Ariana duduk di sudut ruang tamunya yang sepi. Langit-langit di atasnya tampak begitu tinggi dan terasa menjepit seiring dengan pikiran-pikiran yang berputar dalam kepalanya. Dia menghela napas panjang, lalu memandangi layar ponselnya yang masih menyala. Notifikasi kecil di sudut layar menunjukkan bahwa nomor Nicholas berhasil diblokir.Ada kelegaan, namun bersamaan dengan itu ada juga kekosongan. Hubungan mereka memang sudah retak sejak lama, tetapi keputusan untuk memblokir suaminya sendiri tetap saja membuatnya merasa hampa. “Apakah ini akhir yang benar-benar aku inginkan?” pikir Ariana. Dia tahu bahwa melindungi dirinya dari perdebatan yang tidak ada ujungnya adalah langkah yang tepat, tetapi setiap tindakan seolah menciptakan jarak yang semakin tidak bisa diatasi.Hatinya berat, namun kewajiban memanggil. Dia harus pergi ke kampus. Dengan cepat, dia mengenakan jaket dan meraih tasnya. Jalan menuju pintu terasa begitu panjang, seperti tiap langkah adalah satu keputusan besar. Di l
“Hallo, Ariana,” sapa Katrina dengan senyum manisnya, duduk di atas kursi rodanya. Di sebelahnya, Bibi Helen berdiri dengan nampan berisi semangkuk sup panas di tangannya.Ariana menghentikan langkah di ambang pintu ruang tamu. Melihat Katrina di rumahnya, jantungnya berdegup kencang, dan darahnya mendidih. Meskipun dia sudah berusaha move on, kenyataan bahwa orang ketiga dalam pernikahannya kini berada di rumahnya membuat amarah yang selama ini tertahan kembali membara. Dengan wajah tegang, Ariana berjalan mendekati mereka. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, nada suaranya dingin.Katrina melirik Bibi Helen sejenak sebelum menjawab dengan senyum lemah lembut yang tampak tidak berdosa. "Nicholas bilang dia kurang enak badan dan ingin sup buatanku. Untungnya, ada Bibi Helen yang membantu." ‘Bibi Helen? Pengkhianat bangsa!’ pikir Ariana, merasakan penghianatan yang lebih dalam. Ariana memaksakan senyum tipis di wajahnya. “Oh, jadi kau sudah tidak sabar untuk menjadi istri Nicho
Tangan kanan Ariana semakin erat menggenggam ponselnya yang menampilkan layar sedang memanggil Kakek Henry. Dengan napas yang berat, Ariana menekan tombol untuk membatalkan panggilan. Tadinya dia berpikir ingin menemui mereka dengan dukungan Kakeknya Nicholas, tetapi kini semuanya tampak berbeda. Di balik pintu yang sedikit terbuka, Ariana merasakan gelombang emosi yang menghempas dirinya. Deklarasi Nicholas barusan menyadarkannya sekali lagi bahwa dia adalah orang ketiga dalam hubungan Nicholas dan Katrina. Dia tahu itu, tapi tetap saja hatinya merasa sakit. Sesuatu yang tidak bisa dia kendalikan. Ariana berjalan pelan menuju kamarnya. Dia berjalan menuju tempat tidurnya, membiarkan tangannya yang gemetar menyentuh permukaan seprai. Setiap detak jantungnya mengirimkan sinyal nyeri yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Saat mendengar cerita Katrina dia tidak sesakit saat ini, karena masih ada celah keraguan dan harapan Nicholas tidak seperti itu. Tapi kenyataannya itu semua bukan
Keesokan harinya, sesuai dengan jadwal konsultasi yang diterimanya melalui email, Ariana memasuki gedung kantor firma hukum dengan langkah pasti, meski perasaan cemas tergambar jelas di wajahnya. Dia merapikan kemeja lengan panjang yang dikenakannya sebelum menekan tombol lift menuju lantai delapan. Begitu pintu lift terbuka, Ariana disambut oleh resepsionis yang ramah. "Selamat pagi, Bu Ariana. Silakan menuju ke ruang tunggu, Pak Andrian akan segera menemui Anda," katanya dengan senyum ramah. Ariana mengangguk dan melangkah menuju ruang tunggu yang nyaman, dilengkapi dengan sofa kulit berwarna cokelat tua. Tak lama kemudian, seorang pria berkemeja biru langit lengat panjang muncul dari pintu kayu besar di ujung ruangan. "Ibu Ariana, silakan masuk," sapa Andrian, pengacara yang akan menangani kasusnya. Ariana berdiri, merapikan rambutnya sedikit, dan mengikuti Andrian masuk ke ruang kantornya. Ruang kerja Andrian terkesan formal namun hangat, dengan dinding yang dihiasi beberapa
Setelah telepon berakhir, Ariana lanjut membuka aplikasi pesan ojek online. Tiba-tiba, sebuah mobil berhenti di depannya. Kaca jendela mobil itu diturunkan, memperlihatkan wajah Andrian, pengacara yang baru saja ditemuinya, tersenyum ramah. "Bu Ariana, mau ke mana? Saya bisa memberi tumpangan," tawar Andrian. Ariana sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum ragu. Meskipun sedikit canggung, dia menyadari tumpangan adalah kesempatan bagus untuk menghemat ongkos taksi online. Dia mengangguk pelan, "Baiklah, terima kasih." Dengan sedikit segan, Ariana membuka pintu dan masuk ke mobil. Dia merapikan rok dan duduk dengan hati-hati, masih merasa sedikit canggung. Aroma parfum maskulin Andrian menyebar di dalam mobil, menambah perasaan tidak nyaman. "Mau ke mana?" tanya Andrian sambil mengarahkan mobil ke jalan raya. Ariana menarik napas, "Ke Kampus Terra." Mata Andrian berbinar, melirik Ariana sekilas. "Benarkah? Saya juga akan ke sana." Ariana menoleh dengan mata terkejut,
Nicholas menoleh ke belakang dengan alis terangkat. "Kenapa kau duduk di belakang?" "Lebih nyaman aja," jawabnya singkat. Dia tahu Nicholas tidak akan pernah mengerti perasaannya tentang Katrina, dan dia sudah terlalu lelah untuk bertengkar. Nicholas mendengus, jelas tidak puas dengan jawaban itu. "Ini konyol, Claire. Kau istriku, seharusnya duduk di sampingku." Ariana menatap keluar jendela, menghindari tatapan Nicholas. "Jangan khawatir, tidak ada yang akan melihat, dan peduli.” Nicholas menghela napas panjang, suaranya mulai terdengar marah. "Kenapa kau—." Dia berhenti bicara karena terganggu dengan suara tukang pakir yang sedari tadi berteriak menyuruh mobilnya untuk mundur. Dengan segera Nicholas mememijak pedal gas, memutar setir dengan gerakan yang agak kasar. Dia langsung melajukan mobilnya dengan cepat setelah memberikan selembar uang berwarna merah kepada tukang pakir. "Apa yang kau lakukan di café itu? Kau menikmati menjadi pusat perhatian pria-pria di sana?” Si
Setelah pembicaraan penting di ruang kerja kakek, Nicholas berjalan keluar dengan langkah mantap. Pikirannya masih dipenuhi dengan informasi mengejutkan tentang pamannya dan tugas baru yang diberikan oleh kakek Henry. Nicholas melangkah menuju ruang tamu dan menemukan Ariana tertidur lelap di atas sofa. Dia diam sejenak, memperhatikan wajah istrinya yang tampak lelah. Rambutnya yang panjang terurai dengan lembut di bantal, dan napasnya terdengar tenang dan teratur. Nicholas mendekat dengan hati-hati, memastikan tidak membuat suara yang bisa membangunkannya. Dia duduk di tepi sofa, menatap Ariana tanpa ekspresi. 'Apa saja yang dilakukannya seharian ini hingga terlihat lelah seperti itu?'—tanyanya dalam hati. Dia menyadari, selama dua tahun pernikahannya, dia tidak pernah benar-benar peduli dengan wanita itu. Tapi entah mengapa, tiba-tiba dia jadi ingin tahu. Ini adalah pertama kali dia melihat wajah Ariana yang sedang tertidur pulas. Namun, saat ini dia tidak ingin mengganggu
Nicholas berdiri di bawah pancuran air panas, mencoba membiarkan pikirannya mengalir bebas. Air mengalir deras di atas kepalanya. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian malam tadi. Jika Ariana tidak segera pergi, mungkin dia bisa kehilangan akal sehatnya. Sentuhan kulit yang hangat, aroma tubuh Ariana, semuanya terasa begitu menggoda. Dia menutup mata dan menghela napas dalam-dalam, merasakan ketegangan di bahunya perlahan-lahan mereda. Dia mematikan pancuran, mengambil handuk, dan mengeringkan tubuhnya. Setelah berpakaian, Nicholas berjalan menuju dapur yang menyatu dengan ruang makan. Sejak Ariana mengambil alih hampir semua pekerjaan Bibi Helen, Nicholas tidak lagi merasa nyaman untuk makan di rumahnya sendiri. Dia tidak mempercayai Ariana, wanita asing yang dinikahinya menyiapkan makanan untuknya. Ketika Nicholas memasuki dapur, dia mendapati Bibi Helen sedang mememotong buah untuk jus buah segar. Tidak ada Ariana di sana. Sejak permintaan cerai itu dilontarkan, sosok