlambat kembali ke kantor. Ada jadwal pertemuan dengan calon klien di kantor. Jangan sampai calon klien menunggunya karena urusan pribadi.Kemacetan lalu lintas pada jam makan siang sebenarnya hal biasa. Roy pun hapal akan hal itu. Namun demi mengejar waktu, ia menjadi lebih pemarah. Belum lagi jam biologis perutnya tidak bisa diajak kompromi."Ah, sebaiknya Lala sudah datang lebih dahulu. Kalo gue harus menunggu lagi, gue kasih pelajaran tuh bocah!"Roy akhirnya lega setelah melewati seluruh lampu merah yang harus dilalui dalam perjalanan menuju rumah. Menaikkan kecepatan agar tiba lebih cepat dan mulai merancang menu makan siang di otaknya.'Apa si Lala gue suruh masakin mie instan aja kali, ya. Na
Bunyi dengung AC mengisi ruangan berukuran 5x7 meter itu. Menguatkan kesan sunyi bagi Selena yang duduk menunggu sejak 20 menit lalu. Ia sengaja datang lima menit lebih awal dari jadwal yang ditentukan oleh Ibu Linda. Tak ingin mengulang kesan negatif seperti pertemuan psikotes sebelumnya. Namun cukup lama duduk sendiri di ruangan khusus interview, Ibu Linda tak kunjung muncul.Kembali mengaktifkan layar ponsel dengan kedua jempolnya demi mengusir rasa bosan. Membuka aplikasi berbalas pesan dengan logo hijau dan memeriksa pesan terbaru di grup divisi kerjanya. Tidak ada pesan yang bersifat segera.Meski muncul sedikit rasa khawatir akan timnya melewati pagi tanpanya, Selena tetap optimis akan kemandirian setiap rekan kerjanya dalam menjalankan tugas pokoknya. Akhirnya, terdengar derit pintu dibuka sesaat setelah layar ponselnya padam."Selamat pagi, Selena! Senang melihatmu pagi ini!" seru Ibu Linda terdengar riang. Ia berjalan mendekati kursi tempat Selena dudu
Selena berulang kali membaca hasil putusan pengadilan yang baru saja ia terima hari ini. Tangannya bergetar memegang kertas. Gemuruh di dada semakin mengguncang pundaknya. Air matanya tak ayal tumpah. Sakit.Tak pernah membayangkan akan menjalani usia pernikahan yang singkat. Kalah dengan usia pernikahan orang tuanya. Pun tidak pernah menyangka akan menjadi janda diusia menjelang 30. Dengan satu balita.Kalau ada yang harus disesalkan, tak lain adalah komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketidak mampuan mereka dalam hal menyamakan persepsi tentang persiapan memiliki bayi. Kebanyakan pasangan kurang pemahaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan mengasuh anak. Peran istri dan suami sama pentingnya dalam setiap fase. Sama-sama merasakan lelah dan bahagia menanti sang buang hati. Ayah dan ibu ada pada setiap tumbuh kembang janin bahkan hingga lahir ke dunia.Namun waktu tak lagi diulang. Tak guna juga berlama-lama dalam penyesalan. Toh, ia pun sudah berusa
POV SelenaLangkahku sedikit kaku menuju ruang kerja direktur keuangan. Pagi tadi, intercom di mejaku berbunyi sesaat setelah meletakkan bokong di kursi."Bu Selena, ada pesan dari direktur keuangan. Ditunggu jam 10 di ruangannya. Terima kasih."Intercom ditutup begitu saja. Dari nomor yang tertera di layar pesawat telepon, panggilan dari resepsionis. Entah apa yang membuat mereka sesinis itu denganku. Mengucap salam pagi pun tidak saat memulai pembicaraan.Aku tak bisa menebak apa topik pembicaraan kali ini. Ku ingat-ingat lagi seluruh list KPI-ku sebagai asisten manajer. Rasanya tidak ada yang meleset dari target. Tunjangan jabatan dan insentif tidak akan cair jika pencapainku kurang dari 75%.Perihal ijin dan kasus persidanganku, juga tidak mungkin. Sidang terakhir pun tidak ku ikuti. Semua urusan administrasi ku percayakan ke Aldo. Roy tak pernah lagi mampir dan membuat keributan.Apa berurusan dengan internal birokrasi kantor yang tidak tertulis? S
"Del, mau makan ke mana? Jangan jauh-jauh. Jam 1 sudah harus di kantor lagi." Sungkan menolak ajakan Delia dan Aldo, tapi ia juga tak ingin membuat masalah baru. Jangankan si resepsionis, tembok gedung kantor pun bisa membuat laporan ke direktur."Cafe dekat sini aja, Len. Yuk!" sahut Delia dengan mata teduh seolah menenangkan sahabatnya.Tak membantah, Selena masuk ke kursi penumpang, tepat di belakang Aldo. Mobil melaju dengan perlahan dan berhenti pada sebuah cafe yang jaraknya tak lebih 500 meter dari kantor."Roy benar-benar sentimen ke Arjuna, Len. Untung aja si Juna lagi waras tadi, kalo gak, beuhh!" Delia membuka percakapan setelah memesan menu untuknya dan Aldo."Sampai Aldo kehabisan kata dengan kepercayaan diri si Roy. Ha-ha-ha. Iya, gak, Al?" sikut Delia ke Aldo yang masih sibuk dengan ponselnya sejak turun dari mobil."Hm ... mungkin, dia baru ngerasa salah langkah sudah mengusir Selena dari rumah." imbuh Aldo sambil memastikan
"Mas, aku sudah bikin janji dengan dokter, hari ini hari pertama haidku." Karina membuka mulut, memasukkan sepotong sandwich berisi irisan alpukat dan telur."Oh, ya? Jadwalnya jam 11, kan?" Arjuna terlihat kaget. Tangannya yang sedang memotong roti terhenti sejenak."Aku berangkat sendiri saja, mas. Kamu nyusul." Karina tak membalas tatapan rasa bersalah Arjuna. Ia tahu suaminya harus hadir sebagai saksi di sidang perceraian Selena. Keputusan Arjuna yang tidak bisa diterimanya hingga sekarang. Jangankan menjadi saksi, mencarikan pengacara saja sudah sangat membuat Karina cemburu."Sayang, maaf, aku tidak menyangka akan jadi sulit begini. Jadwal sidang jam 10.00." sesal Arjuna menarik jemari istrinya ke sisi mejanya."Gimana kalau nanti pas kamu konsul, video call denganku, di ruangan si dokternya." pinta Arjuna sambil membujuk Karina.'Sudahlah, mas! Kamu dengan sadar memberi perhatian untuk perempuan lain.'Anggukan ringan kepa
POV MelissaHari ini lelahnya maksimal. Sejak pagi, jam 08.00 hingga pukul 09.00 malam berkutat dengan banyak data dan memandangi laptop. Aku dan Mey bersemangat membenahi sistem dan fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis start up IT Om Arman.Iya, data klien dan seluruh informasi dari perusahaan Pak Fendy, ku olah bersama Mey. Tidak meniru bulat-bulat, kami melakukan modifikasi dan membuat program menarik. Baik secara hardware dan software. Berbekal pengetahuan selama dua tahun bekerja di perusahaan Pak Fendy dan kemampuan manajemen SDM yang dikuasai Mey, kami memperkuat pilar-pilar bisnis baru Om Arman.Hari ini finishing, tahap terakhir, setelah hampir 3 minggu menjalani puluhan rapat direksi, beberapa kali briefing dengan konsultan IT bersertifikat, dan banyak agenda lain di luar kantor. Dan, aku sangat lega. Meskipun tidak mendapat posisi dalam perusahaan rintisan Om Arman, tapi aku dan Mey punya jumlah saham yang sama. Atas pemberian Om
Hari-hari berlalu terasa cepat. Sidang pertama serasa baru kemarin ia jalani, malam ini Roy menjumpai amplop coklat di pagar. Amplop yang membuat ingatannya akan kehilangan Selena dan Cheryl.Sejak ditegur oleh orang tuanya, Roy tak lagi bernyali menemui istrinya. Meski ia sangat ingin berbicara dari hati ke hati, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Saat Cheryl belum ada.'Ah, itu sudah lama sekali. Aku baru merasa rindu sekarang. Mungkin Selena merindukannya sejak lama dan aku tidak peka.'Masuk ke rumah dengan lesu, Roy berencana langsung tidur. Ia tak ingin tidur di kamar lagi. Mendadak ia merasa kamar itu sangat sepi dan kosong. Belakangan lebih nyaman berlama-lama di sofa hingga terlelap sembari membayangkan Selena masih sibuk membersihkan dapur dan Cheryl ketiduran di karpet rasfur ditemani mainannya.Tak ia hiraukan jeritan perut yang minta diisi. Sejak pagi memang hanya diisi semangkuk mie instan. Siang tadi ia menyibukkan dir
POV RoyKepalaku berdenyut seperti dipukuli palu kecil persis di kedua pelipis. Tengkukku terasa panas dan tegang. Entah karena otakku mulai panas atau karena lapar yang ku tahan sejak siang.Aku harus makan kalau tak ingin sakit. Ku seret kaki ke dapur hendak memeriksa isi lemari. Berharap ada sisa roti setidaknya untuk pengganjal perut. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil air minum di dispenser. Ah ... kenapa jadi konyol begini? Tak pernah terlintas dalam bayangan akan tinggal sendiri dengan kondisi mengenaskan.Ku periksa dompet, hanya ada selembar pecahan 100 ribu. Bensin belum ku isi lagi. Seingatku jarum penunjuknya sudah di garis kedua dari bawah.Tak ada stok roti. Isi kulkas kosong, bersih.Ah, kenapa gak stok mie instan dan telur, sih? Si Lala bikin stok beras gak, sih? Perutku harus diisi nasi kalau sudah begini. Container beras diletak di mana lagi.Rasanya lelah sekali mengitari dapur padahal ukuran
POV RoyAku tidak bisa menahan golak amarah melihat Selena meninggalkanku begitu saja. Dia berubah jadi pembangkang sejak ku usir dari rumah. Belum lagi temannya si Delia yang sok tahu tentang cinta. Ta* kucing!Tidak ada yang salah dengan sikap dan omonganku. Aku jelas tidak akan mencari kenikmatan dari perempuan lain kalau Selena sanggup memenuhi kebutuhanku. Istri itu, kan, memang harus sedia setiap kali suami butuh. Selena malah tidak mengakui kekurangannya. Padahal kalau dia minta maaf dan mencabut gugatan, aku siap menerimanya kembali. Meskipun dia sudah bekasnya Arjuna.Belum selesai amarah karena sikap sombong Selena, foto Bram dan Melissa di restoran Arjuna menambah tegang otot leherku. Ku lampiaskan amarah dengan meninju kaca mobil dan setir bergantian.Ku pikir aku harus melakukan sesuatu. Melissa harus tahu aku marah. Dia gak bisa pergi begitu aja dan membuatku hancur. Karir dan pendapatanku di ujung tanduk. Mengenaskan.K
Roy berulang membaca pesan terakhir Bram. Rasanya tak percaya kalau Bram kenal dengan Arjuna dan pengacara Selena. 'Selena punya pengacara? Ia mampu membayar jasa pengacara? Pasti si Arjuna yang membantunya. Sialan!'Telapak tangannya membuka, Roy menepuk meja dengan kesal. Ia tak menyangka Selena seniat itu bercerai.'Dia silau oleh harta dan kenyamanan dari Arjuna. Cih! Perempuan itu memang tak layak ku pertahankan!'Mie instannya sampai mengembang karena masih asik menggerutu. Panggilan intercom menyadarkannya, waktu sepuluh menitnya sudah berakhir."Istrimu mengajukan gugatan cerai? Apa dia tahu tentang Melissa?" tanya pak direktur terkesan mengejek. Roy terpaksa harus jujur tentang keperluan cuti mendadaknya besok. Ia bertekad hadir dan membela diri. Ia akan mengungkapkan semua kebenaran. Persetan dengan Bram, Melissa dan Arjuna!"Iya, pak. Ini hanya salah paham, itu sebabnya saya ingin meluruskan semuanya. Berdamai dan ruk