Dengan napas yang berat, Nicholas mencoba menenangkan diri. Dia berdiri dan membuka jendela ruang kerjanya lebar-lebar. Angin malam sejuk yang masuk, mengurangi rasa panas yang membara dalam tubuhnya.
Setelah beberapa menit menikmati angin malam, Nicholas ke minibar ruang kerjanya. Dia mengambil botol air dan meminumnya dengan tegukan besar, berharap cairan dingin bisa menenangkan gejolak dalam dirinya. Karena rasa resah belum juga hilang sepenuhnya, Nicholas menjatuhkan diri ke lantai dan mulai melakukan push-up. Satu, dua, tiga... hingga dua puluh kali, dia terus mendorong tubuhnya. Setelah selesai, dia berguling ke samping dan melakukan sit-up, merasakan otot perutnya tegang. Aktivitas yang menguras energi itu sedikit membantu menenangkan tubuhnya. Merasa lelah berolah raga, Nicholas berusaha untuk menyanyikan lagu kebangsaan untuk mengalihkan pikiran kotornya. Setelah beberapa waktu, efek obat mulai mereda. Nicholas merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan dirinya. Dia tersenyum kecil, dan kembali ke meja kerjanya. CKLAK!! Setelah pikirannya sedikit tenang, Nicholas kembali dikejutkan oleh suara pintu ruang kerjanya yang dibuka. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Ariana. “Nick! Apa kau tidak apa-apa?” Ariana bertanya dengan panik. Mendengar suara Ariana, wajah Nicholas kembali memerah. ‘Sial!’ rutuknya dalam hati. “Pergilah Claire!” perintah Nicholas dengan suara parau, tanpa menoleh ke arah Ariana. Bukannya pergi, Ariana malah semakin berjalan mendekati Nicholas. Mendengar suara suami dinginya yang tidak biasa, dia menjadi sedikit khawatir. Apakah suaminya benar-benar keracunan? “Maaf, aku baru saja melihat tanggal kemasan teh herbal tadi. Aku tidak tahu, karena tulisan china, tapi sepertinya teh itu sudah kadaluarsa,” ungkap Ariana dengan cemas, sembari berusaha melihat wajah Nicholas. “Apakah terjadi sesuatu dengan perutmu?” “Pergilah! Itu tanggal produksi, bukan—" “Ha!! Kau tidak baik-baik saja! Ayo kita ke rumah sakit!” potong Ariana yang langsung menarik lengan Nicholas keluar. “Bahaya jika ibu tahu aku membuatmu sakit!” Sebelum Ariana berhasil membawanya melewati pintu ruang kerjanya, Nicholas terlebih dahulu menutup pintunya dan mengungkung Ariana di daun pintu dengan kedua lengan besarnya. “Kau sengaja melakukan ini, benar kan?” Ariana menggeleng dengan panik, dia ingin menyalahkan ibu mertua, tetapi dia menyadari ibu mertuanya mungkin tidak bisa melihat dengan baik tanggal kadaluarsa di kemasan. “Tidak, i.itu kau yang meminumnya sendiri. Itu bukan salahku!” seru Ariana tanpa tahu jika yang dilihatnya adalah tanggal produksi bukan tanggal kadaluarsa. Dan miskomunikasi di antara mereka pun berlanjut. Nicholas tersenyum miring mencemooh, gelombang panas itu kembali datang, bahkan berkali-kali lipat. “Apa kau benar-benar menginginkan tubuhku?” Mendengar Nicholas yang selalu saja menuduhnya wanita yang jahat binti kejam, Ariana mendorong Nicholas agar terlepas dari kurungan pria itu. Tetapi suaminya itu terlalu kokoh, tak tergoyahkan olehnya. “Berhentilah membuang-buang waktu. Kita harus segera ke rumah sakit! Aku sudah memperingatimu. Jika nanti kau mati karena keracunan makanan, itu bukan salahku!” teriak Ariana. Nicholas mengikuti permainan Ariana. Tanpa membuang-buang waktu dia mencengkram dagu dan mendongakan wajah Ariana agar lebih dekat ke arahnya. Nicholas lalu mencium bibir Ariana dengan penuh hasrat. Mendapat perlakuan yang tiba-tiba itu, membuat Ariana terkejut. Nicholas, suaminya, pria dingin itu menciumnya? Itu adalah ciuman pertamanya. Sesaat Ariana tenggelam dengan sentuhan bibir dan lidah Nicholas di mulutnya, tetapi kenyataan tentang perselingkuhan Nicholas tiba-tiba melintas di benaknya. Dengan berang Ariana menarik dirinya dan mendorong Nicholas. Nicholas tersentak saat Ariana mendorongnya. Dia melihat kilatan kemarahan di mata Ariana, dan tertawa cemooh. Itu bukan kali pertama, wanita itu menunjukkan kekesalannya. “Aku akan membuatmu menyesali perbuatanmu hari ini,” bisik Nicholas sembari membuka pintu ruangan kerjanya. Dengan kasar Nicholas menarik Ariana menuju kamarnya. “Tunggu! Kau mau apa? Lepaskan!” teriak Ariana berusaha menahan dirinya agar tidak terseret oleh Nicholas. Ketakutan mulai menjalari dirinya. “Apakah kau ingin melakukan KDRT? Aku tidak akan diam saja! Aku bisa membuat laporan!” Nicholas mengabaikan ancaman Ariana. Begitu mereka tiba di kamar Nicholas. Pria itu langsung melempar Ariana ke atas tempat tidurnya, dan langsung menindih istrinya itu. “Laporkan saja, ceritakan dengan detail kepada polisi apa yang kulakukan padamu malam ini,” ejek Nicholas, suaranya penuh dengan sarkasme. "Apa...?" desis Ariana, matanya melebar karena ketakutan. Nicholas tidak terpengaruh oleh ancamannya. Apakah suaminya benar-benar akan melakukan kekerasan karena teh kadaluarsa?Dulu, Ariana begitu merindukan sentuhan Nicholas dengan penuh keinginan. Namun, setelah apa yang baru saja dia alami, perasaan itu berubah menjadi kebencian yang mendalam. Seakan-akan cinta yang dulu memenuhi hatinya telah berganti dengan amarah dan kekecewaan. Ariana, yang sebelumnya tidak pernah melakukan hubungan intim, tidak yakin apakah rasa sakit yang dirasakannya adalah normal dalam hubungan suami istri atau karena Nicholas yang telah terlalu kasar. Dia menangis dalam kebingungan, bertanya-tanya apakah ini yang seharusnya dia rasakan. Dia meringkuk di tempat tidur Nicholas, tubuhnya gemetar. Air mata mengalir tanpa suara di pipinya. Setiap tarikan napasnya terasa menyakitkan, seolah oksigen yang dihirupnya menusuk dadanya. Rasa nyeri yang tak terlukiskan menjalar dari seluruh tubuhnya, membuatnya merasa rapuh seperti kaca yang retak. Air matanya yang mengalir tanpa henti sudah membasahi bantal yang dia peluk erat. Pikirannya berkabut, bercampur antara ketidakpercayaan dan
Sembari menunggu bibi Helen menyiapkan sarapan, Ariana yang masih berselonjor di tempat tidur meraih laptopnya dari meja kecil di samping tempat tidur. Jari-jarinya yang ramping dengan cekatan mengetik kata kunci 'firma hukum perceraian' di mesin pencari. Dia harus segera mengakhiri pernikahannya dengan Nicholas. Setelah ketahuan selingkuh, suami dinginnya itu sekarang sering melakukan kekerasan kepadanya. Ariana tidak bisa lagi mentolerir kekerasan yang dialaminya. Layar laptop menampilkan berbagai pilihan firma hukum. Dia mengklik satu per satu, membaca ulasan, dan melihat profil pengacara. Ariana tidak bisa menggugat cerai dan meninggalkan rumah Nicholas tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. Dia tidak ingin ada pertikaian dengan Ibu mertua yang tetap mempertahankannya sebagai menantu sesuai dengan perjanjian mereka. Sebuah firma hukum dengan ulasan positif menarik perhatiannya. Dia mengklik laman kontak dan mulai mengetik pesan singkat untuk meminta konsultasi. Saat dia akan m
Jauh dari keramaian, Ariana duduk di salah satu bangku taman kampus yang teduh, setelah selesai memberi kuliah. Suara riuh mahasiswa yang bercengkrama dan berjalan tergesa-gesa menuju kelas terdengar samar di kejauhan. Bangunan-bangunan bergaya arsitektur modern berdiri kokoh di sekeliling Ariana. Ariana serius menatap layar ponselnya, mata cokelatnya yang tajam fokus pada angka di laman MBanking-nya. Nominal saldo yang tertera masih utuh, sama seperti sebelumnya. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup rapat. Dia menimbang-nimbang untuk memindahkan uang pemberian Nicholas selama pernikahan mereka ke rekening pribadinya atau membiarkannya tetap di sana. Jika dia memindahkan uang itu, Nicholas mungkin akan semakin mencemoohnya. Tapi, apa dia benar-benar akan pergi begitu saja dengan tangan kosong? Setelah dua tahun menikah? Hati Ariana berdesir, mengenang masa-masa pahit yang telah ia lalui. Setiap cemoohan, setiap kata kasar yang terlontar dari mulut Nicholas terbayang kembali. Pera
Kepala Ariana semakin berdenyut. Bertambah hal yang tidak bisa diterimanya, keluarganya yang menemui Nicholas tanpa sepengetahuannya kini menuntut penjelasan kepadanya. Meminta maaf untuk apa? Meminta maaf karena selama ini mereka telah memanfaatkan keluarga kaya itu? Dengan tatapan kosong, Ariana bangkit dari duduknya. “Farrel, cobalah cari pekerjaan lain. Mungkin jadi tukang ojek dulu, sampai bisa dapat yang pasti,” katanya kepada adik lelakinya yang berselisih 4 tahun darinya. Lalu Ariana menoleh ke arah Eric. “Paman bisa menyewa gedung lain. Bukankah usaha paman berjalan dengan lancar?” “Kami memanggilmu, bukan untuk mendengar ceramahmu. Pergilah bujuk dan rayu suamimu! Jangan keras kepala, dan sok idealis!” ketus Eric dengan tajam. “Paman…?” “Ana…,” Ratih mencoba menjadi penengah dengan ragu. “Pamanmu benar, pergilah untuk berbicara baik-baik dengan nak Nicholas. Farrel sebentar lagi akan menikah dengan pacarnya. Mencari pekerjaan sekarang ini sulit jika tidak memiliki r
Setibanya Rachel dan Ariana di kediaman kakeknya Nicholas, seorang pelayan langsung membukakan pintu utama yang besar dan kokoh untuk mereka. Ketika mereka memasuki ruang tamu, suara tawa pelan terdengar. Di sana, Katrina duduk dengan anggun di sofa, mengenakan gaun elegan berwarna pastel. Wajahnya dirias natural, seolah dia adalah gadis polos yang tidak mengenal dunia kelab malam. Dia memasang tawa manis saat mendengar cerita kakek Nicholas Begitu mendengar suara Rachel yang datang menyela pembicaraan seru mereka, Nenek Nicholas langsung menoleh ke arah Rachel dan Ariana. “Oh, kalian juga datang,” katanya tersenyum ramah kepada Rachel. Namun senyumnya memudar ketika tatapannya jatuh ke arah Ariana. Rachel tersenyum tipis. " Rachel datang membawakan madu Sidr untuk Mami dan Papi,” terangnya sembari memberikan buah tangan yang dibawanya ke salah seorang pelayan yang berdiri di dekatnya. Dia segera menarik lengan Ariana untuk segera ikut bergabung, duduk bersama keluarga Nathan. Me
Setelah menerima informasi dari sopir Nicholas yang menjemput suaminya itu di bandara, keesokan malamnya Ariana menunggu kepulangan Nicholas. Ada banyak pertanyaan di benaknya yang ingin dia tanyakan kepada Nicholas. Tentang keluarganya, tentang Katrina yang ternyata dalam proses pemulihan. Pintu terbuka, dan Nicholas melangkah masuk dengan langkah berat. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi ekspresinya tetap kaku dan tidak menunjukkan emosi. Bibi Helen membawakan koper Nicholas ke kamar, sementara Nicholas hanya melirik Ariana sekilas sebelum melewati ruang tamu menuju kamarnya. Ariana mengumpulkan keberanian dan mengikuti langkahnya. Mendengar suara langkah kaki Ariana yang mengikutinya, Nicholas berhenti di depan pintu kamarnya. Dia menoleh ke arah Ariana dan berkata, “untuk apa kau mengikutiku ke kamar?" Nicholas bertanya dengan nada dingin. Sebelum menjawab, Ariana menunggu Bibi Helen keluar dari kamar Nicholas setelah meletakkan kopernya. Setelah Bibi Helen pamit meninggalka
“Kau akan menangis?” ledek Nicholas, bibirnya melengkung menjadi senyum sinis. “Memohonlah padaku.” Ariana berdiri, perlahan melangkah mendekati Nicholas dengan wajah yang tampak memelas, seakan ingin memenuhi permintaan suaminya untuk memohon. Nicholas yang melihat itu semakin tersenyum angkuh. Ariana dan keluarganya bergantung kepadanya, dan dia menikmati kekuasaannya itu. “Aku akan melakukan apa pun yang kau pinta, bisakah kau meninggalkan Katrina?” tawar Ariana, suaranya penuh harap. Dia pasrah untuk menurunkan egonya, berdamai dengan Nicholas demi keluarganya dan demi ibu mertuanya. Nicholas mengangkat sebelah alisnya dengan skeptis. “Bagaimana dengan pria simpananmu?” Ariana tertegun, kebingungan terukir di wajahnya. “Pria apa?” tanyanya, terkejut dan bingung mendengar tuduhan itu. Nicholas menyeringai, “Oh, jadi kau tidak tahu tentang pria itu? Aku hanya ingin tahu, di antara kami, siapa yang lebih baik dalam berciuman?” “Apa maksudmu? Aku hanya pernah berciuman denganmu!”
Nicholas dan Ariana saling berpandangan dengan mata membelalak. Suasana di ruang makan mendadak berubah kaku saat Kakek Nicholas, Tuan Henry Nathan, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut. Di sampingnya, Nenek Nicholas, Nyonya Eleanor Nathan, tampak hampir pingsan karena keterkejutan. Satpam penjaga rumah, yang biasanya sangat ketat, telah membiarkan Tuan Henry dan Nyonya Eleanor langsung masuk karena mengenal keduanya. “Kakek, Nenek!” Nicholas berusaha menyembunyikan rasa kagetnya di balik senyum. Sementara Ariana merasakan darahnya berhenti mengalir. Dia tidak pernah menyangka bahwa Kakek dan Nenek Nicholas yang tidak pernah berkunjung tiba-tiba datang ke rumah mereka. Apa yang akan terjadi padanya? Dia terciduk telah menodai keturunan Nathan. Nenek Eleanor memandang Nicholas dengan khawatir. “Apa yang terjadi dengan wajahmu, Nicholas?” tanyanya sembari meneliti wajah cucunya yang dipenuhi coretan tinta hitam. Ariana, yang ketakutan, merapatkan tubuhnya ke meja. Nicho
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena