Ariana tiba di kantor Andrian, kantor firma hukum yang terletak di pusat kota. Bangunan bergaya modern dengan kaca yang mengilap dan desain minimalis. Ariana melangkah masuk, disambut oleh resepsionis yang sopan, yang kemudian mengarahkan dia ke ruang tunggu yang nyaman. Andrian segera menemui Ariana. Mereka berjalan ke kantornya yang luas dan terang. "Silakan duduk, Bu Ariana," kata Andrian dengan nada formal sambil mempersilakan Ariana duduk di kursi kulit di depan mejanya. "Terima kasih, Pak Andrian," jawab Ariana, duduk dengan gugup. Dia mengambil napas dalam-dalam sebelum berbicara. "Saya ingin meminta maaf karena telah merepotkan Pak Andrian selama ini. Dan saya sangat menghargai semua bantuan Pak Andrian. Saya akan membayar semua kerugian yang telah Bapak alami karena masalah saya ini." Andrian mengamati wajah Ariana dengan cermat, mencari tanda-tanda keraguan atau kelemahan. "Tidak perlu minta maaf, Bu Ariana. Saya senang bisa membantu. Tapi, kerugian apa yang Bu Ariana
Ariana mengangkat telepon dan menyandarkan kepalanya di sandaran kursi, mencoba mengumpulkan tenaga untuk menghadapi suaminya yang agak-agak terkadang. "Halo, Nick," sapa Ariana dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia sedikit khawatir tentang apa yang akan dibicarakan Nicholas kali ini. "Halo, Claire. Kau sudah selesai bertemu dokter?" suara Nicholas terdengar ringan namun ada nada serius di baliknya. "Aku baru saja keluar dari klinik. Ada apa?" tanya Ariana sambil memasang sabuk pengaman. "Aku harap kau siap untuk bertanggung jawab," kata Nicholas dengan nada tegas. Ariana terkejut, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Bertanggung jawab? Maksudmu apa?" "Aku mendapat masalah besar sekarang, dan itu semua karena kau," jawab Nicholas dengan nada yang serius. Ariana merasakan paru-parunya kehabisan oksigen. "Masalah apa? Apa yang terjadi?" Nicholas menahan tawanya di ujung telepon. "Karena kau, aku tidak bisa konsentrasi sama sekali hari ini. Semua pekerjaan jadi
Setelah dua minggu penuh disiplin menjalani rutinitas minum obat dan kunjungan klinik secara berkala. Ariana dan Nicholas pergi ke klinik fertilitas bersama-sama untuk proses pengambilan sel telur. Begitu tiba di klinik, mereka disambut oleh perawat yang membawa mereka ke ruang tunggu yang nyaman. dr. Lina segera datang menyapa dengan senyum hangat. “Selamat pagi, Bu Ariana, dan Pak Nicholas. Bagaimana perasaan kalian hari ini?” tanyanya dengan nada lembut. Ariana mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Sedikit gugup, tapi siap, Dok.” Nicholas memegang tangan Ariana. “Aku lebih gugup karena bakalan tidak bisa ehm ehm denganmu selama beberapa minggu kedepan,” bisiknya. Ariana lekas mencubit pinggang Nicholas yang agak agak di depan dokter Lina. dr. Lina dengan tenang menjelaskan, “hari ini, kita akan melakukan pengambilan sel telur dari Bu Ariana. Pak Nicholas, sperma juga akan diambil hari ini untuk proses pembuahan. Bu Ariana akan menjalani prosedur di ru
Nicholas tersenyum simpul mendengar omelan Ariana. “Maaf,” katanya. Dia telah selesai mengeringkan rambut Ariana. Kata maaf yang keluar dari mulut Nicholas mampu menenangkan Ariana. Entah mengapa, setiap kali dia mendengarnya, hatinya selalu melunak. Dia berbalik demi menatap wajah suaminya yang meminta maaf dengan tulus. Ariana menatap dalam mata Nicholas sebelum mendekat dan mencium bibir pria itu dengan lembut. Nicholas membalasnya dengan penuh perasaan. Kecupan mereka semakin dalam, setiap sentuhan mengungkapkan kerinduan dan cinta yang mereka rasakan satu sama lain. Nicholas merebahkan Ariana dengan lembut di atas tempat tidur, menatap lekat wajah istrinya yang penuh cinta. “Kau sengaja melakukannya untuk menyiksaku ya?” seringai Nicholas. Namun, kemudian dia segera berbaring di sebelah Ariana dengan frustrasi. Selama 7 hari ke depan, dia tidak bisa melukai organ intim Ariana karena operasi kecil pengambilan sel telur yang baru saja dijalani Ariana. Ariana tersenyum naka
Harapan hanyalah harapan, Nicholas tidak datang menjemput Ariana. Dia juga tidak ikut menemani Ariana pergi ke klinik untuk menjalani transfer embrio. Di ruangan yang steril dan dingin, Ariana berbaring di tempat tidur periksa, merasakan detak jantungnya yang berirama cepat. Lampu-lampu LED yang terang memancarkan cahaya yang hampir terlalu menyilaukan, sementara peralatan medis tersebar rapi di sekeliling ruangan. Aroma antiseptik yang khas menyengat hidungnya, menambah rasa gugup yang sudah melanda. Dokter Lina mulai dengan mempersiapkan alat ultrasonografi. Wanita berusia empat puluhan dengan wajah ramah itu mengoleskan gel dingin di perut Ariana, membuatnya menggigil sedikit. "Ini akan membantu kita mendapatkan gambar yang lebih jelas," jelas dokter Lina sambil mengambil alat berbentuk tongkat kecil dengan kabel yang terhubung ke monitor di sebelah tempat tidur. Ariana melihat monitor dengan gugup. Dokter Lina dengan lembut menekan alat ultrasonografi ke perutnya, memindahkan
Setelah dua hari istirahat yang cukup, Ariana menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya tersenyum bahagia. Dia menyentuh perutnya, bertanya-tanya apakah calon bayinya akan tumbuh sehat di dalam rahimnya. Nicholas benar-benar memperlakukannya dengan baik, meskipun suaminya itu masih tidak mempunyai waktu untuk menemaninya berbelanja, menghadiri acara keluarganya, atau menghadiri acara sosialnya. Ariana menghela napas sambil merapikan kembali riasan tipisnya. Sementara dirinya selalu menyediakan waktu untuk menemani Nicholas di setiap acara keluarga dan sosial, Ariana bertanya-tanya apakah dia terlalu naif jika bahagia cukup dengan perhatian Nicholas kepadanya. Selesai merapikan penampilannya, Ariana keluar dari kamar. Di luar, Lesie sudah berdiri di depan mobil baru yang dibelikan Nicholas. “Saya akan mengantar Nona,” ucap Lesie dengan sopan. “Itu tidak perlu, aku bisa menyetir sendiri,” balas Ariana dengan senyum tipis. “Nona, biarkan saya melayani Anda.” Ariana meliha
Di dalam kamar hotel, Ariana terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur yang besar dan mewah. Tirai tebal menutupi jendela, hanya membiarkan sedikit cahaya menyelinap masuk. Suara dengungan AC yang lembut memenuhi ruangan, memberikan nuansa tenang namun penuh ketegangan. Andrian berdiri di sudut ruangan, memandang Ariana dengan ekspresi yang sulit diartikan. Katrina, yang sudah lebih dulu berada di sana, mendekati tempat tidur dengan langkah ringan, hampir seperti menari. Katrina mendekati Ariana, tangannya dengan perlahan merapikan rambut Ariana yang terurai di atas bantal. Andrian akhirnya bergerak, mendekati tempat tidur. "Jangan buka seluruh pakaiannya," ucapnya tegas, suaranya rendah namun jelas. "Aku tidak ingin dia merasa terlalu terhina ketika dia sadar nanti." "Apa kau menyukai wanita ini?" tanya Katrina, suaranya penuh dengan sindiran. Andrian tetap diam, tatapannya tidak beralih dari wajah Ariana yang tertidur. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini
Rachel menghempaskan pintu ruang kerja suaminya, wajahnya memerah karena marah. "Bagaimana bisa kau menutupi ini dariku?" serunya, suaranya bergetar oleh emosi. Richard, yang sedang duduk di kursinya, mengangkat pandangannya dari berkas-berkas di meja, menatap istrinya dengan tenang. "Rachel, tenanglah," kata Richard dengan suara lembut, mencoba menenangkan istrinya. "Duduklah dulu." Rachel menolak untuk duduk. "Tidak, aku tidak akan tenang! Kau menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku!" Richard menghela napas panjang. "Rachel. Aku tidak ingin membuatmu khawatir lebih dari yang diperlukan, pelakunya sudah kubereskan. Nicholas selamat, dan itu yang terpenting." "Selamat?" Rachel tertawa sinis, matanya berkaca-kaca. "Kau tahu apa yang dia katakan padaku di rumah sakit? Dia bilang ingatannya mulai kembali. Dia ingat bagaimana dia terjebak di dalam gudang yang terbakar itu. Dan kau... kau menutupi semuanya!" Richard berdiri, mendekati Rachel. "Berita kita memiliki persaingan bis
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena