Barbara hanya menyimak celotehan Sinta yang mengomel karena kisah masa lalu. Seolah Sinta adalah orang yang paling sakit hati dengan kelakuan Leo. Dua hari yang lalu, Leo masih baik baik saja, setelah dengan sangat bersemangat akan menguak tabir Ovan, pria itu terlihat biasa dan mengatakan padanya kalau akan menikahi Selen dalam waktu dekat.
"Apakah terjadi sesuatu pada mereka?" gusar Barbara."Ah, apa perduliku? Hubungan Leo dengan Selen bukanlah urusanku," lirihnya lagi."Barbara? Wooiii, kamu dengar enggak?""Iya, iya aku dengar. Kalau begitu aku akan segera menjenguknya.""Astaga! Ngapain pake dijenguk segala? Udahlah... ucapkan goodbye aja, beres urusan!"Barbara tersenyum geli. Sinta sungguh emosi karena masa lalu itu, padahal dirinya sungguh sudah move on berkat Ovan.#Barbara kembali ke kantornya. Ia bergegas untuk segera melihat kondisi kantor dan juga Ovan.Di ruang kerjanya, Anton Bagaskara sedanBarbara bagai disambar petir, perkataan itu sangat melukai harga dirinya."Kenapa? Apa aku salah kalau mencintaimu? Konsekuensi apa yang harus aku terima? Aku adalah istri sah, apa perceraian itu adil untukku?"Ovan meremas rambut kepalanya. Terlungkup di atas meja dengan keadaan yang terlihat kacau. Mendengarkan celotehan Barbara kepalanya menjadi sakit."Barbara...aku tidak mencintaimu. Bagaimana bisa kita akan bersama?" kata Ovan dengan suara yang rendah."Baik, katakan itu sekali lagi. Tatap mataku, Ovan! Katakan sekali lagi agar aku percaya padamu!"Barbara mengguncang tubuh Ovan. Akan tetapi Ovan menepis tangan Barbara yang membuat tubuhnya terguling di lantai. Kakinya yang masih lemah tak bisa menyeimbangkan diri.Sementara itu, Ovan masuk ke kamarnya dengan hati tak menentu. Kebimbangan menghantui kepalanya, dan kini hatinya dalam kegalauan.Kalau ia tak segera keluar dari tempat itu, mungkin saja ia akan goyah dan berakibat ia melalaikan cin
"Benar, wajahmu dan rambutmu menyamarkan segalanya," lega Reno.Barbara menegang, ia mencium aroma maskulin pria itu tadi, saat Ovan menangkap tubuhnya, entah mengapa hatinya menciut, kecewa karena mereka tak bisa saling menyapa.'Ah, ini sungguh membuatku gila,' batinnya kemudian.Di dalam pesawat, Ovan yang lebih dulu masuk ke kursi penumpang sedikit merenung. Menolong wanita tadi, seakan ia mengenali tekstur tubuh yang ditangkapnya. Kelembutan tubuhnya, aromanya dan juga berjalan dengan sedikit pincang."Mengapa aku seperti orang yang berhalusinasi?" gumamnya yang membuat orang di sebelahnya bertanya."Apa? Uhmm, apakah tadi anda berbicara denganku?""Oh maaf, tidak tidak, aku tidak mengatakan apapun," ujarnya sedikit malu malu.Rasa hatinya masih ingin bersama Barbara, tapi keadaannya memaksa untuk menjauh dari gadis itu.Hatinya gelisah memikirkan bagaimana kalau suatu saat nanti ia merindukan Barbara? Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke po
"Aku? Kenapa harus aku? ini nggak akan seru kalau memergoki perselingkuhan tanpa keributan, kalau kau yang memergokinya maka akan semakin rame," cicit Reno dengan senyum liciknya."Dasar bodoh. Siapa yang menyimpulkan Ovan selingkuh?""Jadi?""Sebenarnya ini masalah yang lebih besar dari itu. Aku sedang menyelidiki kasus kebocoran data perusahaan, kau tahu bahwa banyak pembobolan akhir akhir ini."Reno membulatkan matanya. Ia mengira ini hanya masalah perselingkuhan, nyatanya Barbara mencurigai Ovan sebagai pelaku pembobolan."Tapi, untuk apa Ovan melakukan pembobolan sementara perusahaan itu adalah milikmu. Kau adalah istrinya, dia juga menikmati semua fasilitas hidup darimu, untuk apa dia melakukannya?" Reno sungguh tak habis fikir. Keluarga Anton Bagaskara adalah keluarga kaya raya. Sementara Barbara adalah putri tunggal yang mewarisi seluruh kekayaan. Menjadi suami Barbara mungkin tidak sulit untuk berfoya foya. Tapi Ovan bahkan tidak menikmati hidu
Barbara terlihat murung, mendapatkan penjelasan bahwa Ovan pergi ke Belanda dan meninggalkan barang barangnya di flat milik Jack. Sangat aneh baginya bahkan hanya ponsel hadiah darinya, Ovan tak membawanya. Mungkinkah Ovan hendak memutuskan kontak darinya?Reno bisa merasakan kegalauan Barbara. Sepertinya Barbara juga cemburu dengan Ovan yang memiliki kekasih di Australia. Sejauh ini, pernikahan Barbara justru masih rahasia di hadapan Jack."Kalau begitu, malam ini aku akan ke Belanda untuk mengikutinya bukan?"Barbara menatapnya sejenak. "Tentu saja, kau harus cari tahu kemana suamiku pergi, mengerti?!" sentaknya karena kesal.Reno sungguh melihat rasa kecewa Barbara. Akan tetapi ia lebih baik diam daripada semakin dijadikan objek kemarahan, imbas kekesalan Barbara.#Ovan menemui Nyonya Vein.Sebuah mansion megah dengan puluhan pengawal di gerbang luarnya membuat Ovan menciut. Ia khawatir,. Nyonya Vein tak mau menemuinya.Wanita ini menurutnya
Nyonya Vein tertawa lebar. "Baik, lakukan sebisamu. Sekarang, pergilah dari tempat ini. Jangan pernah temui aku lagi. Oke?""Sialan! Kau ini..!" Ovan melangkah maju untuk mencekik leher Nyonya Vein. Akan tetapi dua orang bodyguard sudah menghadang dengan mencekal tangannya kuat. dan segera menyeretnya keluar.Tubuh kekar dua pria dengan kulit hitamnya tentu saja membuat Ovan tak berkutik sama sekali. Mereka melemparkan tubuhnya ke dalam pintu lift yang terbuka dengan lemparan yang cukup keras."Arghh"Ovan meringis kesakitan.Tinit tinit tinitSeketika pintu lift tertutup dan bergerak turun menuju lantai dasar.Dalam tiga puluh detik, pintu lift itu sudah terbuka kembali, dan saat terbuka dua orang bodyguard lain sudah menunggunya.Ovan menatap mereka berdua dan berdiri merapikan bajunya."Oke oke, aku akan pergi. Tidak perlu repot-repot menyuruhku keluar, oke. I have to go," katanya dengan memberikan isyarat tangan terbuka.Di pintu
Barbara telah sampai di Jakarta dengan hati yang hancur.Ia sangat mencintai Ovan dan bahkan banyak sekali rahasia dibalik diri seorang Ovan. Seakan akan sebuah sandiwara gelap yang belum terungkap apa akhir dari jalan cerita ini sebenarnya. Misteri peretasan, misteri pernikahan tanpa sentuhan, misteri kepergian Ovan dengan ponsel hadiah darinya yang dicampakkan. Apakah Ovan akan kembali kepadanya ataukah kepada kekasihnya bernama Vanessa itu?Barbara tak mengerti, bagaimana menyimpulkan kisah hidupnya ini.Saat termenung, Michael menelponnya."Hmm?""Hei, mana suaramu, kau lagi sakit?""Enggak, aku lagi kesal," keluhnya."Oh, kalau begitu nanti saja aku menelpon kamu.""Apa kamu mau mati? Ada apa? Kau tak akan menelponku kalau tak penting.""Kau paling tahu dengan prinsipku. Benar, ini sangatlah penting. Masalah Ovan, temanku sudah mendapatkan informasi.""Katakan sekarang juga, aku sangat penasaran.""Ovan seorang mafia.""Apa?
Wajah Ovan sudah pucat, karena hampir satu jam ia tak bisa mendapatkan informasi tentang Vanessa bahkan di loket informasi rumah sakit. Ini sangat aneh, merek seakan menyembunyikan sesuatu.Hingga akhirnya ia melihat seorang pria berjubah putih baru turun dari mobilnya, ia langsung tahu bahwa pria dengan pakaian dokter dan memakai mantel tebal itu adalah dokter Bernard.Tak mau kehilangan kesempatan, Ovan menyergap dokter Bernard itu."Dokter, kau ingat aku bukan? Katakan dimana Vanessa sekarang," ujarnya dengan mencengkram kerah leher dokter tersebut.Sang dokter menautkan alisnya. Hari itu akhirnya tiba juga, dimana kekasih Vanessa pasti akan menuntutnya setelah melihat Vanessa tidak lagi di ruangan tersebut."Lepaskan tanganmu, kalau kau ingin mendengar apa yang sedang terjadi sebenarnya."Ovan kemudian melepaskan tangannya sementara tatap matanya masih begitu tajam."Apa yang terjadi? Dimana Vanessa? Aku telah membawa uang yang mencukupi untukmu,
Seolah masih di alam mimpinya, ia mendengar suara pria yang dicintainya itu. Ya, ia bahkan tidak ingin membuka matanya sehingga ia kehilangan suara Ovan di telinganya. Ia masih ingin merasakan kehangatan suasana itu, bukan rasa dingin semua peralatan rumah sakit yang sering membuatnya pasrah dan kesakitan. Ia ingin terus mendengar dan menolak untuk bangun dari tidurnya."Vanessa, bangunlah sayang, ini aku, Ovan. Tidakkah kau merindukanku?" bisik Ovan lagi dengan lembut di telinga Vanessa.Vanessa merasa suara itu sangat nyata di telinganya."Mungkinkah aku tidak sedang bermimpi?" gumamnya sangat pelan, lalu ia perlahan membuka sedikit matanya.Bayangan sesosok pria semakin memberinya harapan bahwa ini bukanlah mimpi semata."Ovan ku... Ovan?" bibirnya bergetar saat melihat siapa yang datang. Tubuh lemahnya berusaha untuk bangkit, tapi rasa sakit tiba tiba menyerang."Tenanglah, ini aku. Berbaringlah dengan tenang, aku akan menjagamu sekarang ini" ujarnya