Siang hari, Aditama dan Vania sedang berada di rumah sakit Siola—jadwal rutin pemeriksaan kandungan sang istri—yang biasanya dokter pribadi spesialis kandungan lah yang datang ke rumah. Akan tetapi, Vania mendadak ingin pergi ke rumah sakit. Adiatama pun menurut, menganggap hal tersebut adalah ngidam sang istri dalam bentuk lain. Karena sudah di rumah sakit, akhirnya keduanya memutuskan mengecek jenis kelamin calon bayi yang sudah bisa diketahui di usia kandungan Vania yang sudah memasuki trisemester kedua. Di titik ini, ponsel Aditama berdering. Hal tersebut membuat pria itu segera merogoh saku jas, mengeluarkan ponsel dari dalam sana dan nama Ricard terpampang jelas di layar ponsel. Selama sesaat, Aditama tampak berpikir. Selagi sang dokter sedang melakukan pemindaian USG untuk mengetahui jenis kelamin calon anaknya pada perut Vania yang sedang rebah di ranjang, Aditama berkata. "Sayang, aku mau keluar sebentar ya untuk mengangkat telepon." Vania yang sedikit penasaran
Sebuah sedan yang membawa Aditama berhenti di depan gedung kasino—bisnis patungan antara Robert dan Andika. Keduanya meminta Aditama untuk menemuinya di kasino tersebut. Aditama tak mempermasalahkan hal itu karena tentu dia datang dengan segala persiapan yang matang. Tujuan Aditama menemui Robert dan Andika malam ini adalah untuk menyerahkan data-data yang dipegang oleh Ayahnya kepada mereka berdua. Kenapa ... pada akhirnya Aditama mau menyerahkan data-data itu kepada mereka berdua? Karena nantinya ia akan menukar data-data itu dengan pengakuan dari keduanya. Ia akan menginterogasi mereka berdua. Aditama yang hanya bersama seorang sopir saja membawa langkahnya menuju gedung kasino tersebut. Tentu ia tidak datang hanya berdua. Melainkan membawa banyak pengawal. Akan tetapi, para pengawal tidak datang bersamanya. Melihat kedatangan mereka berdua, dua orang security yang sepertinya mendapatkan tugas untuk menunggu kedatangan Aditama, segera meminta Aditama untuk berjalan be
Aditama menatap Robert dan Andika satu persatu dengan ekspresi wajah datar nan dingin. Dia kemudian berkata. "Om Robert dan Om Andika, 'kan? Yang telah membunuh kedua orang tua dan kakaknya Edwin?" Sontak, mata Robert dan Andika kompak membulat! Kali ini mereka berdua benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Hal tersebut tentu tak lepas dari pengamatan Aditama. Detik berikutnya, mereka berdua saling pandang. Seakan saling tanya. Memberikan kode dengan gerakan mata. Bagaimana Aditama bisa tahu hal itu? Melihat Robert dan Andika bersikap demikian, Aditama tersenyum miring. Ia sudah tahu jawabanya hanya dari melihat reaksi keduanya. Selagi mereka berdua terdiam kaget, Aditama kembali angkat suara. "Walau sebenarnya aku sudah tahu semuanya, Om. Tapi, aku ingin mendengar pengakuan dari Om Robert dan Om Andika secara langsung yang katanya tidak pernah marah dan dendam sedikit pun kepada keluarga kami dan menginginkan anak-anak Om berhubungan baik denganku tapi
Aditama langsung menggeram marah setelah mendengar penjelasan mereka berdua. Akan tetapi, ia menahan segala amarah yang tengah menguasai dirinya. Aditama menatap mereka berdua dengan dingin dan tetap tenang. Dia kemudian berkata. "Kenapa kalian tega melakukan hal itu pada Papaku? Kenapa kalian tega menjadikan Papa kambing hitam atas perbuatan keji kalian itu?!" Kemudian, ia menggeleng. "Aku benar-benar kecewa dengan kalian berdua! Aku tidak menyangka dibalik sikap baik dan ramah kalian kepadaku ... ternyata ... " Aditama bersikap seolah terlihat kecewa dan melankonis—sebagaimana respon semestinya. "Itu karena Papamu sok suci, Tam. Kolot. Menentang kami dan memilih jalannya sendiri!!!" teriak Andika murka. "Makanya, kami ingin memberi pelajaran pada Papamu!" Mendengar hal tersebut, Aditama menoleh, menatap Andika. Tapi tidak membalas apa-apa. Membiarkan Andika bicara sesuka hati. Sementara Andika sudah tidak peduli lagi, merasa sudah tidak perlu bersikap sok baik dan perhati
DOR! DOR! DOR! Dari arah luar, terdengar suara tembakan yang menyalak. Di saat yang sama, terdengar bunyi jeritan, teriakan dan mengaduh kesakitan. Mendengar hal tersebut, Robert dan Andika kembali memaki-maki. Semakin meradang. Menduga jika tukang pukulnya bernasib sama seperti kaki tangan mereka. Sudah pasti jika yang datang adalah anak buahnya Aditama. Tuan Muda keluarga Gandara itu tidak benar-benar datang ke sini seorang diri. Sementara Aditama menghembuskan napas lega. Itu pasti anak buahnya yang ia tugaskan untuk naik ke lantai atas, menjemput sekaligus melindungi dirinya sudah sampai. Mereka pula yang pasti telah membersihkan tukang pukul yang berjaga di luar ruangan. Sejauh ini, rencananya berhasil. Tinggal ia keluar dari gedung kasino ini saja. Selagi Robert dan Andika sibuk memutar otak, mencari penerangan, senjata, Aditama bergegas keluar dari ruangan itu. Tiba di luar, Aditama melihat para tukang pukul yang berjaga di luar ruangan, yang tadi m
Melihat kedatangan Edwin, Ricard dan disusul para anak buah mereka di belakang setelahnya masuk ke dalam ruangan, tiga orang yang tengah berada di ruangan itu seketika terperanjat. Edwin refleks bangkit dari tempat duduknya. Mendadak, ketiganya tercengang. Mencerna apa yang sedang dilihatnya, hendak memastikan bahwa orang-orang itu adalah orang-orangnya keluarga Gandara. Di saat yang sama, benak ketiga orang itu langsung dipenuhi banyak pertanyaan. Bagaimana mereka bisa tahu ruangan rahasia ini? Kenapa mereka bisa menemukannya? Kenapa tiba-tiba mereka datang ke sini? Selagi ketiga orang itu membeku di tempat masing-masing, perhatian Heru teralihkan dengan keberadaan sosok Arumi dan Haikal di ruangan tersebut. Mendadak, amarah langsung menguasai dirinya. Ternyata Edwin bekerja sama dengan mereka berdua! Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Heru kembali melemparkan tatapan mematikan ke arah Edwin. "Tak kusangka ... kau ternyata bekerja sama dengan mereka berdua, Wi
"Tuan Muda, Tuan Besar memohon pada Anda untuk kembali dan meneruskan takhta pewaris Keluarga!"Di parkiran rumah sakit pusat kota, seorang pria tua dengan jas hitam dan koper di tangan terlihat sedang berbicara dengan sosok pemuda berpakaian sederhana cenderung lusuh.Aditama, pemuda yang dipanggil tuan muda itu, menatap marah ke arah sang pria tua. "Sudah kukatakan berkali-kali, jangan mencoba mencariku lagi! Aku sudah bukan bagian dari keluarga Gandara!" Suara Aditama meninggi dan wajahnya mengeras. Dari cara dia berniat kembali masuk ke dalam rumah sakit, kentara pemuda itu tidak ingin kembali diajak bicara. Namun, pria tua bernama Panji itu tidak menyerah. Dia menghadang jalan Aditama dan menggenggam tangan pemuda tersebut. "Tuan Muda, kondisi kesehatan Tuan Besar tidaklah baik, dia sekarang membutuhkan Anda sebagai pewaris keluarga Gandara!" Mendengar itu, Aditama mengeraskan rahang. "Setelah apa yang ia lakukan padaku dan ibu, sekarang dia memintaku kembali?! Apa dia masih
"Lihatlah menantu Luis itu, sungguh tidak tahu diri!""Datang ke pesta, tapi malah meminta uang. Dasar tidak tahu malu!"Semua orang langsung mencemooh Aditama yang masih bergeming di hadapan kakek Hermanto. Namun, Aditama tidak peduli. Demi ibunya, dia akan melakukan apapun, bahkan jika itu menjual harga dirinya sendiri!Kakek Hermanto tiba-tiba mengangkat tangannya, membuat tawa cemoohan dan olok-olok itu seketika berhenti.Kakek Hermanto menatap tajam Aditama. "Aditama, kau tahu bukan kau tak boleh menampakkan wajahmu di acara keluarga ini?" tanya pria tua itu."Aku tahu, Kek. Tapi saat ini aku sangat membutuhkan bantuan Kakek," ucap Aditama. "Ibuku akan melakukan operasi dan aku membutuhkan uang dua miliar."Dua miliar?!Anggota keluarga Hermanto lain langsung kasak-kusuk mendengar nominal yang diajukan Aditama.Bagi mereka, pemuda yang dijuluki menantu tidak berguna itu hanya ingin memeras dan menipu kakek Hermanto!Dengan pekerjaannya yang hanya sebagai kuli bangunan, bagaimana