Suara ketukan pintu berkali-kali di luar, seperti sebuah trauma mendalam bagi Elizabeth. Ia takut bila yang datang adalah Evan. Gadis itu baru saja berbaring setelah meminum obatnya. Namun, mendengar suara pintu rumahnya yang terketuk membuat Elizabeth urung beristirahat. "Elizabeth... Kau ada di rumah, kan? Elizabeth...!" Suara itu, suara milik Daniel. Seketika Elizabeth langsung turun dari atas ranjang kamar di lantai satu. Gadis itu berjalan ke depan dengan cepat. Pintu kayu berwarna putih terbuka, dan benar kalau Daniel lah yang muncul."Daniel," lirih Elizabeth menatapnya. Laki-laki itu selalu tersenyum seperti biasa, dia mengangkat kedua tangannya menunjukkan paper bag yang dia bawa saat ini. "Aku membawakanmu makan siang," ujarnya. "Ya ampun Niel, jangan begini setiap hari. Aku juga memasak, kok," ujar gadis itu membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Daniel tak menghiraukannya dan tetap berjalan ke dalam rumah, meletakkan paper bag yang dia bawa. Di atas meja kayu di ruan
Setelah pulang makan malam di kediaman orang tuanya, Evan memikirkan apa yang selama ini sering Exel adukan padanya, yaitu tentang sikap Clarisa saat bersama putranya. Evan tergerak melangkah menuju kamar Exel, ia membuka pelan pintu kayu di depannya dan melihat putranya yang tengah bermain sendirian. "Exel..." Evan memanggilnya dan masuk ke dalam sana. "Papa!" Anak itu langsung berdiri dan berjalan ke arahnya. "Papa mau ke mana?" Evan mengangkat tubuh mungil Exel yang kini terlihat lebih kurus. "Papa tidak ke mana-mana, Papa ingin berbincang dengan Exel," jawab Evan kembali menutup pintu kamar Exel dan berjalan turun ke lantai satu. Anaknya itu tersenyum merengkuh leher Evan dan menyandarkan kepalanya di pundak. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan kerja Evan. Di sana, Evan duduk dan memangku Exel yang sibuk mengambil bolpoin dan kertas di meja kerja Papanya, tangan kecilnya sigap mencoret-coret kertas. Evan mengecup pucuk kepala si kecil penuh kasih sayang. "Sayang, Papa ing
"Exel juga kangen sama Mama, kenapa Mama tidak pulang-pulang, Ma..." Anak itu langsung meminta gendong pada Elizabeth setelah gadis itu mempersilakan Papa mertuanya masuk ke dalam rumah. Arshen duduk di kursi ruang tamu. Ia memperhatikan cucunya yang menunjukkan sisi manja pada Elizabeth. Ekspresi Exel kini tidak lagi murung dan cemberut seperti sebelum-sebelumnya. "Sekarang lega kan, Exel sudah bertemu dengan Mama?" sahut Arshen terkekeh. "Iya Opa, senang sekali. Emmm, Mamaku..." Anak itu duduk nyaman dalam pangkuan Elizabeth dan memeluknya erat. Elizabeth terkekeh gemas, ia mengecupi pucuk kepala putranya berulang kali sebelum beralih menatap Papa mertuanya. "Papa, apa kabar? Maaf ya, Pa, cukup lama Elizabeth dan Papa tidak bertemu," ujar gadis itu sedikit menundukkan kepalanya. Arshen hanya tersenyum, laki-laki itu melihat tidak ada yang berubah dari Elizabeth. Tuturnya masih santun dan ia selalu menghormatinya. "Kabar Papa baik, Elizabeth. Papa ke sini ingin mengantarkan E
Sudah beberapa hari ini, Exel dan Elizabeth menghabiskan waktu di rumahnya yang sederhana. Tentu saja tanpa sepengetahuan Evan. Pertemuan rahasia itu hanya diketahui oleh mereka berdua dan Arshen saja. Hari sudah cukup sore saat Arshen datang menjemput cucunya. Kedatangan sang Opa membuat Exel cemberut kesal. Anak itu langsung memeluk Elizabeth erat-erat dan bersembunyi di balik tubuh Mamanya. "Opa kenapa jemput Exel sih? Exel masih mau main sama Mama!" pekik anak itu marah seperti biasa. "Ya besok lagi dong, sekarang harus pulang dulu." Arshen menjawabnya seraya duduk di kursi. Exel memasang wajah protes, hal ini membuat Elizabeth tersenyum. Gadis itu menangkup kedua pipi Exel dengan lembut. "Sayang, hari ini pulang dulu sama Opa. Besok pulang sekolah ke sini lagi, okay?" Elizabeth mengecup kening Exel. "Heumm, Opa nakal... Exel padahal masih ingin sama Mama." Arshen menghela napasnya panjang dan memberikan waktu pada Exel untuk bersama Elizabeth lagi. Perhatian dan kasih sa
Suara bariton seorang laki-laki itu mengejutkan Clarisa, sontak saja ia langsung menoleh ke belakang dengan wajah terkejut luar biasa. Seperti tertangkap basah, Clarisa panik dan gugup dengan apa yang harus dia lakukan kini. Tapi ia segera menguasai diri. Wanita itu tersenyum lembut sembari mengelus kepala Exel, seolah tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka. "Oh... aku hanya sedang menenangkan anakku," kilahnya dengan lihai. “Jangan menangis lagi ya, Sayang. Nanti Mama belikan mainan yang baru untukmu,” kata Clarisa dengan nada lembut. Tangannya mengusap pipi Exel yang basah oleh air mata."Exel mau ikut Paman!" seru Exel menepis tangan Clarisa saat itu juga. Sedangkan laki-laki berpakaian formal bertubuh tinggi tegap itu masih berdiri di sana memperhatikan mereka. Dia adalah ajudan pribadi Arshen Collin, yang sedang ditugaskan menjemput Exel. "Paman..." Exel menangis berlari menjauh dari Clarisa dan berlari ke arah laki-laki itu. "Tuan Kecil, kenapa menangis?" tanya lak
Elizabeth terkejut saat Exel datang dalam keadaan menangis sampai ketakutan. Bahkan hingga satu jam ini, Elizabeth masih menggendongnya. Anak itu belum bercerita apapun, dan Elizabeth berusaha membuat putranya untuk tenang lebih dulu. "Mama, Exel mau di sini terus sama Mama. Exel tidak mau pulang," bisik anak itu merengkuh erat leher Elizabeth. "Kenapa Sayang?" Elizabeth mengelus punggung kecil anak itu. "Kalau Exel tidak pulang nanti Papa marah, Nak." Exel kembali merengek dan mengeratkan rengkuhannya. Elizabeth pun berjalan mendekati kursi kayu di teras, ia merasa kakinya lelah setelah cukup lama menggendong Exel, hingga gadis itu memilih untuk duduk. Senyuman manis terukir di bibir Elizabeth, ia menarik tubuh Exel dan meminta anak itu untuk melihatnya. "Exel sayang Mama," ucap anak itu menatap Elizabeth dengan kedua mata yang sembab. "Mama juga sayang sekali sama Exel," jawab Elizabeth mengelus pipi putih putranya. "Exel kenapa menangis? Kenapa takut seperti ini, hem?" Anak
Usai dari kediaman Elizabeth, kini Evan kembali pulang ke kediamannya sendiri. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah, ia melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk diam di ruang tamu sebelum Jericho tiba-tiba muncul. "Tuan, di depan ada Nona Clarisa," ujar Jericho. Mendengar nama Clarisa yang diucapkan oleh ajudannya, seketika Evan terdiam, ia mulai teringat isak tangis Exel yang ketakutan. Sampai akhirnya pintu depan terbuka dan wanita cantik itu berambut panjang bergelombang itu masuk ke dalam rumah, Clarisa berjalan menghampiri Evan. "Loh, Evan... Anak kita mana?" tanya Clarisa menanyakan Exel. Evan menoleh ke arahnya sekilas sembari menggulung lengan panjang kemeja putih yang dia pakai. "Exel bersama Elizabeth, aku meminta Elizabeth menemaninya malam ini," jawab Evan dengan wajah tenang. "Be-bersama Elizabeth?!" tanya wanita itu dengan nada tak percaya. Dan Evan menanggapinya hanya dengan anggukan kepala. Hal ini membuat Clarisa merasa kebingungan, apalagi saat raut wajah
Keesokan hari saat pagi tiba, Elizabeth menjadi orang yang menyambut Exel saat anak itu bangun tidur. Exel merasa sangat bahagia semalaman dia bisa tidur dipeluk oleh Mamanya. Kini Exel masih digendong oleh Elizabeth sembari menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. "Exel masih mau di sini ya, Ma, nanti kalau ada Papa bilang saja Exel masih tidur," ujar anak itu sembari terkikik geli memeluk leher Elizabeth. "Iya Sayangku," jawab Elizabeth mengecup pipi Exel yang harum. Di saat mereka sibuk menyiapkan sarapan, tiba-tiba pintu utama rumah Elizabeth terketuk. Mendengarnya, lantas Exel langsung buru-buru turun dari gendongan Elizabeth dan anak itu berlari bersembunyi karena takut kalau Papanya yang akan menjemputnya. Elizabeth terkekeh menatap si kecil, anak itu menatapnya sembari meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Dan Elizabeth pun bergegas berjalan ke depan. Namun kali ini perasaannya tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Gadis itu membuka kunci dan menarik gagang pintu, sebelum