Maaf, agak lama tentant mbak Ariananya di mana, hehe.., karena harus menggambarkan kehidupan di pedalaman yang realistis.
Setelah mengetahui dirinya tengah mengandung anaknya Nicholas, Ariana duduk sendirian di sudut kamarnya. Ponselnya tergeletak di atas meja kayu sederhana di depannya. Jemarinya terus mengetuk- ngetuk layar ponsel itu, menelusuri kontak yang sudah dia simpan, Daniel. Nama itu terpampang di layar, seakan-akan menantangnya untuk segera membuat keputusan. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. Dia menyesali dirinya yang bisa-bisanya terjebak dalam perangkap Katrina. Kenapa dia membiarkan perasaannya dikendalikan oleh rasa cemburu. Jika saja dia tidak peduli, jika saja dia bisa mengabaikan Katrina. Dia tidak akan diculik dengan mudah. Berbagai emosi bercampur di dalam diri Ariana—kemarahan, ketakutan, kerinduan, dan penyesalan. Jantungnya berdebar keras, seperti mencoba menolak ketakutan yang mencengkeramnya. Takut jika Nicholas sudah tidak menyukainya lagi. ‘Nick… apa yang kau pikirkan? Apa yang kau rasakan?’ Ariana merasa marah, tapi jauh di lubuk h
Minggu ke 3. Di lantai dua belas gedung pencakar langit Silverline, ketegangan terasa begitu kuat. Di ruang rapat, para eksekutif senior duduk dalam diam. Di luar, langit diselimuti awan mendung, menambah suasana muram di dalam. Oliver, wajahnya kusut dengan kerutan yang semakin dalam, memecah keheningan. "Investor mulai menarik diri. Harga saham kita jatuh bebas. Jika kita tidak bertindak cepat, kita akan hancur." CFO Silverline, dengan tangan gemetar, menyerahkan laporan keuangan terbaru. "Ini adalah laporan terbaru dari bursa saham," katanya dengan suara serak. "Investor institusional sudah mulai menjual saham mereka secara massal. Kreditur kita juga semakin resah." Katrina, yang duduk di samping ayahnya, menatap layar ponsel yang penuh notifikasi dari para pemegang saham. Pesan-pesan yang masuk adalah permintaan penjelasan yang tidak bisa dia berikan. "Apa yang bisa kita lakukan?" suara Katrina gemetar, seolah berharap masih ada jalan keluar. Andrian, yang duduk dengan tata
Ariana memutuskan untuk pergi ke kota terdekat dan menetap di sana untuk sementara waktu. Bagaimana pun juga bayinya adalah prioritas utamanya. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayinya.Setelah Ariana kembali dari rumah sakit untuk pemeriksaan kandungannya, dia memutuskan untuk pergi ke minimarket di lantai dasar apartemen yang disewanya, untuk membeli beberapa barang keperluan. Andrian tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Mereka sama-sama berhenti. Ariana tertegun, tapi berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Andrian terdiam beberapa detik, tidak menyangka di saat dia menghilang untuk sementara malah bertemu dengan seseorang yang dikenalnya di provinsi kecil yang jauh dari tempat asal mereka."Bu Ariana?" suara Andrian terdengar sangat terkejut.Ariana berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya dia merasa panik. "Ya... Pak Andrian? Apa yang Bapak lakukan di sini?" jawab Ariana dengan nada tenang, meskipun dia tidak benar-benar ingin tahu jawabannya.Andrian tampak bing
Setelah Nicholas pergi meninggalkan ruangan keluarga, mata Rachel terus mengarah ke pintu tempat Nicholas menghilang. “Sayang, tidakkah kau merasakan putra kita berbeda?” tanya Rachel dengan suara pelan kepada Richard yang duduk di sebelahnya. Richard mencoba menenangkan istrinya. “Sayang, dia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Kau tahu, dia selalu serius menjalankan tanggung jawabnya. Ini sementara, dia akan kembali seperti biasa.” Namun, Rachel menggeleng, tampak tidak yakin. “Tidak, Richard. Sejak dia ingat semuanya ada yang berubah dengannya. Dia terlalu tenang, dan mendengarkan kita dengan patuh. Bukan kah itu terlalu aneh?” Richard menepuk tangan Rachel dengan lembut. "Nicholas telah melalui banyak hal—amnesia, ingatan yang kembali, semua pasti membingungkan. Tapi dia tetap putra kita." “Jangankan Clarissa sekretarisnya, Aku yang ibunya juga jadi takut dengannya,” gerutu Rachel. Sementara Richard berusaha menenangkan istrinya, kakek Henry mendengarkan percakapan mereka deng
Nicholas berjalan melewati koridor rumah sakit dengan langkah tenang. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, fokus pada tujuannya: menemui petugas kebersihan yang dikatakan menyelamatkannya saat insiden di gudang yang hampir merenggut nyawanya. Dia sudah memastikan bapak itu dipindahkan ke kamar perawatan terbaik di rumah sakit setelah mendengar bahwa kondisinya memburuk. Dia menderita gagal ginjal kronis.Nicholas melangkah masuk ke dalam kamar perawatan dengan wajah datar. Ruangan itu tenang, hanya suara alat medis yang memonitor kondisi petugas kebersihan tua yang terbaring di ranjang. Bapak itu sudah tampak lemah, tubuhnya menua, dengan sisa-sisa kesehatan yang perlahan menghilang. Petugas kebersihan itu membuka matanya perlahan saat mendengar pintu berderit. Pandangannya menatap Nicholas dengan kerutan di dahi, seolah mencoba mengingat sesuatu dari wajah pemuda di depannya."Siapa Anda?" tanyanya dengan suara serak, dipenuhi rasa penasaran dan kebingungan.Nicholas tanpa basa-basi, men
Ariana melangkah keluar dari jet pribadi dengan anggun. Di landasan, Daniel sudah menunggu dengan tenang di samping mobil hitam. Begitu melihat Ariana mendekat, dia membuka pintu mobil dan tersenyum tipis.“Terima kasih, Nyonya, telah membuat keputusan yang tepat dengan menghubungi saya,” ucap Daniel sopan, matanya memancarkan rasa hormat.Ariana hanya mengangguk singkat, lalu masuk ke dalam mobil. Begitu duduk, dia langsung sibuk dengan ponselnya. Daniel masuk ke kursi pengemudi, dan sesaat kemudian mobil itu mulai bergerak meninggalkan bandara. “Pak Daniel,” kata Ariana memecah keheningan, “Aku menghubungi Bapak karena ingin bertemu Nicholas, dan berbicara langsung dengannya.”Daniel yang entah sudah berapa kali mendengar permintaan Ariana tetap menjaga fokusnya pada jalan di depannya. Dia tidak mengatakan apa-apa. Sesaat hening, hanya suara lembut mesin mobil yang terdengar.“Di mana keluargaku?” tanya Ariana kemudian dengan nada mendesak. “Pak Daniel pasti mengetahuinya.”Daniel
beberapa menit sebelumnya…, Daniel merasakan jantungnya berdebar kencang saat melihat Ariana meringis kesakitan di kursi belakang. Dia tidak menyangka, pengereman mendadak itu ternyata membuat wanita tuannya terluka. Melihat Ariana yang terus memegangi hidungnya, tingkat kepanikannya semakin besar. Ariana menyadari kepanikan yang perlahan muncul di wajah Daniel. Sebuah ide langsung terlintas di benaknya. Sambil mengerang seolah rasa sakitnya semakin parah, dia berkata, “Pak Daniel... aku tidak bisa merasakan hidungku lagi.” Nadanya terdengar lemah dan penuh penderitaan. Seakan itu adalah bencana nasional. "Kita harus ke rumah sakit sekarang juga, Nyonya," kata Daniel, segera mengubah arah mobil menuju rumah sakit terdekat. Namun, Ariana segera menyela dengan suara lemah. “Aku tidak akan pergi ke rumah sakit. Kalau Bapak tetap memaksa, aku akan bilang kepada mereka bahwa Pak Daniel menculikku.” Daniel hampir tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ancaman Ar
Nicholas tersenyum tipis. “Kau milikku, Claire. Aku sudah pernah mengatakannya padamu, ‘aku tidak suka jika milikku disentuh oleh orang lain’." Ariana tersentak, dan mundur beberapa langkah, merasa seakan tubuhnya membeku. Ekspresi Nicholas sulit dibaca, matanya dingin tidak seperti sebelumnya, membuat Ariana bergidik. “Kau mengambil pekerjaanku, menyita rekeningku… kau ingin memaksaku kembali padamu, begitu kan?” Nicholas mengangkat alisnya, senyum kecil tersungging di bibirnya. “Melihatmu kembali dengan sendirinya, bukankah cara itu efektif?” Ariana menelan ludah, tangan memeluk perutnya yang masih rata. ‘Aku kembali karena anak ini,’ pikirnya. Nicholas mendekatinya dengan langkah lambat. Ketika dia sudah cukup dekat, ada kilatan tajam di matanya, campuran antara frustrasi, keinginan, dan kemarahan yang tak lagi bisa dia sembunyikan. Tanpa peringatan, Nicholas meraih wajah Ariana dengan kedua tangannya, ibu jarinya menekan tulang pipinya dengan tegas. "Kenapa kau selalu