Ariana terbaring di kamar rumah sakit dengan pandangan kosong. Ketika pertama kali mengeluhkan asam lambung, dia tidak pernah menyangka bahwa akhirnya akan dirawat inap. Keadaannya semakin buruk setelah insiden kecelakaan yang membuat kakinya terkilir parah. Seorang perawat datang memeriksa pergelangan kakinya yang terbalut perban sebelum pergi.
"Aku menyuruhmu untuk tidur di kamar suamimu! Mengapa kau malah tidur di rumah sakit?" tiba-tiba suara nyaring Rachel, ibu mertuanya, menggema di ruangan itu. Ariana yang hampir terpejam terpaksa membuka matanya. "Maafkan aku, Bu," jawab Ariana dengan suara lemah. Dia tahu bahwa Rachel tidak pernah puas dengan apapun yang dia lakukan atau katakan. Rachel mendengus kesal, lalu berbalik dan keluar dari kamar. Ariana hanya bisa menatap punggung wanita itu yang semakin menjauh. Sementara di karidor rumah sakit, langkah kaki Rachel berhenti di depan kamar rawat inap VVIP. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum masuk. Walaupun menantunya membuatnya marah, putranya lebih membuat darahnya mendidih. Begitu dia masuk ke dalam kamar di depannya, Rachel terkejut melihat Nicholas sedang duduk bersama Katrina. Suasana di ruangan itu seakan membeku sejenak. "Apa yang sedang kau lakukan di sini?" suara Rachel penuh penekanan. Pandangannya tertuju tajam pada Nicholas. "Tante?" Katrina mencoba mencairkan suasana dengan senyumnya yang lembut. Dia selalu tahu bagaimana caranya menempatkan diri di hadapan Rachel. "Mengapa kau tidak menemani istrimu?" Rachel bertanya dengan nada yang lebih tajam kepada putranya. Dahulu, dia mendukung hubungan Nicholas dengan Katrina. Keluarga Katrina terpandang dan terhormat. Namun, setelah Katrina terlibat dalam skandal kecelakaan akibat pesta narkoba, Rachel menarik dukungannya. Walaupun Katrina berjanji bertaubat, Rachel tidak bisa menerima menantu yang dianggapnya akan menghancurkan masa depan putranya. "Nico, ibumu benar. Ariana lebih membutuhkanmu," kata Katrina dengan memasang wajah sendu. "Istirahatlah," ucap Nicholas kepada Katrina sembari pergi meninggalkannya. "Tunggu, aku ikut." Katrina menjalankan kursi rodanya mengikuti Nicholas. Dia tahu pria itu pasti akan pergi menemui istrinya. Tentu saja, dia tidak ingin melewatkan kesempatan untuk memperlihatkan betapa Nicholas masih peduli padanya. Begitu tiba di kamar Ariana, Katrina langsung mendekati tempat tidur Ariana. "Halo, Ariana. Bagaimana kondisimu? Maafkan aku karena sejak tadi Nico bersamaku," katanya dengan senyum yang lembut, namun Ariana tahu ada maksud lain di baliknya. Ariana mengepalkan tangan di balik selimut. "Kau salah paham, Katrina," katanya dengan tegas. "Aku sudah bosan dengannya, aku tidak peduli dia bersama wanita mana saja." Nicholas menatap tajam Ariana yang tengah memasang senyum di wajahnya. "Kau sudah melihatnya, kan? Ayo kembali ke kamarmu," katanya kepada Katrina tanpa sedikitpun melirik ke arah Ariana. Nicholas mengiringi Katrina keluar dari kamar. Ariana hanya bisa memandang mereka pergi dengan hati yang semakin hancur. Dia merasa diabaikan dan tidak berharga, terjebak dalam pernikahan yang tidak memiliki cinta. Setelah beberapa saat, seorang perawat masuk ke kamar membawa obat-obatan. "Bu Ariana, ini obatnya. Pastikan diminum setelah makan malam, ya," katanya sambil tersenyum ramah. Ariana mengangguk pelan dan mencoba membalas senyum. "Terima kasih," ucapnya singkat. Setelah perawat itu keluar, Ariana memandang keluar jendela. Kota sudah mulai gelap. Pikiran tentang perceraian semakin kuat, tetapi ancaman Rachel dan perjanjian kontrak yang mengikatnya membuatnya terperangkap. Tak lama kemudian, Nicholas tiba-tiba masuk ke kamarnya dengan wajah marah. Dia melemparkan sebuah amplop ke atas tubuh Ariana yang sedang berbaring. Ariana yang terkejut segera duduk dan mengambil amplop tersebut. "Kau benar-benar membuat surat seperti ini?" sindir Nicholas dengan nada dingin. Ariana menggenggam amplop itu dengan tangan yang gemetar. "Jadi Pak August sudah memberitahumu," gumamnya pelan. Nicholas menatap sekeliling kamar dengan ekspresi meremehkan. "Kau tidak lelah berpura-pura menjadi wanita polos?" tanyanya tajam. Ariana menatap Nicholas dengan kebingungan. "Apa maksudmu?" tanyanya. Nicholas mendekat, menatapnya dengan tajam. "Jika kau ingin bercerai, lakukan saja. Jangan buat drama seperti ini." Ariana merasa luka di hatinya semakin dalam. "Aku akan melakukannya, jika bisa," jawabnya dengan suara tegas. Lalu dia memasang wajah lelahnya. "Tolong, ajukan gugatan cerai, dan aku tidak akan muncul lagi dalam hidupmu." Nicholas terdiam sejenak, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Kemudian, dia mendekat, mencengkeram dagu Ariana dengan keras, membuat wanita itu terpaksa menatap langsung ke matanya. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Apa yang akan kau lakukan?" Ariana merasakan ketakutan merayapi tubuhnya, tetapi dia berusaha tetap tegar. "Kenapa? Bukankah kau membenciku?" Nicholas melepaskan cengkeramannya dan tertawa kecil. "Kau memainkan peran sebagai istri Nicholas Nathan dengan baik. Mengapa aku harus melepaskanmu?" Ariana menahan air mata yang hampir jatuh. "Tidakkah kau menyukai wanita itu? Kau bisa bebas bersamanya." Nicholas tersenyum miring. "Menurutmu, aku tidak bisa bebas bersama dengan wanita yang kusuka?" Ariana terdiam dengan pertanyaan retoris Nicholas. Jawabannya jelas, Nicholas jelas bebas bersama Katrina, bahkan menunjukkan perhatiannya di depan mata Ariana. "Kau pria berengsek!" jerit Ariana begitu menyadari jawabannya dari pertanyaan Nicholas. Nicholas hanya mengangkat alis. "Kemarahanmu tidak ada gunanya, Ariana." "Apa kau tidur dengan Katrina?" tanya Ariana. Nicholas tertawa sinis. "Kenapa? Apakah kau masih memimpikan tidur denganku?" balasnya dengan dingin.Ariana duduk di sebuah kafe ditemani dua rekan dosennya, Diana dan Sarah. Mereka sedang berdiskusi serius tentang proposal pengabdian masyarakat yang mereka rencanakan. Sementara Diana, dosen ekonomi, dan Sarah, dosen hukum, berfokus pada rincian proyek mereka, Ariana tampak jauh dalam pikirannya. Kakinya sudah sembuh dari kecelakaan sebulan lalu, tetapi luka emosional akibat perselingkuhan suaminya, Nicholas, masih membekas. “Aku pikir kita bisa memfokuskan pengabdian ini pada pemberdayaan ekonomi perempuan di desa terpencil,” kata Diana, membuka laptopnya yang menampilkan dokumen proposal. Ariana hanya mengangguk, tetapi pikirannya melayang jauh. Perasaan kecewa dan pengkhianatan masih menyelimuti hatinya. Suara Diana terdengar jauh dan teredam. Sarah, dengan pengetahuan hukumnya, tiba-tiba mengangkat topik yang menarik perhatian Ariana. “Aku membaca beberapa kasus tentang wanita yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga tetapi tidak bisa bercerai karena kontrak pranikah yang
Dengan napas yang berat, Nicholas mencoba menenangkan diri. Dia berdiri dan membuka jendela ruang kerjanya lebar-lebar. Angin malam sejuk yang masuk, mengurangi rasa panas yang membara dalam tubuhnya. Setelah beberapa menit menikmati angin malam, Nicholas ke minibar ruang kerjanya. Dia mengambil botol air dan meminumnya dengan tegukan besar, berharap cairan dingin bisa menenangkan gejolak dalam dirinya. Karena rasa resah belum juga hilang sepenuhnya, Nicholas menjatuhkan diri ke lantai dan mulai melakukan push-up. Satu, dua, tiga... hingga dua puluh kali, dia terus mendorong tubuhnya. Setelah selesai, dia berguling ke samping dan melakukan sit-up, merasakan otot perutnya tegang. Aktivitas yang menguras energi itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya. Merasa lelah berolah raga, Nicholas berusaha untuk menyanyikan lagu kebangsaan untuk mengalihkan pikiran kotornya. Setelah beberapa waktu, efek obat mulai mereda. Nicholas merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Dia
Dulu, Ariana begitu merindukan sentuhan Nicholas dengan penuh keinginan. Namun, setelah apa yang baru saja dia alami, perasaan itu berubah menjadi kebencian yang mendalam. Seakan-akan cinta yang dulu memenuhi hatinya telah berganti dengan amarah dan kekecewaan. Ariana, yang sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan intim, tidak yakin apakah rasa sakit yang dirasakannya adalah normal dalam hubungan suami istri atau karena Nicholas yang telah terlalu kasar. Dia menangis dalam kebingungan, bertanya-tanya apakah ini yang seharusnya dia rasakan. Dia meringkuk di tempat tidur Nicholas, tubuhnya gemetar. Air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seolah oksigen yang dihirupnya menusuk dadanya. Rasa nyeri yang tak terlukiskan menjalar dari seluruh tubuhnya, membuatnya merasa rapuh seperti kaca yang retak. Air matanya yang mengalir tanpa henti sudah membasahi bantal yang dia peluk erat. Pikirannya berkabut, bercampur antara ketidakpercayaan dan
Sembari menunggu bibi Helen menyiapkan sarapan, Ariana yang masih berselonjor di tempat tidur meraih laptopnya dari meja kecil di samping tempat tidur. Jari-jarinya yang ramping dengan cekatan mengetik kata kunci 'firma hukum perceraian' di mesin pencari. Dia harus segera mengakhiri pernikahannya dengan Nicholas. Setelah ketahuan selingkuh, suami dinginnya itu sekarang sering melakukan kekerasan kepadanya. Ariana tidak bisa lagi mentolerir kekerasan yang dialaminya. Layar laptop menampilkan berbagai pilihan firma hukum. Dia mengklik satu per satu, membaca ulasan, dan melihat profil pengacara. Ariana tidak bisa menggugat cerai dan meninggalkan rumah Nicholas tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dia tidak ingin ada pertikaian dengan Ibu mertua yang tetap mempertahankannya sebagai menantu sesuai dengan perjanjian mereka. Sebuah firma hukum dengan ulasan positif menarik perhatiannya. Dia mengklik laman kontak dan mulai mengetik pesan singkat untuk meminta konsultasi. Saat dia akan m
Jauh dari keramaian, Ariana duduk di salah satu bangku taman kampus yang teduh, setelah selesai memberi kuliah. Suara riuh mahasiswa yang bercengkrama dan berjalan tergesa-gesa menuju kelas terdengar samar di kejauhan. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur modern berdiri kokoh di sekeliling Ariana. Ariana serius menatap layar ponselnya, mata cokelatnya yang tajam fokus pada angka di laman MBanking-nya. Nominal saldo yang tertera masih utuh, sama seperti sebelumnya. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Dia menimbang-nimbang untuk memindahkan uang pemberian Nicholas selama pernikahan mereka ke rekening pribadinya atau membiarkannya tetap di sana. Jika dia memindahkan uang itu, Nicholas mungkin akan semakin mencemoohnya. Tapi, apa dia benar-benar akan pergi begitu saja dengan tangan kosong? Setelah dua tahun menikah? Hati Ariana berdesir, mengenang masa-masa pahit yang telah ia lalui. Setiap cemoohan, setiap kata kasar yang terlontar dari mulut Nicholas terbayang kembali. Pera
Kepala Ariana semakin berdenyut. Bertambah hal yang tidak bisa diterimanya. Suaminya memiliki wanita lain. Keluarganya yang menemui Nicholas tanpa sepengetahuannya kini menuntut penjelasan kepadanya. Meminta maaf untuk apa? Meminta maaf karena selama ini mereka telah memanfaatkan keluarga kaya itu? Dengan tatapan kosong, Ariana bangkit dari duduknya. “Farrel, cobalah cari pekerjaan lain. Mungkin jadi tukang ojek dulu, sampai bisa dapat yang pasti,” katanya kepada adik lelakinya yang berselisih 4 tahun darinya. Lalu Ariana menoleh ke arah Eric. “Paman bisa menyewa gedung lain. Bukankah usaha paman berjalan dengan lancar?” “Kami memanggilmu, bukan untuk mendengar ceramahmu. Pergilah bujuk dan rayu suamimu! Jangan keras kepala, dan sok idealis!” ketus Eric dengan tajam. “Paman…?” “Ana…,” Ratih mencoba menjadi penengah dengan ragu. “Pamanmu benar, pergilah untuk berbicara baik-baik dengan nak Nicholas. Farrel sebentar lagi akan menikah dengan pacarnya. Mencari pekerjaan sekarang
Pintu depan yang besar dan kokoh berderit ketika pelayan membukanya, membiarkan keduanya masuk ke dalam rumah tua yang megah itu. Lantai marmer dingin di bawah kaki mereka, dan aroma kayu tua bercampur dengan wewangian bunga dari taman di luar.Ketika mereka memasuki ruang tamu, suara tawa pelan terdengar. Di sana, Katrina duduk di sofa bersama nenek Nicholas, mengenakan gaun pastel yang elegan, tampak seperti bagian dari keluarga ini. Senyum manis terpancar di wajahnya, tetapi ada kilatan dingin di matanya yang tertangkap oleh Ariana, meskipun hanya sesaat.Nenek Nicholas menoleh dan menatap Ariana dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ariana, sayang, kau sudah datang. Bagaimana kabarmu?" Dia bertanya, namun nada suaranya tidak sepenuhnya ramah.Ariana mengangguk pelan, menahan perasaan gugup yang mulai merayap. "Baik, Nek. Terima kasih."Nenek Nicholas tersenyum tipis, lalu melirik Katrina yang duduk dengan anggun di sebelahnya. "Katrina, kau selalu tampak begitu bersemangat. Aku yak
Setelah menerima informasi dari sopir Nicholas yang menjemput suaminya itu di bandara, keesokan malamnya Ariana menunggu di ruang tamu. Kecemasan dan keraguan bergolak dalam dirinya. Pertanyaan-pertanyaan tentang keluarganya dan tentang kondisi Katrina yang masih dalam pemulihan terus menghantuinya.Pintu terbuka, dan Nicholas melangkah masuk dengan langkah berat. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi ekspresinya tetap kaku dan tidak menunjukkan emosi. Bibi Helen membawakan koper Nicholas ke kamar, sementara Nicholas hanya melirik Ariana sekilas sebelum melewati ruang tamu menuju kamarnya. Ariana mengumpulkan keberanian dan mengikuti langkahnya.Nicholas berhenti di depan pintu kamarnya, menoleh dengan tatapan kosong. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada datar.Ariana merasakan ketegangan di udara. "Aku ingin bicara," jawabnya, berusaha mengatasi rasa gugupnya.Nicholas membuka pintu kamarnya lebar-lebar. "Masuklah," katanya dengan nada acuh tak acuh, tanpa menunjukkan minat