Minggu ke 3. Di lantai dua belas gedung pencakar langit Silverline, ketegangan terasa begitu kuat. Di ruang rapat, para eksekutif senior duduk dalam diam. Di luar, langit diselimuti awan mendung, menambah suasana muram di dalam. Oliver, wajahnya kusut dengan kerutan yang semakin dalam, memecah keheningan. "Investor mulai menarik diri. Harga saham kita jatuh bebas. Jika kita tidak bertindak cepat, kita akan hancur." CFO Silverline, dengan tangan gemetar, menyerahkan laporan keuangan terbaru. "Ini adalah laporan terbaru dari bursa saham," katanya dengan suara serak. "Investor institusional sudah mulai menjual saham mereka secara massal. Kreditur kita juga semakin resah." Katrina, yang duduk di samping ayahnya, menatap layar ponsel yang penuh notifikasi dari para pemegang saham. Pesan-pesan yang masuk adalah permintaan penjelasan yang tidak bisa dia berikan. "Apa yang bisa kita lakukan?" suara Katrina gemetar, seolah berharap masih ada jalan keluar. Andrian, yang duduk dengan tata
Ariana memutuskan untuk pergi ke kota terdekat dan menetap di sana untuk sementara waktu. Bagaimana pun juga bayinya adalah prioritas utamanya. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayinya.Setelah Ariana kembali dari rumah sakit untuk pemeriksaan kandungannya, dia memutuskan untuk pergi ke minimarket di lantai dasar apartemen yang disewanya, untuk membeli beberapa barang keperluan. Andrian tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Mereka sama-sama berhenti. Ariana tertegun, tapi berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Andrian terdiam beberapa detik, tidak menyangka di saat dia menghilang untuk sementara malah bertemu dengan seseorang yang dikenalnya di provinsi kecil yang jauh dari tempat asal mereka."Bu Ariana?" suara Andrian terdengar sangat terkejut.Ariana berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya dia merasa panik. "Ya... Pak Andrian? Apa yang Bapak lakukan di sini?" jawab Ariana dengan nada tenang, meskipun dia tidak benar-benar ingin tahu jawabannya.Andrian tampak bing
Setelah Nicholas pergi meninggalkan ruangan keluarga, mata Rachel terus mengarah ke pintu tempat Nicholas menghilang. “Sayang, tidakkah kau merasakan putra kita berbeda?” tanya Rachel dengan suara pelan kepada Richard yang duduk di sebelahnya. Richard mencoba menenangkan istrinya. “Sayang, dia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Kau tahu, dia selalu serius menjalankan tanggung jawabnya. Ini sementara, dia akan kembali seperti biasa.” Namun, Rachel menggeleng, tampak tidak yakin. “Tidak, Richard. Sejak dia ingat semuanya ada yang berubah dengannya. Dia terlalu tenang, dan mendengarkan kita dengan patuh. Bukan kah itu terlalu aneh?” Richard menepuk tangan Rachel dengan lembut. "Nicholas telah melalui banyak hal—amnesia, ingatan yang kembali, semua pasti membingungkan. Tapi dia tetap putra kita." “Jangankan Clarissa sekretarisnya, Aku yang ibunya juga jadi takut dengannya,” gerutu Rachel. Sementara Richard berusaha menenangkan istrinya, kakek Henry mendengarkan percakapan mereka deng
Nicholas berjalan melewati koridor rumah sakit dengan langkah tenang. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, fokus pada tujuannya: menemui petugas kebersihan yang dikatakan menyelamatkannya saat insiden di gudang yang hampir merenggut nyawanya. Dia sudah memastikan bapak itu dipindahkan ke kamar perawatan terbaik di rumah sakit setelah mendengar bahwa kondisinya memburuk. Dia menderita gagal ginjal kronis.Nicholas melangkah masuk ke dalam kamar perawatan dengan wajah datar. Ruangan itu tenang, hanya suara alat medis yang memonitor kondisi petugas kebersihan tua yang terbaring di ranjang. Bapak itu sudah tampak lemah, tubuhnya menua, dengan sisa-sisa kesehatan yang perlahan menghilang. Petugas kebersihan itu membuka matanya perlahan saat mendengar pintu berderit. Pandangannya menatap Nicholas dengan kerutan di dahi, seolah mencoba mengingat sesuatu dari wajah pemuda di depannya."Siapa Anda?" tanyanya dengan suara serak, dipenuhi rasa penasaran dan kebingungan.Nicholas tanpa basa-basi, men
Ariana melangkah keluar dari jet pribadi dengan anggun. Di landasan, Daniel sudah menunggu dengan tenang di samping mobil hitam. Begitu melihat Ariana mendekat, dia membuka pintu mobil dan tersenyum tipis.“Terima kasih, Nyonya, telah membuat keputusan yang tepat dengan menghubungi saya,” ucap Daniel sopan, matanya memancarkan rasa hormat.Ariana hanya mengangguk singkat, lalu masuk ke dalam mobil. Begitu duduk, dia langsung sibuk dengan ponselnya. Daniel masuk ke kursi pengemudi, dan sesaat kemudian mobil itu mulai bergerak meninggalkan bandara. “Pak Daniel,” kata Ariana memecah keheningan, “Aku menghubungi Bapak karena ingin bertemu Nicholas, dan berbicara langsung dengannya.”Daniel yang entah sudah berapa kali mendengar permintaan Ariana tetap menjaga fokusnya pada jalan di depannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Sesaat hening, hanya suara lembut mesin mobil yang terdengar.“Di mana keluargaku?” tanya Ariana kemudian dengan nada mendesak. “Pak Daniel pasti mengetahuinya.”Daniel
beberapa menit sebelumnya…, Daniel merasakan jantungnya berdebar kencang saat melihat Ariana meringis kesakitan di kursi belakang. Dia tidak menyangka, pengereman mendadak itu ternyata membuat wanita tuannya terluka. Melihat Ariana yang terus memegangi hidungnya, tingkat kepanikannya semakin besar. Ariana menyadari kepanikan yang perlahan muncul di wajah Daniel. Sebuah ide langsung terlintas di benaknya. Sambil mengerang seolah rasa sakitnya semakin parah, dia berkata, “Pak Daniel... aku tidak bisa merasakan hidungku lagi.” Nadanya terdengar lemah dan penuh penderitaan. Seakan itu adalah bencana nasional. "Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, Nyonya," kata Daniel, segera mengubah arah mobil menuju rumah sakit terdekat. Namun, Ariana segera menyela dengan suara lemah. “Aku tidak akan pergi ke rumah sakit. Kalau Bapak tetap memaksa, aku akan bilang kepada mereka bahwa Pak Daniel menculikku.” Daniel hampir tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ancaman Ar
Nicholas tersenyum tipis. “Kau milikku, Claire. Aku sudah pernah mengatakannya padamu, ‘aku tidak suka jika milikku disentuh oleh orang lain’." Ariana tersentak, dan mundur beberapa langkah, merasa seakan tubuhnya membeku. Ekspresi Nicholas sulit dibaca, matanya dingin tidak seperti sebelumnya, membuat Ariana bergidik. “Kau mengambil pekerjaanku, menyita rekeningku… kau ingin memaksaku kembali padamu, begitu kan?” Nicholas mengangkat alisnya, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Melihatmu kembali dengan sendirinya, bukankah cara itu efektif?” Ariana menelan ludah, tangan memeluk perutnya yang masih rata. ‘Aku kembali karena anak ini,’ pikirnya. Nicholas mendekatinya dengan langkah lambat. Ketika dia sudah cukup dekat, ada kilatan tajam di matanya, campuran antara frustrasi, keinginan, dan kemarahan yang tak lagi bisa dia sembunyikan. Tanpa peringatan, Nicholas meraih wajah Ariana dengan kedua tangannya, ibu jarinya menekan tulang pipinya dengan tegas. "Kenapa kau selalu
Kantor pusat Nathan Enterprises kini berada dalam keadaan Chaos. Berita penahanan Henry Nathan, Presiden Direktur, oleh pihak kejaksaan atas dugaan korupsi dan penipuan finansial telah mengguncang seluruh struktur perusahaan. Dalam hitungan jam, suasana di kantor berubah dari keteraturan menjadi kekacaoan Di berbagai lantai, karyawan berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, berbisik-bisik, dan bergosip dengan cemas tentang masa depan perusahaan yang artinya masa depan mereka juga. Beberapa aktivitas terhenti kecuali cleaning servis, mereka tetap menjalankan tugasnya bersih bersih seperti biasa. Beberapa karyawan tampak sibuk memeriksa berita di ponsel mereka, berharap menemukan klarifikasi atau mungkin bantahan atas tuduhan tersebut, namun yang mereka temukan justru spekulasi dan laporan yang semakin menambah berita negatif. Telepon di ruang eksekutif berdering tanpa henti. Panggilan dari media, mitra bisnis, dan investor membanjiri saluran komunikasi, menuntut penjelasan dan ke
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena