Kakek berdehem, “Rachel, jangan membuat Zeyn tidak nyaman,” tegur Kakek Nicholas. “Maaf, Pi.” balas Rachel. Dia kembali melihat Zeyn, “Zeyn makanlah yang banyak, ini semua Tante yang masak.” Zeyn mengangguk hormat. Melihat Zeyn yang tidak nyaman dengan rentetan pertanyaan, Richard mengambil ahli obrolan dengan membahas politik di negara mereka yang tidak akan ada penyelesaiannya. Setelah makan malam selesai, Kakek Henry dengan ramah meminta Zeyn dan ibunya, Saraswati, untuk menginap. Meskipun merasa sedikit tidak nyaman, Saraswati menyetujui permintaan tersebut karena merasa segan menolak keramahan keluarga besar suaminya. Kakek dan Nenek dengan senang hati menunjukkan kamar yang telah disiapkan untuk Zeyn dan Saraswati, memastikan mereka suka dengan kamarnya sebelum kembali ke ruang keluarga. "Kalian juga istirahatlah," ujar Kakek Henry kepada Richard dan keluarganya. Nenek pun mengangguk dan menambahkan, “Kalian juga akan menginap, kan?" “Tidak, Mom. Kami akan pulang seb
Mobil yang membawa meraka akhirnya tiba dan berhenti di halaman rumah mereka. Nicholas mematikan layar tabletnya dan menoleh ke arah Ariana. “Apakah kau cukup dekat dengan semua mahasiswamu? apakah semua mahasiswa dengan begitu bebas bisa chattingan denganmu?” tanyanya dengan ngegas. “Aku tidak perlu menjelaskannya kepadamu,” jawab Ariana singkat. Tidak mendapatkan jawaban dari Ariana, Nicholas mengancam, “aku tidak akan bertanya, jika kau hanya berdiam diri di rumah. Perlukah seperti itu?” Ancaman itu berhasil membuat Ariana menjawab dengan benar. “Hanya sebatas masalah akademik, aku tidak melayani obrolan lain.” Ariana membuka pintu mobil dan bersiap turun. Namun, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Nicholas yang masih duduk dengan santai di dalam mobil. Apakah dia akan pergi lagi? “Kau tidak turun?” tanya Ariana. “Aku bisa mengartikan pertanyaanmu sebagai ajakan tidur,” balasnya dengan nada menggoda. ‘Hah? Mengapa dari tadi selalu salah tanya?’ Pikir Ariana. “Ak
Duduk di kursi meja dapur, Ariana kembali melihat ponselnya. Pesannya tadi malam belum dibalas oleh Nicholas. Dengan perasaan gelisah, dia bertanya kepada Bibi Helen yang sedang merapikan meja. “Bibi, apakah Nicholas tadi malam pulang?” Bibi Helen menjawab sambil mengangguk, "Iya, Nyonya. Tuan pulang sekitar jam tiga pagi." Ariana mengangguk, memutuskan untuk menunggu Nicholas turun ke dapur. Dia ingin membicarakan sesuatu. Tetapi Nicholas tidak kunjung turun, tidak biasanya pria itu bangun kesiangan. Setelah menunggu beberapa lama, dia jadi penasaran. Ariana memutuskan untuk pergi ke kamar Nicholas. Dengan hati-hati, dia mengetuk pintu, dan membuka pintu perlahan. Dia mendengar suara napas berat dari dalam, dan melihat Nicholas masih berbaring di ranjang, wajahnya tampak pucat dan berkeringat. Napasnya terdengar tidak beraturan. "Nick?" Ariana memanggil dengan cemas sambil mendekati ranjang. Dia meletakkan punggung tangannya di kening Nicholas dan merasakan panas. "Dia de
Nicholas memimpin jalan menuju ruang kerjanya, diikuti oleh Ariana yang tampak ragu-ragu. Meja kerja Nicholas yang besar, penuh dokumen dan sebuah PC di atasnya, menjadi penghalang di antara mereka. Nicholas duduk di kursinya, tatapannya serius dan penuh perhatian pada Ariana. "Duduklah," katanya sambil menunjuk kursi di seberang meja. Ariana menuruti perintah itu. Dia duduk dengan tenang, namun matanya tak lepas dari Nicholas, mencari petunjuk dari ekspresi wajah Nicholas. “Kau sudah sembuh? Tidak demam lagi?” tanya Ariana dengan nada penuh perhatian. Nicholas menghela napas berat, "Aku hanya perlu istirahat setelah dua hari tidak cukup tidur, tapi ada tangan seseorang yang tidak bisa membiarkanku tidur dengan tenang." Dia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kelelahan di balik candaan. “Padahal semalam dia memintaku untuk istirahat di rumah dengan tenang.” Mendengar penjelasan Nicholas yang menyindirnya, Ariana mencoba mengalihkan pandangannya, mencari sesuatu untuk dijad
Ariana menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Apakah kau benar-benar tidak mengingat apapun?" Nicholas menatapnya dengan tajam, mencoba membaca apa yang ada di balik pertanyaan itu. "Mengapa kau begitu ingin tahu? Apakah kau ingin mengatakan bahwa kita pernah berpacaran?" Nicholas tertawa kecil. "Aku yakin itu tidak mungkin. Meski aku tidak mengingat apa pun, aku tahu diriku sendiri. Aku tidak tertarik dengan hubungan semacam itu." Ariana terlihat bingung sejenak, lalu tertawa kecil. “Iya benar,’ katanya membenarkan. “Kau mengekslusifkan dirimu, bukan hanya karena keluargamu, tapi juga karena aura yang kau pancarkan. Kau seperti hidup di dunia lain." Nicholas menatap Ariana, seolah mencari masa lalunya yang terlupakan. "Aku... begitukah?" Ariana mengangguk, perlahan-lahan dia mengenang. "Kau selalu tampak dingin dan menjaga jarak. Seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkanmu dari orang lain. Banyak yang mengagumimu, tapi sedikit yang berani men
Sesampainya di kamar, Nicholas menutup pintu dengan kakinya, menatap Ariana dengan sorot mata yang penuh keinginan. Dia menurunkan Ariana dengan hati-hati di atas tempat tidur, tetapi bukannya mendarat dengan lembut, kakinya tersandung karpet tebal di lantai, membuat mereka berdua terjatuh ke atas kasur dengan canggung. “Maaf,” ucap Nicholas. “Tidak apa-apa,” balas Ariana gugup. "Aku terlalu bersemangat." Nicholas tersenyum menggoda. Dia menatap Ariana dengan lembut, lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Ariana dengan penuh perasaan. Cumbuan mereka semakin dalam, rasa rindu yang terpendam di antara mereka diungkapkan dalam setiap sentuhan. Nicholas kemudian menarik diri sebentar untuk melepaskan kaosnya dan membuangnya ke lantai, memperlihatkan tubuh atletisnya. Mata Ariana berkilat nakal melihatnya. Dengan mata yang berbinar penuh keinginan, Nicholas mendekati Ariana, meraih resleting di belakang pakaian Ariana. Dia menariknya dengan penuh semangat, tetapi tiba-tiba
Ariana tiba di kantor Andrian, kantor firma hukum yang terletak di pusat kota. Bangunan bergaya modern dengan kaca yang mengilap dan desain minimalis. Ariana melangkah masuk, disambut oleh resepsionis yang sopan, yang kemudian mengarahkan dia ke ruang tunggu yang nyaman. Andrian segera menemui Ariana. Mereka berjalan ke kantornya yang luas dan terang. "Silakan duduk, Bu Ariana," kata Andrian dengan nada formal sambil mempersilakan Ariana duduk di kursi kulit di depan mejanya. "Terima kasih, Pak Andrian," jawab Ariana, duduk dengan gugup. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Saya ingin meminta maaf karena telah merepotkan Pak Andrian selama ini. Dan saya sangat menghargai semua bantuan Pak Andrian. Saya akan membayar semua kerugian yang telah Bapak alami karena masalah saya ini." Andrian mengamati wajah Ariana dengan cermat, mencari tanda-tanda keraguan atau kelemahan. "Tidak perlu minta maaf, Bu Ariana. Saya senang bisa membantu. Tapi, kerugian apa yang Bu Ariana
Ariana mengangkat telepon dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menghadapi suaminya yang agak-agak terkadang. "Halo, Nick," sapa Ariana dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia sedikit khawatir tentang apa yang akan dibicarakan Nicholas kali ini. "Halo, Claire. Kau sudah selesai bertemu dokter?" suara Nicholas terdengar ringan namun ada nada serius di baliknya. "Aku baru saja keluar dari klinik. Ada apa?" tanya Ariana sambil memasang sabuk pengaman. "Aku harap kau siap untuk bertanggung jawab," kata Nicholas dengan nada tegas. Ariana terkejut, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Bertanggung jawab? Maksudmu apa?" "Aku mendapat masalah besar sekarang, dan itu semua karena kau," jawab Nicholas dengan nada yang serius. Ariana merasakan paru-parunya kehabisan oksigen. "Masalah apa? Apa yang terjadi?" Nicholas menahan tawanya di ujung telepon. "Karena kau, aku tidak bisa konsentrasi sama sekali hari ini. Semua pekerjaan jadi
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena