Pintu depan yang besar dan kokoh berderit ketika pelayan membukanya, membiarkan keduanya masuk ke dalam rumah tua yang megah itu. Lantai marmer dingin di bawah kaki mereka, dan aroma kayu tua bercampur dengan wewangian bunga dari taman di luar.Ketika mereka memasuki ruang tamu, suara tawa pelan terdengar. Di sana, Katrina duduk di sofa bersama nenek Nicholas, mengenakan gaun pastel yang elegan, tampak seperti bagian dari keluarga ini. Senyum manis terpancar di wajahnya, tetapi ada kilatan dingin di matanya yang tertangkap oleh Ariana, meskipun hanya sesaat.Nenek Nicholas menoleh dan menatap Ariana dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ariana, sayang, kau sudah datang. Bagaimana kabarmu?" Dia bertanya, namun nada suaranya tidak sepenuhnya ramah.Ariana mengangguk pelan, menahan perasaan gugup yang mulai merayap. "Baik, Nek. Terima kasih."Nenek Nicholas tersenyum tipis, lalu melirik Katrina yang duduk dengan anggun di sebelahnya. "Katrina, kau selalu tampak begitu bersemangat. Aku yak
Setelah menerima informasi dari sopir Nicholas yang menjemput suaminya itu di bandara, keesokan malamnya Ariana menunggu di ruang tamu. Kecemasan dan keraguan bergolak dalam dirinya. Pertanyaan-pertanyaan tentang keluarganya dan tentang kondisi Katrina yang masih dalam pemulihan terus menghantuinya.Pintu terbuka, dan Nicholas melangkah masuk dengan langkah berat. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tetapi ekspresinya tetap kaku dan tidak menunjukkan emosi. Bibi Helen membawakan koper Nicholas ke kamar, sementara Nicholas hanya melirik Ariana sekilas sebelum melewati ruang tamu menuju kamarnya. Ariana mengumpulkan keberanian dan mengikuti langkahnya.Nicholas berhenti di depan pintu kamarnya, menoleh dengan tatapan kosong. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya dengan nada datar.Ariana merasakan ketegangan di udara. "Aku ingin bicara," jawabnya, berusaha mengatasi rasa gugupnya.Nicholas membuka pintu kamarnya lebar-lebar. "Masuklah," katanya dengan nada acuh tak acuh, tanpa menunjukkan minat
“Kau akan menangis?” ledek Nicholas, bibirnya melengkung menjadi senyum sinis. “Memohonlah padaku.”Ariana berdiri, perlahan melangkah mendekati Nicholas dengan wajah yang tampak memelas, seakan ingin memenuhi permintaan suaminya untuk memohon. Nicholas yang melihat itu semakin tersenyum angkuh. Ariana dan keluarganya bergantung kepadanya, dan dia menikmati kekuasaannya itu.“Aku akan melakukan apa pun yang kau pinta, bisakah kau meninggalkan Katrina?” tawar Ariana, suaranya penuh harap. Dia pasrah untuk menurunkan egonya, berdamai dengan Nicholas demi keluarganya dan demi ibu mertuanya.Nicholas mengangkat sebelah alisnya dengan skeptis. “Bagaimana dengan pria simpananmu?”Ariana tertegun, kebingungan terukir di wajahnya. “Pria apa?” tanyanya, terkejut dan bingung mendengar tuduhan itu.Nicholas menyeringai, “Oh, jadi kau tidak tahu tentang pria itu? Aku hanya ingin tahu, di antara kami, siapa yang lebih baik dalam hal itu?”“Apa maksudmu? Aku hanya pernah berciuman denganmu!” Ariana
Nicholas dan Ariana saling berpandangan dengan mata membelalak. Suasana di ruang makan mendadak berubah kaku saat Kakek Nicholas, Tuan Henry Nathan, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi terkejut. Di sampingnya, Nenek Nicholas, Nyonya Eleanor Nathan, tampak hampir pingsan karena keterkejutan.Satpam penjaga rumah, yang biasanya sangat ketat, membiarkan Tuan Henry dan Nyonya Eleanor masuk tanpa banyak bertanya, mengenali mereka sebagai anggota keluarga.“Kakek, Nenek!” Nicholas berusaha menyembunyikan rasa kagetnya di balik senyum. “Apa kabar? Ini... kejutan pagi yang tidak terduga.”Ariana merasakan jantungnya berhenti sejenak. Tak pernah terbayangkan bahwa Kakek dan Nenek Nicholas akan datang tanpa pemberitahuan. Terlebih lagi, dia merasa terpojok dengan situasi ini, merasa seperti telah menodai keturunan Nathan.Nenek Eleanor memandang Nicholas dengan khawatir. “Apa yang terjadi dengan wajahmu, Nicholas? Ada sesuatu yang tidak beres?”Ariana, yang ketakutan, merapatkan tubuhnya ke
Wajah Nicholas dan Ariana hampir bersentuhan, terkejut oleh kedekatan mereka dan berusaha menjauh secepat mungkin. Namun, pagi itu mereka sedikit lambat dalam merespons, dan akhirnya menyadari kehadiran Kakek dan Nenek di sana.Nicholas mengambil inisiatif dan mencium bibir Ariana. Meskipun terkejut, Ariana membalas ciuman itu dengan cepat. ‘Ini bagian dari akting,’ pikirnya.“Ehem!” suara Kakek Henry memecah momen itu. “Inilah alasan kenapa kami seharusnya tidak datang pagi-pagi,” canda Kakek sambil tertawa.Nicholas dan Ariana saling memandang dengan canggung. Nicholas kemudian menatap Kakek dan Neneknya. “Benar,” katanya dengan nada datar.Kakek Henry mengakhiri sarapannya dan berdiri. “Ayo Ele, tampaknya kami mengganggu kemesraan cucu kami.”“Baiklah, ayo kita pulang,” sahut Nenek Eleanor sambil tersenyum pada Ariana. “Kami hanya singgah sebentar.”Melihat Kakek dan Nenek Nicholas berdiri, Ariana ikut berdiri. “Kakek, Nenek. Nicholas bercanda. Tinggal lah lebih lama,” pinta Ariana
Nicholas merasa kepalanya berat, tapi dia tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang menurutnya tidak penting. Dia berjalan keluar dari kantornya tanpa mengatakan apapun kepada Clarissa dan langsung menuju mobilnya. Sekretarisnya, Clarissa, langsung mengikuti Nicholas sambil membawa beberapa dokumen dan tab di tangan."Selamat pagi, Pak Nicholas," sapa Clarissa dengan senyum profesional. "Ini jadwal Anda untuk minggu depan." Dia menyerahkan tab-nya kepada Nicholas.Nicholas mengangguk, mengambil iPad tersebut dan mulai membacanya. "Apakah ada hal penting yang perlu kuketahui?" tanyanya sambil tetap fokus pada layar iPad.Clarissa mengangguk. "Ya, Pak," jawabnya yakin sebelum lanjut menjelaskan, "Hari terapi nona Katrina minggu depan bertepatan dengan hari ulang tahun Nyonya. Apakah Bapak ingin mengosongkan jadwal di hari itu seperti tahun sebelumnya? Atau menambahkan jadwal di pagi harinya untuk menemani Nona Katrina?"Nicholas berhenti sejenak, lalu mengangkat pandangannya. "Ja
Ariana duduk di sudut ruang tamunya yang sepi. Langit-langit di atasnya tampak begitu tinggi dan terasa menjepit seiring dengan pikiran-pikiran yang berputar dalam kepalanya. Dia menghela napas panjang, lalu memandangi layar ponselnya yang masih menyala. Notifikasi kecil di sudut layar menunjukkan bahwa nomor Nicholas berhasil diblokir.Ada kelegaan, namun bersamaan dengan itu ada juga kekosongan. Hubungan mereka memang sudah retak sejak lama, tetapi keputusan untuk memblokir suaminya sendiri tetap saja membuatnya merasa hampa. “Apakah ini akhir yang benar-benar aku inginkan?” pikir Ariana. Dia tahu bahwa melindungi dirinya dari perdebatan yang tidak ada ujungnya adalah langkah yang tepat, tetapi setiap tindakan seolah menciptakan jarak yang semakin tidak bisa diatasi.Hatinya berat, namun kewajiban memanggil. Dia harus pergi ke kampus. Dengan cepat, dia mengenakan jaket dan meraih tasnya. Jalan menuju pintu terasa begitu panjang, seperti tiap langkah adalah satu keputusan besar. Di l
“Hallo, Ariana,” sapa Katrina dengan senyum manisnya, duduk di atas kursi rodanya. Di sebelahnya, Bibi Helen berdiri dengan nampan berisi semangkuk sup panas di tangannya.Ariana menghentikan langkah di ambang pintu ruang tamu. Melihat Katrina di rumahnya, jantungnya berdegup kencang, dan darahnya mendidih. Meskipun dia sudah berusaha move on, kenyataan bahwa orang ketiga dalam pernikahannya kini berada di rumahnya membuat amarah yang selama ini tertahan kembali membara. Dengan wajah tegang, Ariana berjalan mendekati mereka. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, nada suaranya dingin.Katrina melirik Bibi Helen sejenak sebelum menjawab dengan senyum lemah lembut yang tampak tidak berdosa. "Nicholas bilang dia kurang enak badan dan ingin sup buatanku. Untungnya, ada Bibi Helen yang membantu." ‘Bibi Helen? Pengkhianat bangsa!’ pikir Ariana, merasakan penghianatan yang lebih dalam. Ariana memaksakan senyum tipis di wajahnya. “Oh, jadi kau sudah tidak sabar untuk menjadi istri Nicho