Melissa reflek berdiri mendengar Roy berencana menginap di apartemennya. Wajahnya terlihat panik.
"Kamu harus kembali ke rumah. Cheryl pasti menunggumu pulang" ujar Melissa yang menyadari aksinya yang tak biasa.
"Selena mengurusnya dengan baik. Tak ada perlu dikhawatirkan tentang Cheryl" jawab Roy sambil merebahkan kepalanya ke paha Melissa.
"Enggak, pokoknya kamu harus pulang. Jangan menginap!" Melissa tetap tidak setuju.
"Kenapa, sih? Emang kamu gak mau sesekali ku temani tidur sampai pagi?" Roy terlihat bingung dengan sikap Melissa.
"Aku terbiasa tidur sendiri, gak nyaman kalau berbagi kasur dengan orang lain" jawab Melissa cepat.
"Oke, gak masalah! Aku tidur di sofa, kamu di kamar" tawar Roy kemudian. Ia memindai wajah Melissa, mencari sesuatu di sana.
"Kalau kamu mau pulang lebih larut, gak papa. Aku tungguin"
Dahi Roy mengernyit. Ada yang aneh dengan penolakan Melissa. Benarkah tidak terbiasa berbagi ranjang dengan orang
Berulang kali ku ubah posisi tidur, begitu juga dengan bantal. Kantuk tak kunjung datang, padahal tubuhku sudah sangat lelah. Dengkuran halus Cheryl begitu nyaman di telingaku. Ingin sepertinya yang sudah lelap sejak 3 jam yang lalu.Pukul 23.30. Biasanya Roy sudah di rumah. Namun hari ini ia tidak pulang. Setidaknya begitu isi pesan yang ku baca darinya. Ini kali pertama Roy tidak tidur di rumah selama hampir empat tahun pernikahan. Bahkan tugas luar kotanya terbilang jari dalam satu tahun.Harus ku akui ada gelisah mengisi hati, pikiran tidak menentu. Beberapa kali tidur terpisah dengan Roy. Raga tidak bersama namun pikiran menyadari keberadaannya di balik tembok. Tidak dengan kali ini. Raganya jauh entah di mana dan aku tidak bisa tidur.Meski aku mulai menerima kenyataan bahwa Roy telah berselingkuh, membagi raganya dengan perempuan lain, tapi tidak pulang ke rumah dan memeluk perempuan lain di tidur malamnya belum bisa ku terima. Tak bisakah dia menjaga per
Bunyi alarm membangunkan Roy. Jam 06.30 tertulis di layar ponselnya. Menonaktifkan alarm lalu meletakkan kembali ponsel di tempat tidur. Tempat tidur? Seketika Roy tersadar. Matanya mencoba mengenali ruang sekitarnya. Ini kamar, ia berada di atas tempat tidur.Otaknya mulai mencerna alasan keberadaannya di kamar ini. Kamar Melissa. Bukankah tadi malam ia tertidur di sofa? Ya, sesudah memakannya nasi dan fried chicken, kantuk menyerangnya dengan cepat. Ia ingat Melissa meninggalkannya di sofa setelah mengelus kepalanya.Roy mengangkat tubuhnya, ingin bersandar di headboard. Selimut tak lagi menutup tubuhnya yang telanjang. Telanjang? Kemana pakaianku? Apa yang terjadi setelah aku tertidur? Kemana Melissa?Tak terdengar suara apapun dari kamar mandi. Artinya Melissa sudah tidak di kamar. Roy bangkit dan mencoba mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya. Memasuki kamar mandi, ia menemukan handuk yang masih terlipat. Sepertinya Melissa memang menyiapkan untuknya.
Suhu dingin terasa di jemari kaki Selena. Membuatnya terbangun dan mencari selimut. Ah, kebiasaan tidur Cheryl, tak pernah nyaman dengan selimut. Selalu berakhir jatuh di bawah ranjang atau teronggok di tepi ranjang.Meletakkan kembali kepalanya ke bantal, Selena melihat angka di jam digital. Sudah subuh saja. Rasanya ia baru saja terpejam. Iya, baru tiga jam yang lalu.Tiga puluh menit lagi dengan memakai selimut, semoga cukup. ***"Kak Ipah, aku gak sempat masak stok makan Cheryl. Tadi sarapan dengan ceplok telur. Tolong masakin, ya, kak. Bersih-bersih rumah biar aku aja sepulang kantor"Rupanya tiga puluh menitnya bablas sampai jam 06.00 pagi. Kalau saja Cheryl tidak memeluk dan mencium pipinya, mungkin Selena bangun lebih siang. Timbul rasa bersalah karena putrinya terbangun lebih dulu dan sarapan belum siap."Santai, Lena. Masak menu Cheryl gak bakal lama. Nanti aku tetap bersihkan rumah, ya." Kak Ipah mengantar Selena hingga ke gerb
Suara kursi di geser sontak membuat pembicaraan antara Arjuna dan Selena terhenti. Keduanya menoleh ke arah sumber suara, tak ketinggalan ibu direktur."Saya ijin ke toilet dulu. Sepertinya menu makan siangnya sudah bisa disiapkan, Pak Arjuna" ujar Harris yang sudah berdiri di belakang Selena."Baik, Pak Harris" sahut Arjuna cepat dan tanpa ragu. Jempol kanannya diacungkan ke arah Harris.Langkah Harris terlihat tenang meninggalkan ruangan, Selena sempat melihat pemilik tubuh jangkung itu menutup pintu. Selena merasa tak nyaman karena pembicaraannya dengan Arjuna di dengar oleh Harris dan direktur. Bukan apa-apa, ia tak ingin terlibat skandal. Masalah rumah tangganya sudah sangat menyita perhatiannya, apalagi sampai ada rumor antara dia dan Arjuna."Kalian sudah kenal lama?" tanya ibu direktur ke Arjuna yang baru saja melakukan panggilan intercom ke kitchen."Dengan Harris?" Arjuna terlihat menggoda ibu direktur."Dengan Selena" sahut ibu di
Harris kembali ke ruang khusus dengan wajah kesal. Giginya beradu menahan marah. Kancing jasnya dibuka karena merasa tekanan di dada dan bisepnya.'Aku harus membuat perhitungan dengan Roy.' amuk Harris dalam hati.Aura marahnya terbawa hingga ke meja makan. Tentu saja Selena segera menyadari suasana hati bosnya. Namun ia memilih untuk diam saja khawatir dinilai buruk oleh ibu direktur."Semua sesuai pesanan ya, Pak, Bu" ujar Arjuna yang masih setia duduk di depan Selena meski pelayan sudah mengantarkan hidangan terakhir."Sesuai, dong. Kamu gak perlu diraguin lagi, Juna" sahut ibu direktur yang sudah mulai menyantap makanannya.Harris hanya mengangguk dan mulai makan. Sama sekali tidak mengangkat pandangannya ke arah depan. Ibu direktur terlihat bertanya-tanya dengan perubahan sikap Harris. Matanya tak pernah lepas dari Harris.Selena tetap bungkam dan berusaha menikmati makanannya. Menyesal memesan menu nasi karena ternyata tenggorokannya
Kembali ke kantor dengan wajah tak karuan. Entah bagaimana kusut wajahnya, Selena langsung melanhkah ke toilet lobby. Sebelumnya Harris sudah berpamitan akan langsung ke ruangan direktur sales. Selena sempat menatap bingung punggung Harris yang berjalan menuju lift khusus petinggi kantor.'Tumben Harris langsung ke departemen sales?" tanya Selena dalam hati.Berdiri mematut wajahnya di cermin wastafel. Wajah lelah, hidung merah dan mata sembab. Ia sendiri tidak suka dengan tampilan mengenaskan ini. Apalagi orang yang melihatnya. Alih-alih mendapat simpati, malah cibiran dan gosip yang datang.Gegas membersihkan wajahnya dengan tisu basah lalu membilas dengan air mengalir di wastafel. Memoles ulang bibirnya dan merapikan sebentar alisnya. Menata rambutnya dengan membuat sanggul bentuk siput, lalu merapikan anak rambutnya dengan tangan basahnya.'Tidak terlalu buruk' batin Selena memandangi hasil kerepotannya di toilet. Setidaknya bisa menaikkan mood untuk
Roy uring-uringan usai kembali dari restoran. Sama sekali tidak menyangka bahwa Arjuna akan menjadikannya bahan olokan. Apalagi sepertinya secara sengaja dilakukan Arjuna di depan teman kantor Selena. Sialnya, Selena bahkan tidak mengucap sepatah katapun. Berlalu dengan wajah tegang dan Arjuna pun tak menggubrisnya lagi.Menahan malu, Roy kembali ke meja dan mendapat usapan lembut dari jemari Melissa di pahanya."Itu tamu khususnya?" tanya Melissa setengah berbisik ke telinga Roy."Entah" jawab Roy menaikkan bahunya.Roy membisu sepanjang perjalanan kembali ke kantor. Menyetir dengan kecepatan normal lalu fokus dengan jalan di depannya. Melissa bahkan beberapa kali harus mengulang perkataannya karena Roy melamun.Pikirannya penuh tanda tanya tentang siapa Harris dan wanita di sebelah Arjuna. Tamu khusus restoran? Baru kali ini ia mendengar julukan itu. Lalu, apa mereka lakukan di restoran?'Sepertinya lingkar pertemanan Selena di kantor tak
Arjuna lega setelah mengunjungi Selena dan Cheryl. Rasa bersalah akibat ucapannya yang nyeleneh siang tadi terus menghantui. Wajah Selena yang menahan tangis tak bisa lekang dari ingatannya. Bahkan Selena tidak berpamitan padanya sebelum pulang. Sebab itu dia memutuskan untuk meminta maaf secara langsung ke rumah. Ia tak peduli jika akan bertemu 'sepupu' Selena.Hatinya semakin gembira ketika mendapati Cheryl yang masih terjaga. Merasa beruntung bisa memiliki waktu berdua dengan little angel itu walau hanya sebentar. Tubuh mungil dengan wangi khas bayi itu, minyak telon atau bedak bayi, tertidur pulas di dadanya. Mungkin degungan suara di dadanya membuat Cheryl nyaman hingga tertidur.'Semoga kamu suka camilannya, Cheryl' batin Arjuna.Senyum tak pernah lekang dari wajahnya sepanjang perjalanan kembali ke restoran. Mengingat bagaimana ekspresi kaget Selena menyambut kedatangannya. Semoga Selena melihat permintaan maafnya yang tulus."Pak, tadi ada yang nu
Selena berulang kali membaca hasil putusan pengadilan yang baru saja ia terima hari ini. Tangannya bergetar memegang kertas. Gemuruh di dada semakin mengguncang pundaknya. Air matanya tak ayal tumpah. Sakit.Tak pernah membayangkan akan menjalani usia pernikahan yang singkat. Kalah dengan usia pernikahan orang tuanya. Pun tidak pernah menyangka akan menjadi janda diusia menjelang 30. Dengan satu balita.Kalau ada yang harus disesalkan, tak lain adalah komunikasi yang buruk dengan suaminya. Ketidak mampuan mereka dalam hal menyamakan persepsi tentang persiapan memiliki bayi. Kebanyakan pasangan kurang pemahaman dan pengetahuan tentang kehamilan dan mengasuh anak. Peran istri dan suami sama pentingnya dalam setiap fase. Sama-sama merasakan lelah dan bahagia menanti sang buang hati. Ayah dan ibu ada pada setiap tumbuh kembang janin bahkan hingga lahir ke dunia.Namun waktu tak lagi diulang. Tak guna juga berlama-lama dalam penyesalan. Toh, ia pun sudah berusa
POV SelenaLangkahku sedikit kaku menuju ruang kerja direktur keuangan. Pagi tadi, intercom di mejaku berbunyi sesaat setelah meletakkan bokong di kursi."Bu Selena, ada pesan dari direktur keuangan. Ditunggu jam 10 di ruangannya. Terima kasih."Intercom ditutup begitu saja. Dari nomor yang tertera di layar pesawat telepon, panggilan dari resepsionis. Entah apa yang membuat mereka sesinis itu denganku. Mengucap salam pagi pun tidak saat memulai pembicaraan.Aku tak bisa menebak apa topik pembicaraan kali ini. Ku ingat-ingat lagi seluruh list KPI-ku sebagai asisten manajer. Rasanya tidak ada yang meleset dari target. Tunjangan jabatan dan insentif tidak akan cair jika pencapainku kurang dari 75%.Perihal ijin dan kasus persidanganku, juga tidak mungkin. Sidang terakhir pun tidak ku ikuti. Semua urusan administrasi ku percayakan ke Aldo. Roy tak pernah lagi mampir dan membuat keributan.Apa berurusan dengan internal birokrasi kantor yang tidak tertulis? S
"Del, mau makan ke mana? Jangan jauh-jauh. Jam 1 sudah harus di kantor lagi." Sungkan menolak ajakan Delia dan Aldo, tapi ia juga tak ingin membuat masalah baru. Jangankan si resepsionis, tembok gedung kantor pun bisa membuat laporan ke direktur."Cafe dekat sini aja, Len. Yuk!" sahut Delia dengan mata teduh seolah menenangkan sahabatnya.Tak membantah, Selena masuk ke kursi penumpang, tepat di belakang Aldo. Mobil melaju dengan perlahan dan berhenti pada sebuah cafe yang jaraknya tak lebih 500 meter dari kantor."Roy benar-benar sentimen ke Arjuna, Len. Untung aja si Juna lagi waras tadi, kalo gak, beuhh!" Delia membuka percakapan setelah memesan menu untuknya dan Aldo."Sampai Aldo kehabisan kata dengan kepercayaan diri si Roy. Ha-ha-ha. Iya, gak, Al?" sikut Delia ke Aldo yang masih sibuk dengan ponselnya sejak turun dari mobil."Hm ... mungkin, dia baru ngerasa salah langkah sudah mengusir Selena dari rumah." imbuh Aldo sambil memastikan
"Mas, aku sudah bikin janji dengan dokter, hari ini hari pertama haidku." Karina membuka mulut, memasukkan sepotong sandwich berisi irisan alpukat dan telur."Oh, ya? Jadwalnya jam 11, kan?" Arjuna terlihat kaget. Tangannya yang sedang memotong roti terhenti sejenak."Aku berangkat sendiri saja, mas. Kamu nyusul." Karina tak membalas tatapan rasa bersalah Arjuna. Ia tahu suaminya harus hadir sebagai saksi di sidang perceraian Selena. Keputusan Arjuna yang tidak bisa diterimanya hingga sekarang. Jangankan menjadi saksi, mencarikan pengacara saja sudah sangat membuat Karina cemburu."Sayang, maaf, aku tidak menyangka akan jadi sulit begini. Jadwal sidang jam 10.00." sesal Arjuna menarik jemari istrinya ke sisi mejanya."Gimana kalau nanti pas kamu konsul, video call denganku, di ruangan si dokternya." pinta Arjuna sambil membujuk Karina.'Sudahlah, mas! Kamu dengan sadar memberi perhatian untuk perempuan lain.'Anggukan ringan kepa
POV MelissaHari ini lelahnya maksimal. Sejak pagi, jam 08.00 hingga pukul 09.00 malam berkutat dengan banyak data dan memandangi laptop. Aku dan Mey bersemangat membenahi sistem dan fasilitas yang diperlukan untuk mengembangkan bisnis start up IT Om Arman.Iya, data klien dan seluruh informasi dari perusahaan Pak Fendy, ku olah bersama Mey. Tidak meniru bulat-bulat, kami melakukan modifikasi dan membuat program menarik. Baik secara hardware dan software. Berbekal pengetahuan selama dua tahun bekerja di perusahaan Pak Fendy dan kemampuan manajemen SDM yang dikuasai Mey, kami memperkuat pilar-pilar bisnis baru Om Arman.Hari ini finishing, tahap terakhir, setelah hampir 3 minggu menjalani puluhan rapat direksi, beberapa kali briefing dengan konsultan IT bersertifikat, dan banyak agenda lain di luar kantor. Dan, aku sangat lega. Meskipun tidak mendapat posisi dalam perusahaan rintisan Om Arman, tapi aku dan Mey punya jumlah saham yang sama. Atas pemberian Om
Hari-hari berlalu terasa cepat. Sidang pertama serasa baru kemarin ia jalani, malam ini Roy menjumpai amplop coklat di pagar. Amplop yang membuat ingatannya akan kehilangan Selena dan Cheryl.Sejak ditegur oleh orang tuanya, Roy tak lagi bernyali menemui istrinya. Meski ia sangat ingin berbicara dari hati ke hati, seperti yang dulu sering mereka lakukan. Saat Cheryl belum ada.'Ah, itu sudah lama sekali. Aku baru merasa rindu sekarang. Mungkin Selena merindukannya sejak lama dan aku tidak peka.'Masuk ke rumah dengan lesu, Roy berencana langsung tidur. Ia tak ingin tidur di kamar lagi. Mendadak ia merasa kamar itu sangat sepi dan kosong. Belakangan lebih nyaman berlama-lama di sofa hingga terlelap sembari membayangkan Selena masih sibuk membersihkan dapur dan Cheryl ketiduran di karpet rasfur ditemani mainannya.Tak ia hiraukan jeritan perut yang minta diisi. Sejak pagi memang hanya diisi semangkuk mie instan. Siang tadi ia menyibukkan dir
POV RoyKepalaku berdenyut seperti dipukuli palu kecil persis di kedua pelipis. Tengkukku terasa panas dan tegang. Entah karena otakku mulai panas atau karena lapar yang ku tahan sejak siang.Aku harus makan kalau tak ingin sakit. Ku seret kaki ke dapur hendak memeriksa isi lemari. Berharap ada sisa roti setidaknya untuk pengganjal perut. Tanganku sedikit gemetar saat mengambil air minum di dispenser. Ah ... kenapa jadi konyol begini? Tak pernah terlintas dalam bayangan akan tinggal sendiri dengan kondisi mengenaskan.Ku periksa dompet, hanya ada selembar pecahan 100 ribu. Bensin belum ku isi lagi. Seingatku jarum penunjuknya sudah di garis kedua dari bawah.Tak ada stok roti. Isi kulkas kosong, bersih.Ah, kenapa gak stok mie instan dan telur, sih? Si Lala bikin stok beras gak, sih? Perutku harus diisi nasi kalau sudah begini. Container beras diletak di mana lagi.Rasanya lelah sekali mengitari dapur padahal ukuran
POV RoyAku tidak bisa menahan golak amarah melihat Selena meninggalkanku begitu saja. Dia berubah jadi pembangkang sejak ku usir dari rumah. Belum lagi temannya si Delia yang sok tahu tentang cinta. Ta* kucing!Tidak ada yang salah dengan sikap dan omonganku. Aku jelas tidak akan mencari kenikmatan dari perempuan lain kalau Selena sanggup memenuhi kebutuhanku. Istri itu, kan, memang harus sedia setiap kali suami butuh. Selena malah tidak mengakui kekurangannya. Padahal kalau dia minta maaf dan mencabut gugatan, aku siap menerimanya kembali. Meskipun dia sudah bekasnya Arjuna.Belum selesai amarah karena sikap sombong Selena, foto Bram dan Melissa di restoran Arjuna menambah tegang otot leherku. Ku lampiaskan amarah dengan meninju kaca mobil dan setir bergantian.Ku pikir aku harus melakukan sesuatu. Melissa harus tahu aku marah. Dia gak bisa pergi begitu aja dan membuatku hancur. Karir dan pendapatanku di ujung tanduk. Mengenaskan.K
Roy berulang membaca pesan terakhir Bram. Rasanya tak percaya kalau Bram kenal dengan Arjuna dan pengacara Selena. 'Selena punya pengacara? Ia mampu membayar jasa pengacara? Pasti si Arjuna yang membantunya. Sialan!'Telapak tangannya membuka, Roy menepuk meja dengan kesal. Ia tak menyangka Selena seniat itu bercerai.'Dia silau oleh harta dan kenyamanan dari Arjuna. Cih! Perempuan itu memang tak layak ku pertahankan!'Mie instannya sampai mengembang karena masih asik menggerutu. Panggilan intercom menyadarkannya, waktu sepuluh menitnya sudah berakhir."Istrimu mengajukan gugatan cerai? Apa dia tahu tentang Melissa?" tanya pak direktur terkesan mengejek. Roy terpaksa harus jujur tentang keperluan cuti mendadaknya besok. Ia bertekad hadir dan membela diri. Ia akan mengungkapkan semua kebenaran. Persetan dengan Bram, Melissa dan Arjuna!"Iya, pak. Ini hanya salah paham, itu sebabnya saya ingin meluruskan semuanya. Berdamai dan ruk