Sudah sebulan sejak Daniel melaporkan kepada Nicholas bahwa Zeyn bersama Ariana. Pertanyaan yang terus menghantui pikirannya, apakah program kehamilan mereka berhasil? Apakah anaknya tumbuh dengan baik di rahim Ariana? Kecemasan itu selalu ada di sudut pikirannya, meskipun dia tak pernah menunjukkannya. “Tuan, kami masih belum menemukan lokasi Nyonya,” lapor Daniel dengan suara tegas namun tenang. Nicholas tidak mengalihkan pandangannya dari layar tabletnya, matanya tetap fokus pada data yang di depannya. “Atur pertemuanku dengan anak itu nanti sore,” jawabnya dingin, tanpa ada emosi yang tersirat dari nada suaranya. Daniel mengangguk tanpa sepatah kata, meskipun Nicholas tidak menoleh ke arahnya. Dia tahu, ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya lebih jauh. “Apakah semuanya sudah siap?” tanya Nicholas, suaranya terdengar datar. “Sudah, Tuan. Tuan Oliver Bahri sudah menunggu Anda di ruang rapat,” jawab Daniel singkat, Pagi itu, Nicholas bersiap untuk pertemuan penting denga
Oliver, dengan senyum kemenangan, kembali ke kantornya setelah berhasil menipu Nicholas untuk mengakuisisi perusahaannya yang terbelit utang. Setibanya di kantor, dia disambut oleh tim hukumnya, termasuk Andrian, otak di balik rencana jahat itu. Andrian bertekad menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan Nicholas, sebagai bagian dari dendamnya terhadap Henry Nathan. Dia menargetkan Nicholas karena dia tahu bahwa pria itu adalah cucu satu-satunya yang dimiliki oleh Henry Nathan. Oliver duduk di kursi utama dan menyerahkan kontrak yang sudah ditandatangani kepada Andrian. "Sudah selesai," katanya penuh percaya diri. "Nicholas telah termakan umpan." Andrian, yang juga merasa puas, mengangguk dengan senyum dingin. "Bagus. Ini adalah langkah awal. Dengan Nicholas terganggu oleh perusahaan yang akan bangkrut ini, kita bisa menyerang inti bisnisnya dan menghancurkan semuanya." Namun, ketika Andrian mulai membaca kontrak tersebut dengan lebih teliti, senyumnya perlahan menghilang.
Oliver berdiri di hadapan putrinya, tangannya terkepal erat, menahan amarah yang sudah lama tertahan. "Katrina, apa yang sebenarnya kau lakukan? Sudah berapa lama kau mencoba merayu Nicholas, dan hasilnya? Bukannya dia jatuh ke dalam perangkap kita, dia malah semakin sulit dipahami!" Katrina duduk di kursi, bibirnya menyunggingkan senyum tipis meskipun jelas terlihat ada kegelisahan di matanya. Dia mencoba mengalihkan perhatian ayahnya dengan nada suaranya yang lembut, "Pah, tenanglah. Aku sudah melakukan semua yang aku bisa. Butuh waktu untuk membuatnya tunduk." Oliver tidak mau mendengar alasan. Dengan cepat, dia melangkah maju, menatap Katrina dengan kemarahan yang terpancar jelas di wajahnya. "Waktu? Berapa banyak lagi waktu yang harus kita buang, Katrina? Kita sudah kehilangan banyak kesempatan karena kelemahanmu! Dia seharusnya sudah menjadi milik kita, mengendalikan semua yang kita inginkan, tapi kau malah membiarkan dia bermain-main dengan kita!" Katrina merasakan kepanikan
Setelah meninggalkan Katrina di ruangannya, Nicholas berjalan cepat menuju meja Clarissa. Wajahnya kembali ke ekspresi dingin dan tanpa kompromi, seperti topeng baja yang tidak menunjukkan tanda-tanda emosi. Clarissa baru saja kembali dari pantry saat Nicholas tiba di mejanya. Melihat bosnya yang mendekat, dia tersenyum ramah. Namun, senyumnya segera memudar saat dia menangkap tatapan tajam dari Nicholas. Dia tahu sesuatu telah terjadi."Pak Nicholas, ada yang bisa saya bantu?" tanya Clarissa dengan suara sedikit gemetar, mencoba mempertahankan profesionalismenya meski dia bisa merasakan kemarahan yang tak kasat mata dari bosnya. “Clarissa,” kata Nicholas, suaranya sedingin es, setiap kata terucap dengan kejam. "Kau tahu apa yang paling kubenci?"Clarissa menelan ludahnya dengan susah payah. "Tidak, Pak Nicholas," jawabnya pelan, suaranya bergetar.“Ketidakmampuan,” kata Nicholas, suaranya semakin rendah, namun semakin tajam. “Ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan yang sederhana,
Ariana duduk dengan tenang di kursi penumpang mobil ambulan yang berguncang-guncang, sementara Maya, duduk di sebelahnya dengan ekspresi putus asa. “Aduh, rambutku jadi berantakan lagi,” keluh Maya sambil merapikan poni dan memasang wajah kesal. Ariana hanya tersenyum tipis. “Maya, kau sudah bilang itu sepuluh kali dalam satu jam,” ujarnya lembut, menahan tawa. “Ya ampun, Ariana! Kau sih sudah terbiasa hidup di pedalaman. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tenang-tenang saja!” Maya terus merapikan rambutnya yang berantakan karena hembusan angin kencang yang masuk dari jendela mobil yang dibiarkan terbuka lebar. “Sebenarnya, ini juga pertama kalinya bagiku,” balas Ariana dengan sedikit frustasi. Mereka baru saja kembali dari pasar di kota yang sebenarnya juga tidak bisa disebut kota, perjalanan mingguan yang menjadi satu-satunya cara mereka untuk mendapatkan bahan kebutuhan sehari-hari, tentu dengan kenderaan ambulan yang selalu tersedia di sebelah rumah mereka. Jalanan tanah
Setelah mengetahui dirinya tengah mengandung anaknya Nicholas, Ariana duduk sendirian di sudut kamarnya. Ponselnya tergeletak di atas meja kayu sederhana di depannya. Jemarinya terus mengetuk- ngetuk layar ponsel itu, menelusuri kontak yang sudah dia simpan, Daniel. Nama itu terpampang di layar, seakan-akan menantangnya untuk segera membuat keputusan. "Apa yang harus aku lakukan?" gumamnya pelan, hampir tidak terdengar. Dia menyesali dirinya yang bisa-bisanya terjebak dalam perangkap Katrina. Kenapa dia membiarkan perasaannya dikendalikan oleh rasa cemburu. Jika saja dia tidak peduli, jika saja dia bisa mengabaikan Katrina. Dia tidak akan diculik dengan mudah. Berbagai emosi bercampur di dalam diri Ariana—kemarahan, ketakutan, kerinduan, dan penyesalan. Jantungnya berdebar keras, seperti mencoba menolak ketakutan yang mencengkeramnya. Takut jika Nicholas sudah tidak menyukainya lagi. ‘Nick… apa yang kau pikirkan? Apa yang kau rasakan?’ Ariana merasa marah, tapi jauh di lubuk h
Minggu ke 3. Di lantai dua belas gedung pencakar langit Silverline, ketegangan terasa begitu kuat. Di ruang rapat, para eksekutif senior duduk dalam diam. Di luar, langit diselimuti awan mendung, menambah suasana muram di dalam. Oliver, wajahnya kusut dengan kerutan yang semakin dalam, memecah keheningan. "Investor mulai menarik diri. Harga saham kita jatuh bebas. Jika kita tidak bertindak cepat, kita akan hancur." CFO Silverline, dengan tangan gemetar, menyerahkan laporan keuangan terbaru. "Ini adalah laporan terbaru dari bursa saham," katanya dengan suara serak. "Investor institusional sudah mulai menjual saham mereka secara massal. Kreditur kita juga semakin resah." Katrina, yang duduk di samping ayahnya, menatap layar ponsel yang penuh notifikasi dari para pemegang saham. Pesan-pesan yang masuk adalah permintaan penjelasan yang tidak bisa dia berikan. "Apa yang bisa kita lakukan?" suara Katrina gemetar, seolah berharap masih ada jalan keluar. Andrian, yang duduk dengan tata
Ariana memutuskan untuk pergi ke kota terdekat dan menetap di sana untuk sementara waktu. Bagaimana pun juga bayinya adalah prioritas utamanya. Dia tidak ingin terjadi apa-apa dengan bayinya.Setelah Ariana kembali dari rumah sakit untuk pemeriksaan kandungannya, dia memutuskan untuk pergi ke minimarket di lantai dasar apartemen yang disewanya, untuk membeli beberapa barang keperluan. Andrian tiba-tiba muncul dari arah yang berlawanan. Mereka sama-sama berhenti. Ariana tertegun, tapi berusaha menyembunyikan keterkejutannya. Andrian terdiam beberapa detik, tidak menyangka di saat dia menghilang untuk sementara malah bertemu dengan seseorang yang dikenalnya di provinsi kecil yang jauh dari tempat asal mereka."Bu Ariana?" suara Andrian terdengar sangat terkejut.Ariana berusaha tetap tenang, meski dalam hatinya dia merasa panik. "Ya... Pak Andrian? Apa yang Bapak lakukan di sini?" jawab Ariana dengan nada tenang, meskipun dia tidak benar-benar ingin tahu jawabannya.Andrian tampak bing
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena