Wajah Nicholas dan Ariana hampir bersentuhan, terkejut oleh kedekatan mereka dan berusaha menjauh secepat mungkin. Namun, pagi itu mereka sedikit lambat dalam merespons, dan akhirnya menyadari kehadiran Kakek dan Nenek di sana. Nicholas mengambil inisiatif dan mencium bibir Ariana. Meskipun terkejut, Ariana membalas ciuman itu dengan cepat. ‘Ini bagian dari akting,’ pikirnya. “Ehem!” suara Kakek Henry memecah momen itu. “Inilah alasan kenapa kami seharusnya tidak datang pagi-pagi,” canda Kakek sambil tertawa. Nicholas dan Ariana saling memandang dengan canggung. Nicholas kemudian menatap Kakek dan Neneknya. “Benar,” katanya dengan nada datar. Kakek Henry mengakhiri sarapannya dan berdiri. “Ayo Ele, tampaknya kita mengganggu kemesraan cucu kita.” “Baiklah, ayo kita pulang,” sahut Nenek Eleanor sambil tersenyum pada Ariana. “Kami hanya singgah sebentar.” Melihat Kakek dan Nenek Nicholas berdiri, Ariana ikut berdiri. “Kakek, Nenek. Nicholas bercanda. Tinggal lah lebih lama,” pinta A
Nicholas yang keluar dari lift berjalan tergesa-gesa masuk ke ruangannya.. Sekretarisnya, Clarissa, langsung mengikuti Nicholas sambil membawa beberapa dokumen dan tablet di tangan. "Selamat pagi, Pak Nicholas," sapa Clarissa dengan senyum profesional. "Ini jadwal Anda untuk minggu depan." Dia menyerahkan tablet-nya kepada Nicholas. Nicholas mengangguk, mengambil tablet tersebut dan mulai membacanya. "Apakah ada hal penting yang perlu kuketahui?" tanyanya sambil tetap fokus pada layar tablet. Clarissa mengangguk. "Ya, Pak," jawabnya yakin sebelum lanjut menjelaskan, "Hari terapi nona Katrina minggu depan bertepatan dengan hari ulang tahun Nyonya. Apakah Bapak ingin mengosongkan jadwal di hari itu seperti tahun sebelumnya? Atau menambahkan jadwal di pagi harinya untuk menemani Nona Katrina?" Nicholas berhenti sejenak, lalu mengangkat pandangannya. "Jadwalkan aku ke rs pagi hari, setelahnya atur jadwal seperti biasa," kata Nicholas dengan tenang. Clarissa mencatat dengan cepat. "Bai
Ariana terpaksa memblokir nomor Nicholas untuk sementara, agar suaminya itu tidak kembali menghubunginya dan melakukan perdebatan tidak penting yang ujungnya hanya ingin mencemooh dan menghinanya. Setelah memastikan bahwa nomor Nicholas telah diblokir, Ariana menghela napas panjang dan melangkah keluar dari rumah. Dia pergi ke kampus dengan taxi online. Dia tidak ingin memancing keributan dengan mertuanya, jika tahu menantunya naik ojek. Setibanya di kampus, Ariana berusaha memasang senyum, menyembunyikan semua beban di balik penampilan profesionalnya. Teman-temannya telah menunggunya di sana, mereka akan pergi ke kantor kepala desa untuk membicarakan rencana kegiatan pengabdian. Mereka pergi dengan menggunakan mobil Sarah, dosen hukum. Dalam perjalanan menuju kantor kepala desa, Sarah membuka obrolan tentang kehadiran dosen baru di fakultasnya "Eh, kalian tahu nggak, ada dosen muda baru di fakultasku," katanya dengan nada penuh semangat. "Ada gosip terbaru?" tanya Diana, dosen ek
“Hallo, Ariana,” sapa Katrina dengan senyum manisnya, duduk di atas kursi rodanya. Di sebelahnya, Bibi Helen berdiri dengan nampan berisi semangkuk sup panas di tangannya. Ariana mengerutkan kening dan berjalan mendekati Katrina. Meskipun dia sudah berusaha move on, kenyataan bahwa orang ketiga dalam pernikahannya kini berada di rumahnya membuat darahnya kembali mendidih. Sorot matanya tajam ketika dia bertanya, "apa yang kau lakukan di sini?" Katrina melirik Bibi Helen sejenak sebelum menjawab dengan senyum lemah lembut yang tampak tidak berdosa. "Nicholas bilang dia kurang enak badan dan ingin sup buatanku. Untungnya, ada Bibi Helen yang membantu." ‘Bibi Helen? Pengkhianat bangsa!’ pikir Ariana, merasakan penghianatan yang lebih dalam. Ariana memaksakan senyum tipis di wajahnya. “Oh, jadi kau sudah tidak sabar untuk menjadi istri Nicholas, rupanya.” Katrina tampak seolah terkejut dan bingung. "Ariana, aku tidak bermaksud begitu. Tolong, jangan salah paham,” katanya dengan nada
Tangan kanan Ariana semakin erat menggenggam ponselnya yang menampilkan layar sedang memanggil Kakek Henry. Dengan napas yang berat, Ariana menekan tombol untuk membatalkan panggilan. Tadinya dia berpikir ingin menemui mereka dengan dukungan Kakeknya Nicholas, tetapi kini semuanya tampak akan konyol. Di balik pintu yang sedikit terbuka, Ariana merasakan gelombang emosi yang menghempas dirinya. Deklarasi Nicholas barusan menyadarkannya sekali lagi bahwa dia adalah orang ketiga dalam hubungan Nicholas dan Katrina. Dia tahu itu, tapi mendengar sendiri dari mulut Nicholas, hatinya terasa jauh lebih sakit. Sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan. Ariana berjalan pelan menuju kamarnya. Dia berjalan menuju tempat tidurnya, membiarkan tangannya yang gemetar menyentuh permukaan seprai. Setiap detak jantungnya mengirimkan sinyal nyeri yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Saat mendengar cerita Katrina dia tidak sesakit saat ini, karena masih ada celah keraguan dan harapan Nicholas tidak se
Keesokan harinya, sesuai dengan jadwal konsultasi yang diterimanya melalui email, Ariana memasuki gedung kantor firma hukum dengan langkah pasti, meski perasaan cemas tergambar jelas di wajahnya. Dia merapikan kemeja lengan panjang yang dikenakannya sebelum menekan tombol lift menuju lantai delapan. Begitu pintu lift terbuka, Ariana disambut oleh resepsionis yang ramah. "Selamat pagi, Bu Ariana. Silakan menuju ke ruang tunggu, Pak Andrian akan segera menemui Anda," katanya dengan senyum ramah. Ariana mengangguk dan melangkah menuju ruang tunggu yang nyaman, dilengkapi dengan sofa kulit berwarna cokelat tua. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja biru langit lengat panjang muncul dari pintu kayu besar di ujung ruangan. "Ibu Ariana, silakan masuk," sapa Andrian, pengacara yang akan menangani kasusnya. Ariana berdiri, merapikan rambutnya sedikit, dan mengikuti Andrian masuk ke ruang kantornya. Ruang kerja Andrian terkesan formal namun hangat, dengan dinding yang dihiasi beberapa
Setelah telepon berakhir, Ariana lanjut membuka aplikasi pesan taxi online. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendela mobil itu diturunkan, memperlihatkan wajah Andrian, pengacara yang baru saja ditemuinya, tersenyum ramah. "Bu Ariana, mau ke mana? Saya bisa memberi tumpangan," tawar Andrian. Ariana sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum ragu. Meskipun sedikit canggung, dia menyadari tumpangan adalah kesempatan bagus untuk menghemat ongkos taksi online. Dia mengangguk pelan, "Baiklah, terima kasih." Dengan sedikit segan, Ariana membuka pintu dan masuk ke mobil. Dia merapikan rok dan duduk dengan hati-hati, masih merasa sedikit canggung. Aroma parfum maskulin Andrian menyebar di dalam mobil, menambah perasaan tidak nyaman. "Mau ke mana?" tanya Andrian sambil mengarahkan mobil ke jalan raya. Ariana menarik napas, "Ke Kampus Terra." Mata Andrian berbinar, melirik Ariana sekilas. "Benarkah? Saya juga akan ke sana." Ariana menoleh dengan mata terkejut,
Nicholas menoleh ke belakang dengan alis terangkat. "Kenapa kau duduk di belakang?" "Lebih nyaman aja," jawabnya singkat. Dia tahu Nicholas tidak akan pernah mengerti perasaannya tentang Katrina, dan dia sudah terlalu lelah untuk bertengkar. Nicholas mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Ini konyol, Claire. Kau istriku, seharusnya duduk di sampingku." Ariana menatap keluar jendela, menghindari tatapan Nicholas. "Jangan khawatir, tidak ada yang akan melihat, dan peduli.” Nicholas menghela napas panjang, suaranya mulai terdengar marah. "Kenapa kau—." Dia berhenti bicara karena terganggu dengan suara tukang pakir yang sedari tadi berteriak menyuruh mobilnya untuk mundur. Dengan segera Nicholas mememijak pedal gas, memutar setir dengan gerakan yang agak kasar. Dia langsung melajukan mobilnya dengan cepat setelah memberikan selembar uang berwarna merah kepada tukang pakir. "Apa yang kau lakukan di café itu? Kau menikmati menjadi pusat perhatian pria-pria di sana?” Si
“Tidak,” jawab Ariana mantap, memotong keheningan. Nicholas menghela napas panjang. "Aku memang berengsek, kan? Setelah apa yang keluargaku lakukan pada ayahmu... aku masih tetap ingin kau bersamaku. Aku tahu itu egois," katanya sembari mengulurkan tangannya, jari-jarinya mengusap lembut rambut Ariana seperti untuk terakhir kalinya. “Aku bahkan terus mencari cara bagaimana memaksamu kembali padaku,” bisiknya, matanya kelam penuh penyesalan. Ariana merasakan kesedihan yang mendalam di balik kata-kata itu. Matanya mulai berkaca-kaca. “Nick…,” dia berusaha menahan dirinya. Seberapa pun dia mencintai pria itu, tetapi rasa sakit dari kebohongan Nicholas masih terlalu sulit untuk diabaikan. Kebohongan yang menghapus semua kebaikan pria itu, setiap momen kehangatan meraka saat bersama terasa seperti kepalsuan. “Maaf,” ucap Nicholas, penuh dengan penyesalan. "Aku minta maaf, dan juga maaf mewakili kakekku. Aku tidak pernah bisa membayangkan rasa sakit yang kau alami,” lanjutnya. Arian
Ariana duduk di kursi goyang dekat jendela kamar bayi dengan tenang menyusui Boo dan Bee di lengannya, dengan mata kecil mereka yang terpejam. Namun, di balik tatapan lembutnya, pikiran Ariana dipenuhi kekhawatiran. Di satu sisi, dia merasa lega bahwa kebenaran tentang keluarganya akhirnya terungkap. Di sisi lain, dia sadar, tak peduli seberapa besar kesalahan kakek Henry di masa lalu, pria tua itu tetaplah kakek Nicholas, sosok yang dulu begitu baik dan hangat pada mereka berdua. Ketika dia sedang tenggelam dalam lamunan, pintu kamar perlahan terbuka. Bibi Helen masuk dengan wajah cemas, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang berat. Ariana mengangkat kepalanya, tatapannya berubah dari kehangatan seorang ibu menjadi kewaspadaan seorang wanita yang sudah bersiap menghadapi hal-hal buruk. “Ada apa, Bibi?” tanyanya dengan suara pelan, khawatir akan mengganggu bayi-bayinya yang baru saja mulai terlelap. Bibi Helen terdiam sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Matanya menyi
Ruangan sidang berubah senyap setelah hakim mengetukkan palu sebagai tanda penutupan sidang. Richard berdiri dengan raut wajah yang berubah-ubah, antara marah, kecewa, dan ketidakpercayaan.Kakek Henry duduk di kursi terdakwa, tidak lagi memancarkan aura kekuasaan yang dulu begitu dikenal. Bahunya merosot, wajahnya pucat seperti kapur, dan matanya menatap kosong ke satu titik di lantai. Dua petugas pengadilan melangkah mendekat dengan langkah tegas dan hormat. Ketika tangan mereka siap menyentuh lengan kakek Henry, pria tua itu merintih pelan. Tiba-tiba, dia mencengkeram dadanya, raut wajahnya berubah penuh kepanikan, napasnya tersengal-sengal seperti seorang pelari maraton yang kehabisan tenaga. Dalam sekejap, tubuhnya yang renta ambruk ke lantai dengan bunyi gedebuk.“Papi!” seru Richard. Dia berlari mendekat. Ruangan yang semula hening berubah gaduh. Para penjaga dan pengacara membelah diri memberi jalan, sementara dua petugas medis yang bersiaga di luar bergegas masuk. Mereka me
Di kantornya, Richard mendalami berkas-berkas banding yang telah diajukan oleh tim hukumnya. Dia baru saja kembali dari pertemuannya dengan kakek Henry di pusat penahanan, dengan secercah harapan bahwa ayahnya akan diizinkan menunggu di rumah hingga sidang resmi digelar beberapa minggu mendatang. Begitu ponselnya berdering, Richard meraih ponselnya, mengenali nada panik di ujung seberang. “Tuan Richard, persidangan tuan Henry dijadwalkan besok pagi,” suara pengacaranya terdengar tegang, kata-katanya terpotong oleh desakan napas. Richard menggenggam ponselnya lebih erat. “Besok pagi? Itu konyol,” geramnya, mencoba menahan ketidakpercayaannya. “Pengadilan mempercepat jadwal sidang. Ini kasus pidana berat. Hakim memutuskan untuk tidak ada penundaan. Tidak ada peluang untuk banding.” Sekali lagi, Richard menghela napas panjang. Di hadapannya, pengaruhnya yang biasanya melampaui jalur hukum, kini terasa kecil dan sia-sia. Hukum berjalan di luar kendalinya. Keesokan harinya… R
Setelah penangkapan kakek Henry Nathan, nenek Eleanor langsung menghubungi Nicholas. Saat Nicholas akhirnya menjawab telepon, suaranya terdengar tenang, namun Eleanor bisa merasakan jarak yang begitu nyata di antara mereka.“Nicholas… kau tahu kakekmu sudah tua. Dia tidak bisa menghabiskan sisa hidupnya di penjara,” suara Eleanor bergetar. “Apa kau benar-benar akan membiarkan ini terjadi? Kau tahu betapa kami selalu mencintaimu.”Nicholas menutup matanya, menggenggam ponselnya erat. Suara neneknya mengingatkannya pada masa kecilnya, saat kedekatan mereka begitu hangat meskipun kakek Henry memperlakukannya dengan keras. Namun, begitu banyak hal kotor dan kejahatan yang disembunyikan selama bertahun-tahun, telah merusak gambaran keluarganya.“Nenek, tapi kali ini, apa yang kakek lakukan adalah pembunuhan berencana. Hukum tidak akan membiarkannya begitu saja,” kata Nicholas.Eleanor mendesah. “Kakekmu tidak mungkin melakukan semua itu… pasti ada kesalahpahaman! Kakekmu bukanlah pembunuh.
Beberapa hari kemudian, Ariana mengemudikan mobilnya dengan semangat menggiring dua mobil polisi masuk ke dalam pekarangan kediaman kakek Henry. Pak sam seperti biasa membukakan pintu untuk Ariana, wajahnya seketika berubah bingung saat melihat rombongan berseragam. Tak menunggu jawaban, seorang petugas maju, memperlihatkan surat perintah dengan sikap formal. “Kami di sini untuk menahan Tuan Henry Nathan atas tuduhan pembunuhan berencana,” ucap petugas itu, suaranya tegas. Di ruang tengah rumah, kakek Henry dan nenek Eleanor, yang mendengar keributan, segera keluar. Ekspresi mereka menegang melihat petugas yang memenuhi ruang tamu. Henry tampak terkejut, sementara Eleanor berdiri kaku di sampingnya, matanya tak bisa lepas dari sosok Ariana yang berdiri di belakang para petugas dengan pandangan tenang namun dingin. “Apa ini?” tanya Henry dengan nada marah yang berusaha ditahan. Petugas itu melangkah lebih dekat ke Henry, memperlihatkan surat penahanan. "Anda ditahan atas dugaan pem
Ariana melangkah keluar dari mobilnya dengan anggun, pandangannya menyapu bangunan megah di hadapannya—rumah Kakek Henry. Meski dia datang sendiri, dia sudah mempersiapkan segalanya. Dia tidak akan gentar.Pak Sam segera menghampiri dan membuka pintu untuknya. Tanpa berkata-kata, dia mengantar Ariana ke ruangan pribadi Kakek Henry. Di balik meja kayu besar, duduklah Kakek Henry, wajahnya tanpa ekspresi, namun sorot matanya dingin.“Kudengar kalian sudah memiliki dua anak,” kata kakek Henry memulai percakapan dengan nada yang tak ramah.Ariana tetap tenang, “Benar, Kakek. Mungkin suatu hari nanti, Kakek ingin bertemu dengan mereka?” tawarnya dengan senyum tipis. “Mereka akan senang bertemu kakek buyutnya.”Henry mengangkat alisnya, dan mendengus pelan. “Apakah Nicholas tahu kedatanganmu ke sini?”"Tidak," jawab Ariana, "tapi dia mungkin akan segera tahu."Henry menyipitkan matanya, lalu dengan tajam bertanya, "apakah kau datang untuk membujukku berbaikan dengan berandalan itu?"Ariana
Keesokan paginya Ariana melangkah keluar dari lobi hotel dengan langkah cepat, Boo dan Bee tertidur lelap di stroller. Setelah malam yang panjang di hotel, pikirannya sudah mulai tenang. Pagi ini, dia baru saja menghubungi agen properti untuk melihat sebuah apartemen yang terletak di pinggiran kota, tempat yang menurutnya akan cocok untuk mereka bertiga. Dia berjalan menuju parkiran basement dengan rencana yang jelas di benaknya, tetapi ketika memasuki area parkir yang sepi, Ariana terhenti. Di sana, berdiri Nicholas. Sosoknya tampak tegap, mengenakan kemeja gelap yang semakin menunjukkan keseriusan situasinya. Dia berdiri di depan mobilnya, seolah telah menunggu cukup lama. Ariana merasakan jantungnya berdebar kencang. Tangannya erat menggenggam dorongan stroller. Dia tidak mengira Nicholas akan menemukannya secepat ini. Tatapan mereka bertemu, dan ada campuran kekhawatiran serta ketegasan di mata Nicholas yang membuat hatinya semakin kacau."Aku tahu, kau marah dan mungkin sangat
“Aku tidak akan menyangkalnya, apa yang kau pikirkan benar,” ucap Nicholas dengan tenang setelah menghela napas. Matanya menatap lurus ke arah Ariana yang berdiri di depannya, terpaku. Ariana membeku sesaat, kedua matanya mengerjap seakan mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. “Apa?” desisnya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh emosi. “Maaf, aku sudah menyimpannya darimu,” lanjut Nicholas, nadanya tetap tenang namun dengan penyesalan di ujung kalimatnya. Ariana menelan ludah, matanya berkilat dengan kemarahan. “Apakah pria bernama Dell Amin itu… ayahku?” tanyanya, meskipun di dalam hati, dia sudah tahu jawabannya. “Ya, dia ayahmu,” jawab Nicholas, suaranya tetap rendah, sebuah pengakuan yang sudah lama dia simpan. Ariana menarik napas dalam-dalam, tangannya gemetar saat mendengar konfirmasi dari Nicholas. “Dan kakekmu yang membuatku kehilangan keluargaku,” lanjutnya, suaranya pecah oleh kemarahan yang tertahan. “Kau menyembunyikan ini demi keluargamu?” Nicholas mena