Nicholas tersenyum simpul mendengar omelan Ariana. “Maaf,” katanya. Dia telah selesai mengeringkan rambut Ariana. Kata maaf yang keluar dari mulut Nicholas mampu menenangkan Ariana. Entah mengapa, setiap kali dia mendengarnya, hatinya selalu melunak. Dia berbalik demi menatap wajah suaminya yang meminta maaf dengan tulus. Ariana menatap dalam mata Nicholas sebelum mendekat dan mencium bibir pria itu dengan lembut. Nicholas membalasnya dengan penuh perasaan. Kecupan mereka semakin dalam, setiap sentuhan mengungkapkan kerinduan dan cinta yang mereka rasakan satu sama lain. Nicholas merebahkan Ariana dengan lembut di atas tempat tidur, menatap lekat wajah istrinya yang penuh cinta. “Kau sengaja melakukannya untuk menyiksaku ya?” seringai Nicholas. Namun, kemudian dia segera berbaring di sebelah Ariana dengan frustrasi. Selama 7 hari ke depan, dia tidak bisa melukai organ intim Ariana karena operasi kecil pengambilan sel telur yang baru saja dijalani Ariana. Ariana tersenyum naka
Harapan hanyalah harapan, Nicholas tidak datang menjemput Ariana. Dia juga tidak ikut menemani Ariana pergi ke klinik untuk menjalani transfer embrio. Di ruangan yang steril dan dingin, Ariana berbaring di tempat tidur periksa, merasakan detak jantungnya yang berirama cepat. Lampu-lampu LED yang terang memancarkan cahaya yang hampir terlalu menyilaukan, sementara peralatan medis tersebar rapi di sekeliling ruangan. Aroma antiseptik yang khas menyengat hidungnya, menambah rasa gugup yang sudah melanda. Dokter Lina mulai dengan mempersiapkan alat ultrasonografi. Wanita berusia empat puluhan dengan wajah ramah itu mengoleskan gel dingin di perut Ariana, membuatnya menggigil sedikit. "Ini akan membantu kita mendapatkan gambar yang lebih jelas," jelas dokter Lina sambil mengambil alat berbentuk tongkat kecil dengan kabel yang terhubung ke monitor di sebelah tempat tidur. Ariana melihat monitor dengan gugup. Dokter Lina dengan lembut menekan alat ultrasonografi ke perutnya, memindahkan
Setelah dua hari istirahat yang cukup, Ariana menatap pantulan wajahnya di cermin. Wajahnya tersenyum bahagia. Dia menyentuh perutnya, bertanya-tanya apakah calon bayinya akan tumbuh sehat di dalam rahimnya. Nicholas benar-benar memperlakukannya dengan baik, meskipun suaminya itu masih tidak mempunyai waktu untuk menemaninya berbelanja, menghadiri acara keluarganya, atau menghadiri acara sosialnya. Ariana menghela napas sambil merapikan kembali riasan tipisnya. Sementara dirinya selalu menyediakan waktu untuk menemani Nicholas di setiap acara keluarga dan sosial, Ariana bertanya-tanya apakah dia terlalu naif jika bahagia cukup dengan perhatian Nicholas kepadanya. Selesai merapikan penampilannya, Ariana keluar dari kamar. Di luar, Lesie sudah berdiri di depan mobil baru yang dibelikan Nicholas. “Saya akan mengantar Nona,” ucap Lesie dengan sopan. “Itu tidak perlu, aku bisa menyetir sendiri,” balas Ariana dengan senyum tipis. “Nona, biarkan saya melayani Anda.” Ariana meliha
Di dalam kamar hotel, Ariana terbaring tak sadarkan diri di atas tempat tidur yang besar dan mewah. Tirai tebal menutupi jendela, hanya membiarkan sedikit cahaya menyelinap masuk. Suara dengungan AC yang lembut memenuhi ruangan, memberikan nuansa tenang namun penuh ketegangan. Andrian berdiri di sudut ruangan, memandang Ariana dengan ekspresi yang sulit diartikan. Katrina, yang sudah lebih dulu berada di sana, mendekati tempat tidur dengan langkah ringan, hampir seperti menari. Katrina mendekati Ariana, tangannya dengan perlahan merapikan rambut Ariana yang terurai di atas bantal. Andrian akhirnya bergerak, mendekati tempat tidur. "Jangan buka seluruh pakaiannya," ucapnya tegas, suaranya rendah namun jelas. "Aku tidak ingin dia merasa terlalu terhina ketika dia sadar nanti." "Apa kau menyukai wanita ini?" tanya Katrina, suaranya penuh dengan sindiran. Andrian tetap diam, tatapannya tidak beralih dari wajah Ariana yang tertidur. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini
Rachel menghempaskan pintu ruang kerja suaminya, wajahnya memerah karena marah. "Bagaimana bisa kau menutupi ini dariku?" serunya, suaranya bergetar oleh emosi. Richard, yang sedang duduk di kursinya, mengangkat pandangannya dari berkas-berkas di meja, menatap istrinya dengan tenang. "Rachel, tenanglah," kata Richard dengan suara lembut, mencoba menenangkan istrinya. "Duduklah dulu." Rachel menolak untuk duduk. "Tidak, aku tidak akan tenang! Kau menyembunyikan sesuatu sebesar ini dariku!" Richard menghela napas panjang. "Rachel. Aku tidak ingin membuatmu khawatir lebih dari yang diperlukan, pelakunya sudah kubereskan. Nicholas selamat, dan itu yang terpenting." "Selamat?" Rachel tertawa sinis, matanya berkaca-kaca. "Kau tahu apa yang dia katakan padaku di rumah sakit? Dia bilang ingatannya mulai kembali. Dia ingat bagaimana dia terjebak di dalam gudang yang terbakar itu. Dan kau... kau menutupi semuanya!" Richard berdiri, mendekati Rachel. "Berita kita memiliki persaingan bis
Ariana terbangun dengan perasaan tak berdaya. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi kelemahan masih menguasainya saat dokter Lina memeriksa kondisinya. Dr. Lina memeriksa Ariana dengan teliti, memeriksa tekanan darah dan denyut nadi. "Kondisi Bu Ariana cukup stabil, tapi perlu banyak istirahat. Jangan terlalu banyak bergerak dulu." Setelah pemeriksaan selesai, dr. Lina memberikan beberapa instruksi kepada Lesie sebelum pamit. "Pastikan istirahat cukup dan tidak terlalu banyak stres." Setelah dr. Lina pergi, Ariana menatap Lesie dengan mata penuh pertanyaan. "Apa yang sebenarnya terjadi?” Lesie terlihat ragu-ragu sejenak, namun akhirnya berkata, "maaf, Nona. Belum ada instruksi apapun apakah saya boleh memberitahu Nona atau tidak." Ariana menghela napas, frustrasi. "Kalau begitu, berikan ponselku. Aku akan menghubungi suamiku." Lesie berkata, "maafkan saya, Nona. Saya harus memastikan Nona benar-benar beristirahat dengan tenang." Ariana menatap Lesie dengan tegas. "Apa
Ariana menatap keluar jendela kamarnya dengan tatapan kosong. Sudah hampir sepuluh hari dia terkurung di ruangan itu, terisolasi dari dunia luar tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ponselnya disita, membuatnya merasa semakin terasing. Hanya ada Bibi Helen dan Lesie yang masuk dan keluar, memastikan kondisi kesehatannya. Mereka menjaga Ariana dengan ketat, terutama mengingat proses program hamilnya yang masih berjalan. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda. "Nona Ariana, kita harus pergi. Kita akan pergi ke luar negeri," kata Lesie tegas. Ariana yang tidak ingin berpikir terlalu banyak karena takut stres akan mempengaruhi proses program hamilnya, hanya mengangguk dan mengikuti Lesie tanpa banyak pertanyaan. Setelah melewati proses check-in yang membosankan, mereka berjalan menuju pemeriksaan imigrasi. Di tengah perjalanan, Ariana meminta izin untuk pergi ke toilet. Lesie, yang selama ini melihat Ariana sangat kooperatif, tidak mencurigainya sama sekali dan mengizinkannya p
Bersamaan dengan itu, di gedung yang menjulang tinggi tak jauh dari coffee shop, di dalam ruang rapat yang tenang namun penuh ketegangan, Nicholas duduk di ujung meja dengan mata berfokus pada laptop di depannya. Clarissa duduk di sampingnya, rasa gugupnya semakin memuncak, takut membuat kesalahan di hadapan bos yang sedang tidak stabil. Dia merasa seolah berjalan di atas tali tipis di tepi jurang emosi bosnya yang bisa meledak kapan saja. Bosnya memimpin rapat dengan suara tenang namun tajam, membahas ancaman siber dan proyek terbaru dengan ketegasan yang menegaskan bahwa kesalahan tidak akan ditoleransi. Para eksekutif yang hadir saling bertukar pandang, terkejut dengan sikap Nicholas yang lebih dingin dan tajam dari biasanya. Mereka melonggarkan kerah leher sambil menghindari kontak mata langsung dengan Nicholas. Setiap kalimat yang keluar dari mulut Nicholas bagaikan pisau yang mengukir tekanan pada para eksekutif Rapat yang menyeramkan itu akhirnya berakhir. Clarissa mengik