Ariana dan Rachel, benar-benar memasak di dapur rumah kakek Henry, menyiapkan makan malam untuk menyambut Zeyn. Dua orang pelayan turut membantu mereka. Setelah makanan siap dan para pelayan mulai membereskan dapur, Ariana dan Rachel pun pergi membersihkan diri mereka. Rachel menyeka tangannya dengan handuk, dan Ariana dengan hati-hati memulai percakapan yang sudah lama dipendamnya setelah hanya ada mereka berdua. "Maaf, Bu," katanya dengan suara pelan namun masih jelas didengar. Rachel melirik Ariana sekilas, mengangkat alisnya. "Apa yang membuatmu berani menentangku untuk tetap bercerai?" tanyanya datar. Ariana menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberaniannya. "Ibu, maaf jika Ariana bersikap egois." Rachel diam, membiarkan kenangan tujuh tahun lalu melintas di benaknya. Saat itu, dia mendapat kabar putranya tidak sadarkan diri di rumah sakit. Sesampainya di rumah sakit, Rachel menemukan Katrina, teman sekelas Nicholas, yang terlihat sangat khawatir. Rachel menghela napa
Kakek berdehem, “Rachel, jangan membuat Zeyn tidak nyaman,” tegur Kakek Nicholas. “Maaf, Pi.” balas Rachel. Dia kembali melihat Zeyn, “Zeyn makanlah yang banyak, ini semua Tante yang masak.” Zeyn mengangguk hormat. Melihat Zeyn yang tidak nyaman dengan rentetan pertanyaan, Richard mengambil ahli obrolan dengan membahas politik di negara mereka yang tidak akan ada penyelesaiannya. Setelah makan malam selesai, Kakek Henry dengan ramah meminta Zeyn dan ibunya, Saraswati, untuk menginap. Meskipun merasa sedikit tidak nyaman, Saraswati menyetujui permintaan tersebut karena merasa segan menolak keramahan keluarga besar suaminya. Kakek dan Nenek dengan senang hati menunjukkan kamar yang telah disiapkan untuk Zeyn dan Saraswati, memastikan mereka suka dengan kamarnya sebelum kembali ke ruang keluarga. "Kalian juga istirahatlah," ujar Kakek Henry kepada Richard dan keluarganya. Nenek pun mengangguk dan menambahkan, “Kalian juga akan menginap, kan?" “Tidak, Mom. Kami akan pulang seb
Mobil yang membawa meraka akhirnya tiba dan berhenti di halaman rumah mereka. Nicholas mematikan layar tabletnya dan menoleh ke arah Ariana. “Apakah kau cukup dekat dengan semua mahasiswamu? apakah semua mahasiswa dengan begitu bebas bisa chattingan denganmu?” tanyanya dengan ngegas. “Aku tidak perlu menjelaskannya kepadamu,” jawab Ariana singkat. Tidak mendapatkan jawaban dari Ariana, Nicholas mengancam, “aku tidak akan bertanya, jika kau hanya berdiam diri di rumah. Perlukah seperti itu?” Ancaman itu berhasil membuat Ariana menjawab dengan benar. “Hanya sebatas masalah akademik, aku tidak melayani obrolan lain.” Ariana membuka pintu mobil dan bersiap turun. Namun, dia berhenti sejenak dan menoleh ke arah Nicholas yang masih duduk dengan santai di dalam mobil. Apakah dia akan pergi lagi? “Kau tidak turun?” tanya Ariana. “Aku bisa mengartikan pertanyaanmu sebagai ajakan tidur,” balasnya dengan nada menggoda. ‘Hah? Mengapa dari tadi selalu salah tanya?’ Pikir Ariana. “Ak
Duduk di kursi meja dapur, Ariana kembali melihat ponselnya. Pesannya tadi malam belum dibalas oleh Nicholas. Dengan perasaan gelisah, dia bertanya kepada Bibi Helen yang sedang merapikan meja. “Bibi, apakah Nicholas tadi malam pulang?” Bibi Helen menjawab sambil mengangguk, "Iya, Nyonya. Tuan pulang sekitar jam tiga pagi." Ariana mengangguk, memutuskan untuk menunggu Nicholas turun ke dapur. Dia ingin membicarakan sesuatu. Tetapi Nicholas tidak kunjung turun, tidak biasanya pria itu bangun kesiangan. Setelah menunggu beberapa lama, dia jadi penasaran. Ariana memutuskan untuk pergi ke kamar Nicholas. Dengan hati-hati, dia mengetuk pintu, dan membuka pintu perlahan. Dia mendengar suara napas berat dari dalam, dan melihat Nicholas masih berbaring di ranjang, wajahnya tampak pucat dan berkeringat. Napasnya terdengar tidak beraturan. "Nick?" Ariana memanggil dengan cemas sambil mendekati ranjang. Dia meletakkan punggung tangannya di kening Nicholas dan merasakan panas. "Dia de
Nicholas memimpin jalan menuju ruang kerjanya, diikuti oleh Ariana yang tampak ragu-ragu. Meja kerja Nicholas yang besar, penuh dokumen dan sebuah PC di atasnya, menjadi penghalang di antara mereka. Nicholas duduk di kursinya, tatapannya serius dan penuh perhatian pada Ariana. "Duduklah," katanya sambil menunjuk kursi di seberang meja. Ariana menuruti perintah itu. Dia duduk dengan tenang, namun matanya tak lepas dari Nicholas, mencari petunjuk dari ekspresi wajah Nicholas. “Kau sudah sembuh? Tidak demam lagi?” tanya Ariana dengan nada penuh perhatian. Nicholas menghela napas berat, "Aku hanya perlu istirahat setelah dua hari tidak cukup tidur, tapi ada tangan seseorang yang tidak bisa membiarkanku tidur dengan tenang." Dia tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kelelahan di balik candaan. “Padahal semalam dia memintaku untuk istirahat di rumah dengan tenang.” Mendengar penjelasan Nicholas yang menyindirnya, Ariana mencoba mengalihkan pandangannya, mencari sesuatu untuk dijad
Ariana menarik napas dalam-dalam, seolah sedang mengumpulkan keberanian. "Apakah kau benar-benar tidak mengingat apapun?" Nicholas menatapnya dengan tajam, mencoba membaca apa yang ada di balik pertanyaan itu. "Mengapa kau begitu ingin tahu? Apakah kau ingin mengatakan bahwa kita pernah berpacaran?" Nicholas tertawa kecil. "Aku yakin itu tidak mungkin. Meski aku tidak mengingat apa pun, aku tahu diriku sendiri. Aku tidak tertarik dengan hubungan semacam itu." Ariana terlihat bingung sejenak, lalu tertawa kecil. “Iya benar,’ katanya membenarkan. “Kau mengekslusifkan dirimu, bukan hanya karena keluargamu, tapi juga karena aura yang kau pancarkan. Kau seperti hidup di dunia lain." Nicholas menatap Ariana, seolah mencari masa lalunya yang terlupakan. "Aku... begitukah?" Ariana mengangguk, perlahan-lahan dia mengenang. "Kau selalu tampak dingin dan menjaga jarak. Seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkanmu dari orang lain. Banyak yang mengagumimu, tapi sedikit yang berani men
Sesampainya di kamar, Nicholas menutup pintu dengan kakinya, menatap Ariana dengan sorot mata yang penuh keinginan. Dia menurunkan Ariana dengan hati-hati di atas tempat tidur, tetapi bukannya mendarat dengan lembut, kakinya tersandung karpet tebal di lantai, membuat mereka berdua terjatuh ke atas kasur dengan canggung. “Maaf,” ucap Nicholas. “Tidak apa-apa,” balas Ariana gugup. "Aku terlalu bersemangat." Nicholas tersenyum menggoda. Dia menatap Ariana dengan lembut, lalu mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir Ariana dengan penuh perasaan. Cumbuan mereka semakin dalam, rasa rindu yang terpendam di antara mereka diungkapkan dalam setiap sentuhan. Nicholas kemudian menarik diri sebentar untuk melepaskan kaosnya dan membuangnya ke lantai, memperlihatkan tubuh atletisnya. Mata Ariana berkilat nakal melihatnya. Dengan mata yang berbinar penuh keinginan, Nicholas mendekati Ariana, meraih resleting di belakang pakaian Ariana. Dia menariknya dengan penuh semangat, tetapi tiba-tiba
Ariana tiba di kantor Andrian, kantor firma hukum yang terletak di pusat kota. Bangunan bergaya modern dengan kaca yang mengilap dan desain minimalis. Ariana melangkah masuk, disambut oleh resepsionis yang sopan, yang kemudian mengarahkan dia ke ruang tunggu yang nyaman. Andrian segera menemui Ariana. Mereka berjalan ke kantornya yang luas dan terang. "Silakan duduk, Bu Ariana," kata Andrian dengan nada formal sambil mempersilakan Ariana duduk di kursi kulit di depan mejanya. "Terima kasih, Pak Andrian," jawab Ariana, duduk dengan gugup. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Saya ingin meminta maaf karena telah merepotkan Pak Andrian selama ini. Dan saya sangat menghargai semua bantuan Pak Andrian. Saya akan membayar semua kerugian yang telah Bapak alami karena masalah saya ini." Andrian mengamati wajah Ariana dengan cermat, mencari tanda-tanda keraguan atau kelemahan. "Tidak perlu minta maaf, Bu Ariana. Saya senang bisa membantu. Tapi, kerugian apa yang Bu Ariana