Selesai berbincang dengan Ricard, Aditama langsung mencari keberadaan sang Ayah untuk bertanya dan memastikan kebenaranya. Ia menemukan sang Ayah sedang berada di ruangan berisi puluhan mobil-mobil mewah koleksinya berjejer rapi yang memanjakan mata—yang sudah seperti showroom mobil saja. Melihat kedatangan anak laki-lakinya, Laksana Gandara langsung mengajaknya ngobrol tentang mobil-mobil itu. Aditama memilih menanggapinya lebih dulu walau tidak terlalu antusias karena pikiranya saat ini sedang terfokus sepenuhnya dengan masalah yang sedang ia hadapi. Baru setelah agak lama, ia memotong perkataan sang Ayah dengan mengatakan jika ada yang hendak ia bicarakan padanya.Laksana Gandara tidak berpikir macam-macam, segera mengajak Aditama duduk. Keduanya duduk bersebelahan di kursi yang ada di tepi tembok ruangan tersebut. "Apakah Papa sudah tahu kalau Edwin berkhianat dari kita, Pa?" tanya Aditama dengan pandangan kosong, memulai pembicaraan. Usai mengatakan hal itu,
Laksana Gandara spontan berdiri seraya berkacak pinggang. "Katamu ... Edwin yang telah membocorkan tempat rahasia kita ... dan tukang pukul yang telah kita tangkap sebelumnya ternyata hanya dijadikan kambing hitam saja oleh mereka?" tanya pria paruh baya itu dengan rahang mengeras, pandanganya lurus ke depan, tanpa menoleh ke arah anak laki-lakinya. Mendengar itu, Aditama yang masih duduk di kursinya mengiyakan. Ia baru saja memberitahu tentang hal itu kepada sang Ayah. Selama sesaat, Laksana Gandara berpikir. "Sudah jelas, Tam. Jika Robert dan Andika menggunakan Edwin dan mungkin mereka berdua berbohong kepada Edwin soal kematian keluarganya dengan menuduh Papa sebagai pelakunya karena kami masih menjadi partner bisnis pada waktu itu. Makanya, Edwin hendak membalaskan dendamnya kepada keluarga kita!" seru Laksana Gandara dengan gigi gemeretak, berpikir demikian. Aditama mangguk-mangguk dengan rahang mengeras, setuju dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang Ayah.
Aditama baru saja selesai mandi saat Vania tiba-tiba berjalan mendekat ke arahnya seraya menahan senyum. Memiliki firasat tidak enak, Aditama menelan ludah. Kalau sudah begitu, pasti Vania akan meminta sesuatu! Tapi yang penting, jangan sesuatu yang dapat membuatnya khawatir saja. "Ada apa, sayang?" Aditama memutuskan bertanya. Akan tetapi, Vania tidak langsung menjawab, malah menggoyang-goyangkan badanya sembari memainkan jari jemarinya, kepalanya tertunduk, seperti hendak mengatakan sesuatu tapi ragu. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Vania mendongak menatap sang suami dan berujar. "Aku ... ingin gado-gado, sayang." "Kamu ingin gado-gado? Sekarang?" ucap Aditama hati-hati hendak memastikan ia tidak salah dengar. "Ya sekarang, Tama. Tidak mungkin kan aku ingin gado-gado besok, tapi aku bilang padamu sekarang?" Mendengar hal tersebut, Aditama menampilkan cengiran lebar. Ia lalu tersenyum. "Ya sudah. Nanti aku akan suruh koki untuk membuatkan—" Seketika Vani
Proses penyelidikan yang dilakukan oleh pihak polisi terhadap kasus penggelapan dana di perusahaan milik keluarga Hermanto yang dilakukan oleh sang Presiden Direktur—Bastian—kini telah selesai yang menetapkan Bastian sebagai tersangka utama. Ditambah ada empat karyawan yang ternyata ikut terlibat. Nama baik keluarga Hermanto, juga perusahaan dan Bastian sendiri menjadi semakin tercemar kala perselingkuhan Bastian mencuat ke publik. Hal yang ditakutkan pun menjadi kenyataan, Susan akhirnya mengugat cerai Bastian yang membuat rumah tangga Bastian menjadi berantakan. Kini Bastian harus merelakan dirinya meringkuk di dalam sel penjara dengan masa hukuman selama lima tahun. Mengetahui kabar tersebut, Aditama sangat puas karena akhirnya ia bisa membalas kejahatan yang selama ini paman dan keluarganya perbuat kepadanya. Di saat yang sama, merasa tenang karena dengan begitu, istrinya tak akan dipusingkan dengan masalah itu lagi karena masalah itu sudah selesai sekarang. Hal tersebut
Siang hari, Aditama dan Vania sedang berada di rumah sakit Siola—jadwal rutin pemeriksaan kandungan sang istri—yang biasanya dokter pribadi spesialis kandungan lah yang datang ke rumah. Akan tetapi, Vania mendadak ingin pergi ke rumah sakit. Adiatama pun menurut, menganggap hal tersebut adalah ngidam sang istri dalam bentuk lain. Karena sudah di rumah sakit, akhirnya keduanya memutuskan mengecek jenis kelamin calon bayi yang sudah bisa diketahui di usia kandungan Vania yang sudah memasuki trisemester kedua. Di titik ini, ponsel Aditama berdering. Hal tersebut membuat pria itu segera merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana dan nama Ricard terpampang jelas di layar ponsel. Selama sesaat, Aditama tampak berpikir. Selagi sang dokter sedang melakukan pemindaian USG untuk mengetahui jenis kelamin calon anaknya pada perut Vania yang sedang rebah di ranjang, Aditama berkata. "Sayang, aku mau keluar sebentar ya untuk mengangkat telepon." Vania yang sedikit penasaran
Sebuah sedan yang membawa Aditama berhenti di depan gedung kasino—bisnis patungan antara Robert dan Andika. Keduanya meminta Aditama untuk menemuinya di kasino tersebut. Aditama tak mempermasalahkan hal itu karena tentu dia datang dengan segala persiapan yang matang. Tujuan Aditama menemui Robert dan Andika malam ini adalah untuk menyerahkan data-data yang dipegang oleh Ayahnya kepada mereka berdua. Kenapa ... pada akhirnya Aditama mau menyerahkan data-data itu kepada mereka berdua? Karena nantinya ia akan menukar data-data itu dengan pengakuan dari keduanya. Ia akan menginterogasi mereka berdua. Aditama yang hanya bersama seorang sopir saja membawa langkahnya menuju gedung kasino tersebut. Tentu ia tidak datang hanya berdua. Melainkan membawa banyak pengawal. Akan tetapi, para pengawal tidak datang bersamanya. Melihat kedatangan mereka berdua, dua orang security yang sepertinya mendapatkan tugas untuk menunggu kedatangan Aditama, segera meminta Aditama untuk berjalan be
Aditama menatap Robert dan Andika satu persatu dengan ekspresi wajah datar nan dingin. Dia kemudian berkata. "Om Robert dan Om Andika, 'kan? Yang telah membunuh kedua orang tua dan kakaknya Edwin?" Sontak, mata Robert dan Andika kompak membulat! Kali ini mereka berdua benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Hal tersebut tentu tak lepas dari pengamatan Aditama. Detik berikutnya, mereka berdua saling pandang. Seakan saling tanya. Memberikan kode dengan gerakan mata. Bagaimana Aditama bisa tahu hal itu? Melihat Robert dan Andika bersikap demikian, Aditama tersenyum miring. Ia sudah tahu jawabanya hanya dari melihat reaksi keduanya. Selagi mereka berdua terdiam kaget, Aditama kembali angkat suara. "Walau sebenarnya aku sudah tahu semuanya, Om. Tapi, aku ingin mendengar pengakuan dari Om Robert dan Om Andika secara langsung yang katanya tidak pernah marah dan dendam sedikit pun kepada keluarga kami dan menginginkan anak-anak Om berhubungan baik denganku tapi
Aditama langsung menggeram marah setelah mendengar penjelasan mereka berdua. Akan tetapi, ia menahan segala amarah yang tengah menguasai dirinya. Aditama menatap mereka berdua dengan dingin dan tetap tenang. Dia kemudian berkata. "Kenapa kalian tega melakukan hal itu pada Papaku? Kenapa kalian tega menjadikan Papa kambing hitam atas perbuatan keji kalian itu?!" Kemudian, ia menggeleng. "Aku benar-benar kecewa dengan kalian berdua! Aku tidak menyangka dibalik sikap baik dan ramah kalian kepadaku ... ternyata ... " Aditama bersikap seolah terlihat kecewa dan melankonis—sebagaimana respon semestinya. "Itu karena Papamu sok suci, Tam. Kolot. Menentang kami dan memilih jalannya sendiri!!!" teriak Andika murka. "Makanya, kami ingin memberi pelajaran pada Papamu!" Mendengar hal tersebut, Aditama menoleh, menatap Andika. Tapi tidak membalas apa-apa. Membiarkan Andika bicara sesuka hati. Sementara Andika sudah tidak peduli lagi, merasa sudah tidak perlu bersikap sok baik dan perhati