Oliver, dengan senyum kemenangan, kembali ke kantornya setelah berhasil menipu Nicholas untuk mengakuisisi perusahaannya yang terbelit utang. Setibanya di kantor, dia disambut oleh tim hukumnya, termasuk Andrian, otak di balik rencana jahat itu. Andrian bertekad menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan Nicholas, sebagai bagian dari dendamnya terhadap Henry Nathan. Dia menargetkan Nicholas karena dia tahu bahwa pria itu adalah cucu satu-satunya yang dimiliki oleh Henry Nathan. Oliver duduk di kursi utama dan menyerahkan kontrak yang sudah ditandatangani kepada Andrian. "Sudah selesai," katanya penuh percaya diri. "Nicholas telah termakan umpan." Andrian, yang juga merasa puas, mengangguk dengan senyum dingin. "Bagus. Ini adalah langkah awal. Dengan Nicholas terganggu oleh perusahaan yang akan bangkrut ini, kita bisa menyerang inti bisnisnya dan menghancurkan semuanya." Namun, ketika Andrian mulai membaca kontrak tersebut dengan lebih teliti, senyumnya perlahan menghilang.
Oliver berdiri di hadapan putrinya, tangannya terkepal erat, menahan amarah yang sudah lama tertahan. "Katrina, apa yang sebenarnya kau lakukan? Sudah berapa lama kau mencoba merayu Nicholas, dan hasilnya? Bukannya dia jatuh ke dalam perangkap kita, dia malah semakin sulit dipahami!" Katrina duduk di kursi, bibirnya menyunggingkan senyum tipis meskipun jelas terlihat ada kegelisahan di matanya. Dia mencoba mengalihkan perhatian ayahnya dengan nada suaranya yang lembut, "Pah, tenanglah. Aku sudah melakukan semua yang aku bisa. Butuh waktu untuk membuatnya tunduk." Oliver tidak mau mendengar alasan. Dengan cepat, dia melangkah maju, menatap Katrina dengan kemarahan yang terpancar jelas di wajahnya. "Waktu? Berapa banyak lagi waktu yang harus kita buang, Katrina? Kita sudah kehilangan banyak kesempatan karena kelemahanmu! Dia seharusnya sudah menjadi milik kita, mengendalikan semua yang kita inginkan, tapi kau malah membiarkan dia bermain-main dengan kita!" Katrina merasakan kepanikan
Setelah meninggalkan Katrina di ruangannya, Nicholas berjalan cepat menuju meja Clarissa. Wajahnya kembali ke ekspresi dingin dan tanpa kompromi, seperti topeng baja yang tidak menunjukkan tanda-tanda emosi. Clarissa baru saja kembali dari pantry saat Nicholas tiba di mejanya. Melihat bosnya yang mendekat, dia tersenyum ramah. Namun, senyumnya segera memudar saat dia menangkap tatapan tajam dari Nicholas. Dia tahu sesuatu telah terjadi."Pak Nicholas, ada yang bisa saya bantu?" tanya Clarissa dengan suara sedikit gemetar, mencoba mempertahankan profesionalismenya meski dia bisa merasakan kemarahan yang tak kasat mata dari bosnya. “Clarissa,” kata Nicholas, suaranya sedingin es, setiap kata terucap dengan kejam. "Kau tahu apa yang paling kubenci?"Clarissa menelan ludahnya dengan susah payah. "Tidak, Pak Nicholas," jawabnya pelan, suaranya bergetar.“Ketidakmampuan,” kata Nicholas, suaranya semakin rendah, namun semakin tajam. “Ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan yang sederhana,
Ariana duduk dengan tenang di kursi penumpang mobil ambulan yang berguncang-guncang, sementara Maya, duduk di sebelahnya dengan ekspresi putus asa. “Aduh, rambutku jadi berantakan lagi,” keluh Maya sambil merapikan poni dan memasang wajah kesal. Ariana hanya tersenyum tipis. “Maya, kau sudah bilang itu sepuluh kali dalam satu jam,” ujarnya lembut, menahan tawa. “Ya ampun, Ariana! Kau sih sudah terbiasa hidup di pedalaman. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tenang-tenang saja!” Maya terus merapikan rambutnya yang berantakan karena hembusan angin kencang yang masuk dari jendela mobil yang dibiarkan terbuka lebar. “Sebenarnya, ini juga pertama kalinya bagiku,” balas Ariana dengan sedikit frustasi. Mereka baru saja kembali dari pasar di kota yang sebenarnya juga tidak bisa disebut kota, perjalanan mingguan yang menjadi satu-satunya cara mereka untuk mendapatkan bahan kebutuhan sehari-hari, tentu dengan kenderaan ambulan yang selalu tersedia di sebelah rumah mereka. Jalanan tanah
Setelah mengetahui dirinya tengah mengandung anaknya Nicholas, Ariana duduk sendirian di sudut kamarnya. Ponselnya tergeletak di atas meja kayu sederhana di depannya. Jemarinya terus mengetuk- ngetuk layar ponsel itu, menelusuri kontak yang sudah dia simpan, Daniel. Nama itu terpampang di layar, seakan-akan menantangnya untuk segera membuat keputusan. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. Dia menyesali dirinya yang bisa-bisanya terjebak dalam perangkap Katrina. Kenapa dia membiarkan perasaannya dikendalikan oleh rasa cemburu. Jika saja dia tidak peduli, jika saja dia bisa mengabaikan Katrina. Dia tidak akan diculik dengan mudah. Berbagai emosi bercampur di dalam diri Ariana—kemarahan, ketakutan, kerinduan, dan penyesalan. Jantungnya berdebar keras, seperti mencoba menolak ketakutan yang mencengkeramnya. Takut jika Nicholas sudah tidak menyukainya lagi. ‘Nick… apa yang kau pikirkan? Apa yang kau rasakan?’ Ariana merasa marah, tapi jauh di lubuk h
Minggu ke 3. Di lantai dua belas gedung pencakar langit Silverline, ketegangan terasa begitu kuat. Di ruang rapat, para eksekutif senior duduk dalam diam. Di luar, langit diselimuti awan mendung, menambah suasana muram di dalam. Oliver, wajahnya kusut dengan kerutan yang semakin dalam, memecah keheningan. "Investor mulai menarik diri. Harga saham kita jatuh bebas. Jika kita tidak bertindak cepat, kita akan hancur." CFO Silverline, dengan tangan gemetar, menyerahkan laporan keuangan terbaru. "Ini adalah laporan terbaru dari bursa saham," katanya dengan suara serak. "Investor institusional sudah mulai menjual saham mereka secara massal. Kreditur kita juga semakin resah." Katrina, yang duduk di samping ayahnya, menatap layar ponsel yang penuh notifikasi dari para pemegang saham. Pesan-pesan yang masuk adalah permintaan penjelasan yang tidak bisa dia berikan. "Apa yang bisa kita lakukan?" suara Katrina gemetar, seolah berharap masih ada jalan keluar. Andrian, yang duduk dengan tata
Ariana memutuskan untuk pergi ke kota terdekat dan menetap di sana untuk sementara waktu. Bagaimana pun juga bayinya adalah prioritas utamanya. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayinya.Setelah Ariana kembali dari rumah sakit untuk pemeriksaan kandungannya, dia memutuskan untuk pergi ke minimarket di lantai dasar apartemen yang disewanya, untuk membeli beberapa barang keperluan. Andrian tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Mereka sama-sama berhenti. Ariana tertegun, tapi berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Andrian terdiam beberapa detik, tidak menyangka di saat dia menghilang untuk sementara malah bertemu dengan seseorang yang dikenalnya di provinsi kecil yang jauh dari tempat asal mereka."Bu Ariana?" suara Andrian terdengar sangat terkejut.Ariana berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya dia merasa panik. "Ya... Pak Andrian? Apa yang Bapak lakukan di sini?" jawab Ariana dengan nada tenang, meskipun dia tidak benar-benar ingin tahu jawabannya.Andrian tampak bing
Setelah Nicholas pergi meninggalkan ruangan keluarga, mata Rachel terus mengarah ke pintu tempat Nicholas menghilang. “Sayang, tidakkah kau merasakan putra kita berbeda?” tanya Rachel dengan suara pelan kepada Richard yang duduk di sebelahnya. Richard mencoba menenangkan istrinya. “Sayang, dia hanya sibuk dengan pekerjaannya. Kau tahu, dia selalu serius menjalankan tanggung jawabnya. Ini sementara, dia akan kembali seperti biasa.” Namun, Rachel menggeleng, tampak tidak yakin. “Tidak, Richard. Sejak dia ingat semuanya ada yang berubah dengannya. Dia terlalu tenang, dan mendengarkan kita dengan patuh. Bukan kah itu terlalu aneh?” Richard menepuk tangan Rachel dengan lembut. "Nicholas telah melalui banyak hal—amnesia, ingatan yang kembali, semua pasti membingungkan. Tapi dia tetap putra kita." “Jangankan Clarissa sekretarisnya, Aku yang ibunya juga jadi takut dengannya,” gerutu Rachel. Sementara Richard berusaha menenangkan istrinya, kakek Henry mendengarkan percakapan mereka deng