Sebuah sedan yang membawa Aditama berhenti di depan gedung kasino—bisnis patungan antara Robert dan Andika. Keduanya meminta Aditama untuk menemuinya di kasino tersebut. Aditama tak mempermasalahkan hal itu karena tentu dia datang dengan segala persiapan yang matang. Tujuan Aditama menemui Robert dan Andika malam ini adalah untuk menyerahkan data-data yang dipegang oleh Ayahnya kepada mereka berdua. Kenapa ... pada akhirnya Aditama mau menyerahkan data-data itu kepada mereka berdua? Karena nantinya ia akan menukar data-data itu dengan pengakuan dari keduanya. Ia akan menginterogasi mereka berdua. Aditama yang hanya bersama seorang sopir saja membawa langkahnya menuju gedung kasino tersebut. Tentu ia tidak datang hanya berdua. Melainkan membawa banyak pengawal. Akan tetapi, para pengawal tidak datang bersamanya. Melihat kedatangan mereka berdua, dua orang security yang sepertinya mendapatkan tugas untuk menunggu kedatangan Aditama, segera meminta Aditama untuk berjalan be
Aditama menatap Robert dan Andika satu persatu dengan ekspresi wajah datar nan dingin. Dia kemudian berkata. "Om Robert dan Om Andika, 'kan? Yang telah membunuh kedua orang tua dan kakaknya Edwin?" Sontak, mata Robert dan Andika kompak membulat! Kali ini mereka berdua benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Hal tersebut tentu tak lepas dari pengamatan Aditama. Detik berikutnya, mereka berdua saling pandang. Seakan saling tanya. Memberikan kode dengan gerakan mata. Bagaimana Aditama bisa tahu hal itu? Melihat Robert dan Andika bersikap demikian, Aditama tersenyum miring. Ia sudah tahu jawabanya hanya dari melihat reaksi keduanya. Selagi mereka berdua terdiam kaget, Aditama kembali angkat suara. "Walau sebenarnya aku sudah tahu semuanya, Om. Tapi, aku ingin mendengar pengakuan dari Om Robert dan Om Andika secara langsung yang katanya tidak pernah marah dan dendam sedikit pun kepada keluarga kami dan menginginkan anak-anak Om berhubungan baik denganku tapi
Aditama langsung menggeram marah setelah mendengar penjelasan mereka berdua. Akan tetapi, ia menahan segala amarah yang tengah menguasai dirinya. Aditama menatap mereka berdua dengan dingin dan tetap tenang. Dia kemudian berkata. "Kenapa kalian tega melakukan hal itu pada Papaku? Kenapa kalian tega menjadikan Papa kambing hitam atas perbuatan keji kalian itu?!" Kemudian, ia menggeleng. "Aku benar-benar kecewa dengan kalian berdua! Aku tidak menyangka dibalik sikap baik dan ramah kalian kepadaku ... ternyata ... " Aditama bersikap seolah terlihat kecewa dan melankonis—sebagaimana respon semestinya. "Itu karena Papamu sok suci, Tam. Kolot. Menentang kami dan memilih jalannya sendiri!!!" teriak Andika murka. "Makanya, kami ingin memberi pelajaran pada Papamu!" Mendengar hal tersebut, Aditama menoleh, menatap Andika. Tapi tidak membalas apa-apa. Membiarkan Andika bicara sesuka hati. Sementara Andika sudah tidak peduli lagi, merasa sudah tidak perlu bersikap sok baik dan perhati
DOR! DOR! DOR! Dari arah luar, terdengar suara tembakan yang menyalak. Di saat yang sama, terdengar bunyi jeritan, teriakan dan mengaduh kesakitan. Mendengar hal tersebut, Robert dan Andika kembali memaki-maki. Semakin meradang. Menduga jika tukang pukulnya bernasib sama seperti kaki tangan mereka. Sudah pasti jika yang datang adalah anak buahnya Aditama. Tuan Muda keluarga Gandara itu tidak benar-benar datang ke sini seorang diri. Sementara Aditama menghembuskan napas lega. Itu pasti anak buahnya yang ia tugaskan untuk naik ke lantai atas, menjemput sekaligus melindungi dirinya sudah sampai. Mereka pula yang pasti telah membersihkan tukang pukul yang berjaga di luar ruangan. Sejauh ini, rencananya berhasil. Tinggal ia keluar dari gedung kasino ini saja. Selagi Robert dan Andika sibuk memutar otak, mencari penerangan, senjata, Aditama bergegas keluar dari ruangan itu. Tiba di luar, Aditama melihat para tukang pukul yang berjaga di luar ruangan, yang tadi m
Melihat kedatangan Edwin, Ricard dan disusul para anak buah mereka di belakang setelahnya masuk ke dalam ruangan, tiga orang yang tengah berada di ruangan itu seketika terperanjat. Edwin refleks bangkit dari tempat duduknya. Mendadak, ketiganya tercengang. Mencerna apa yang sedang dilihatnya, hendak memastikan bahwa orang-orang itu adalah orang-orangnya keluarga Gandara. Di saat yang sama, benak ketiga orang itu langsung dipenuhi banyak pertanyaan. Bagaimana mereka bisa tahu ruangan rahasia ini? Kenapa mereka bisa menemukannya? Kenapa tiba-tiba mereka datang ke sini? Selagi ketiga orang itu membeku di tempat masing-masing, perhatian Heru teralihkan dengan keberadaan sosok Arumi dan Haikal di ruangan tersebut. Mendadak, amarah langsung menguasai dirinya. Ternyata Edwin bekerja sama dengan mereka berdua! Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Heru kembali melemparkan tatapan mematikan ke arah Edwin. "Tak kusangka ... kau ternyata bekerja sama dengan mereka berdua, Wi
Mobil yang ditumpangi Aditama diikuti mobil-mobil lain berisi para tukang pukul di belakang mengawal kini sudah meluncur di jalan raya bersama kendaraan lain yang berlalu lalang. Tampaknya para tukang pukulnya Robert dan Andika tidak mengejar mereka sampai ke jalan raya, mendadak menghilang, bisa jadi kehilangan jejak atau kemungkinan memilih kembali ke kasino untuk menyelesaikan masalah di sana. Dalam usaha meloloskan diri, dalam perjalanan menuju jalan raya tadi, mereka sempat saling tembak, saling serang satu sama lain di dalam mobil masing-masing. "Kita langsung menuju perumahan Paradise," ujar Aditama kepada sang sopir dan Letnan yang duduk di jok depan. Mendengar perintah sang tuan muda, keduanya mengiyakan. Aditama lalu meraih ponsel dari dalam saku celana. Selama sesaat, pandanganya tertuju pada layar ponsel, juga jari jemarinya, sebelum kemudian terbit senyum penuh kemenangan di bibirnya. Pada saat ia sedang menginterogasi Robert dan Andika tadi, pun pada saat m
Kini ponsel milik Ricard yang berisi rekaman suara sudah berada di tangan Edwin. Dengan perasaan tak karu-karu an, juga penasaran, tangan bergetar, Edwin mengetuk layar ponsel untuk memainkan rekaman suara itu, lantas mendengarkannya dengan saksama. Atmosfer ruangan tersebut mendadak senyap. Semua orang saling terdiam, kompak menatap ke arah Edwin, memperhatikan apa yang sedang dilakukan olehnya. Sesekali, Edwin akan merespon dengan membelalak, tercengang, termangu, geleng-geleng kepala, mendengus, menggeram marah, sesekali juga memasang ekspresi wajah murung dan tak berdaya. Sepuluh menit, rekaman suara itu sudah selesai diputar. Edwin menurunkan ponsel dari telinga dengan keadaan lemas selagi membeku di tempat, pandangannya kosong. Tanah dibawah Edwin seakan hancur! Ia serasa mau jatuh! Kepalanya mendadak terasa berat, pandangannya menjadi berkunang-kunang, pria itu tengah mencerna apa yang baru saja ia dengar. Jadi ... pembunuh kedua orang tua dan kakaknya yang se
Selagi Aditama menyilangkan tangan di depan dada—duduk di jok mobil belakang masih dalam perjalanan menuju perumahan Paradise—memikirkan semua musuhnya yang sebentar lagi akan berhasil ia bereskan, sebuah dering berbunyi berasal dari ponsel miliknya menandakan ada panggilan masuk membuat lamunan pria tampan itu terbuyar. Ia pun kembali mengecek ponselnya dan nama sang istri terpampang jelas di layar ponsel. Melihat hal itu, demi apa pun, Aditama langsung merasa senang bukan main. Namun di sisi lain, ia tidak mau sang istri mengetahui apa yang sebenarnya sedang ia lakukan, mengetahui apa yang terjadi dengan keluarga Gandara! Demikian, ia tidak mau membuat Vania cemas berlebihan—apalagi jika sampai tahu ia, sang ibu dan bayi yang ada di dalam kandungnya itu menjadi target pembunuhan. Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terjadi mengingat rencananya yang sebentar lagi akan selesai. Akhirnya, setelah terdiam sejenak, Aditama mengusap layar ponsel dan segera menempelkannya di