Kevin menggeleng. "Aku tidak mau, Pa." Jawab Kevin tegas setelah terdiam sebentar tanpa menoleh ke arah Ayahnya. Tatapan matanya masih lurus, menatap Aditama dengan tajam. Meminta maaf kepada seseorang yang derajatnya lebih rendah darinya? Jelas ia tidak sudi!Mau ditaruh di mana mukanya jika ia melakukan hal demikian? Hardi melotot mendengar hal itu. Langsung gelagapan untuk beberapa saat sebelum kemudian menggeram marah. Sampai urat-urat di pelipis dan leher terlihat menyembul keluar. Namun tiba-tiba wajahnya mengernyit, kemudian ia berpikir dengan cepat. Lalu, ia buru-buru menguasai diri, menghembus-hembuskan napas untuk meredakan emosinya. Setelah agak mulai tenang, ia bergegas menghampiri Aditama dan Vania. Tiba di hadapan mereka berdua, dia membungkukan badan dengan hormat lebih dulu. Selagi Hardi tengah melakukan hal itu, semua mata seketika melebar. Lalu, kompak tercengang. Kenapa orang sekaya dan berpengaruh seperti Hardi bersikap hormat kepada Aditama?
"Aa ... aku minta maaf atas apa yang aku lakukan kepadamu tadi, Van ... maafkan aku karena aku telah memfitnah dan mengata-ngataimu." ucap Kevin dengan suara dan bibir bergetar. Kepalanya tertunduk. Tidak berani melakukan kontak mata dengan Vania. Melihat pemandangan itu, membuat semua orang jelas terkejut bukan main. Padahal, beberapa saat yang lalu, Kevin masih bersikap sombong—bersikeras tidak mau meminta maaf. Tapi ... kenapa sekarang ia mendadak berubah pikiran? Sekembalinya dari berbicara dengan Ayahnya? Kala memikirkan hal itu, mereka pun menjadi penasaran dengan apa yang tadi Kevin dan Ayahnya itu bicarakan. Tapi satu hal, Kevin melakukan hal demikian karena pasti atas perintah dari Ayahnya. Kevin lanjut berkata. "Aku melakukan hal itu karena aku sedang dipenuhi emosi tinggi tadi, Van ... tapi sekarang ... aku benar-benar telah menyesal ... tolong maafkan aku, Van." Vania mengulas senyum puas mendapati hal itu dengan tangan terlipat di depan dada. Ia memicingk
Di parkiran hotel tempat diadakanya acara reuni, terlihat beberapa orang yang tengah mengerubungi Aditama dan Vania. Acara reuni telah selesai—berakhir berantakan—karena usaha Kevin ingin mendapatkan Vania harus kandas. Tidak hanya itu, Kevin juga harus mendapat malu di depan banyak orang. Selagi semua orang beranjak meninggalkan ruangan hotel, sebagian memilih mengerubungi Aditama dan Vania karena masih penasaran, sebagian lagi memutuskan pulang duluan, Kevin dan Ayahnya tetap berada di ruangan VVIP tersebut—mungkin hendak melanjutkan membicarakan masalah tadi. Akan tetapi, para pendukungnya Kevin ikut turun ke bawah dan bergabung dalam kerumunan orang-orang yang tengah mengerubungi Aditama dan Vania itu.Kini parkiran hotel tengah dipenuhi keributan oleh suara orang-orang karena ternyata BMW yang tadi dibicarakan di dalam, yang sempat dilupakan, itu adalah benar milik Aditama—dibuktikan dengan surat-surat kepemilikan mobil tersebut atas nama Aditama—yang baru saja ditunju
Sementara itu, di tempat lain, kediaman Hermanto. Pria tua itu terlihat tengah shock berat, terduduk di ranjang sebab apa yang baru saja dikatakan oleh Stephanie. "Itu kenapa sebabnya Aditama tidak mau menerima pemberian uang dari Ayah, itu kenapa dia begitu percaya diri jika bisa membayar uang sewa unit apartemenya sendiri," Stephanie menghentikan kalimat sejenak. Kemudian, ia menghela napas. "Bagimana tidak percaya diri? Unit apartemen yang mereka tempati itu ... kini sudah menjadi milik mereka! Aditama tidak menyewanya lagi, melainkan membelinya!" Stephanie menekankan pada ujung kalimatnya. Mendengar itu, secara perlahan, Hermanto menoleh menatap Stephanie. Akan tetapi, pria tua itu belum merespon apa-apa. Tanpa menunggu respon dari sang Ayah, Stephanie melanjutkan kalimatnya. "Itu kenapa Aditama juga bisa membayar hutang kepada temanya dalam waktu singkat. Juga bisa membelikan kalung untuk Vania seharga 31 miliar." "Selain itu ... kenapa Aditama bisa tiba-tiba berub
Rahang Hermanto mengeras, menatap Aditama untuk beberapa saat. "Kakek ... sudah tahu mengenai ... kau yang baru mendapatkan warisan, Tama." Mendengar itu, senyum lebar yang menghiasi bibir Aditama mau pun Vania seketika pudar. Kemudian, mereka berdua kompak mengernyitkan dahi. Sementara itu, Stephanie langsung menundukan kepala. Tentu saja ia langsung merasa tidak karu-karu an karena takut Aditama akan marah karena ia memberitahu mengenai hal itu kepada Hermanto, padahal mereka berdua sudah berpesan kepada dirinya untuk tidak mengatakannya kepada siapa-siapa dulu. Termasuk kepada Hermanto. Selama sesaat, Aditama dan Vania terdiam. Vania lalu menatap sang ibu, memberi kode melalui gerakan mata. Menyadari hal itu, Stephanie langsung mendongak, ia sudah paham akan maksud dari kode gerakan mata Vania tersebut. Detik berikutnya, ia memasang wajah tidak berdaya. Dia kemudian berkata. "Maafkan mama, Van ... Tama ... " Stephanie menatap Aditama dan Vania bergantian. "Mam
"Di mana suami bajinganmu itu, Vania?!" ujar Bastian dengan rahang mengeras. Vania langsung gelagapan setelah ditanya sang Paman. "Aditama ada di—"Akan tetapi, belum sempat Vania menyelesaikan kalimatnya, Bastian sudah nyelonong masuk ke dalam unit apartemenya lebih dulu diikuti Susan dan Mario di belakangnya.Selagi mereka berdua mengikuti Bastian masuk ke dalam, Vania harus mendapatkan tatapan sinis dari mereka berdua. Melihat hal itu, Vania memasang wajah tak berdaya seiring napas berat pun berhembus keluar dari mulutnya. Ia tidak bisa mencegah mereka, terpaksa membiarkanya. Vania lalu bertanya-tanya. Ada apa mereka datang ke mari?Jika dilihat dari ekspresi wajah dan gelagatnya terlihat tidak bersahabat, cenderung buruk. Kala memikirkan hal itu, Vania tiba-tiba mengerjap, pandangannya memicing, mulai berasumsi sendiri. Apakah mungkin mereka sudah tahu jika Bella ada di sini? Dan mereka hendak mengajak Bella pulang? Mendadak, Vania merasa cemas. Tapi kecemasan itu
"Sikap kalian kepada Aditama dan Vania itu sudah sangat kelewatan! Kita itu keluarga, Ma, Pa! Tapi, kenapa kalian jahat sekali kepada mereka berdu—" PLAK! Tiba-tiba sebuah tamparan keras Bella dapatkan yang membuatnya seketika terdiam, agak terhuyung pula, lalu secara refleks ia memegangi pipinya yang terasa panas. Detik berikutnya, Bella menoleh dan mendapati sang ibu yang baru saja menamparnya. Ia pun mendengus dingin seraya geleng-geleng kepala, balik menatap sang ibu dengan perasaan kecewa bukan main. Namun tidak dengan Susan yang malah semakin menggeram, ekspresi wajahnya memancarkan aura kemarahan hebat. "Kamu ... benar-benar anak durhaka Bella! Mama dan papa kecewa berat padamu!!!" teriak Susan dengan suara meninggi dan wajah mengeras sambil menuding muka Bella. Kemudian, napasnya tampak menderu kencang, dadanya kembang kempis. "Tadinya ... mama merasa kasihan dan mengkhawatirkanmu setelah kamu pergi dari rumah ... tapi ... setelah melihatmu seperti ini ... rasa kasih
Vania ikutan memandangi dirinya sekaligus sang suami di sampingnya—yang kini telah berubah layaknya eksekutif muda—dalam cermin besar. Vania lalu menarik kepala dari lengan Aditama, menatap sang suami dengan senyum tipis di bibirnya. "Kamu yang semangat ya ... aku yakin ... kamu pasti bisa." Kata Vania lagi, bermaksud hendak memberi semangat untuk suaminya. Mendengar itu, Aditama menghadap sang istri, lantas balas tersenyum, "Terima kasih, sayang."Tiba-tiba Vania memasang ekspresi wajah murung, lalu kepalanya tertunduk. Menyadari hal itu, Aditama mengernyitkan dahi seketika. "Ada apa, Van?" tanya Aditama. Vania mendongak, menatap sang suami lagi dengan lekat. "Dengan penampilanmu yang berubah menjadi keren dan tampan seperti ini ... apalagi kamu sudah menjadi seorang Presdir di perusahaan terkenal ... " Vania menghentikan kalimatnya sejenak. Kemudian, ia menghela napas. "Pasti, kamu akan menjadi pusat perhatian di kantor nanti ... terlebih para karyawan wanita ..