Sudah beberapa hari ini, Exel dan Elizabeth menghabiskan waktu di rumahnya yang sederhana. Tentu saja tanpa sepengetahuan Evan. Pertemuan rahasia itu hanya diketahui oleh mereka berdua dan Arshen saja. Hari sudah cukup sore saat Arshen datang menjemput cucunya. Kedatangan sang Opa membuat Exel cemberut kesal. Anak itu langsung memeluk Elizabeth erat-erat dan bersembunyi di balik tubuh Mamanya. "Opa kenapa jemput Exel sih? Exel masih mau main sama Mama!" pekik anak itu marah seperti biasa. "Ya besok lagi dong, sekarang harus pulang dulu." Arshen menjawabnya seraya duduk di kursi. Exel memasang wajah protes, hal ini membuat Elizabeth tersenyum. Gadis itu menangkup kedua pipi Exel dengan lembut. "Sayang, hari ini pulang dulu sama Opa. Besok pulang sekolah ke sini lagi, okay?" Elizabeth mengecup kening Exel. "Heumm, Opa nakal... Exel padahal masih ingin sama Mama." Arshen menghela napasnya panjang dan memberikan waktu pada Exel untuk bersama Elizabeth lagi. Perhatian dan kasih sa
Suara bariton seorang laki-laki itu mengejutkan Clarisa, sontak saja ia langsung menoleh ke belakang dengan wajah terkejut luar biasa. Seperti tertangkap basah, Clarisa panik dan gugup dengan apa yang harus dia lakukan kini. Tapi ia segera menguasai diri. Wanita itu tersenyum lembut sembari mengelus kepala Exel, seolah tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka. "Oh... aku hanya sedang menenangkan anakku," kilahnya dengan lihai. “Jangan menangis lagi ya, Sayang. Nanti Mama belikan mainan yang baru untukmu,” kata Clarisa dengan nada lembut. Tangannya mengusap pipi Exel yang basah oleh air mata."Exel mau ikut Paman!" seru Exel menepis tangan Clarisa saat itu juga. Sedangkan laki-laki berpakaian formal bertubuh tinggi tegap itu masih berdiri di sana memperhatikan mereka. Dia adalah ajudan pribadi Arshen Collin, yang sedang ditugaskan menjemput Exel. "Paman..." Exel menangis berlari menjauh dari Clarisa dan berlari ke arah laki-laki itu. "Tuan Kecil, kenapa menangis?" tanya lak
Elizabeth terkejut saat Exel datang dalam keadaan menangis sampai ketakutan. Bahkan hingga satu jam ini, Elizabeth masih menggendongnya. Anak itu belum bercerita apapun, dan Elizabeth berusaha membuat putranya untuk tenang lebih dulu. "Mama, Exel mau di sini terus sama Mama. Exel tidak mau pulang," bisik anak itu merengkuh erat leher Elizabeth. "Kenapa Sayang?" Elizabeth mengelus punggung kecil anak itu. "Kalau Exel tidak pulang nanti Papa marah, Nak." Exel kembali merengek dan mengeratkan rengkuhannya. Elizabeth pun berjalan mendekati kursi kayu di teras, ia merasa kakinya lelah setelah cukup lama menggendong Exel, hingga gadis itu memilih untuk duduk. Senyuman manis terukir di bibir Elizabeth, ia menarik tubuh Exel dan meminta anak itu untuk melihatnya. "Exel sayang Mama," ucap anak itu menatap Elizabeth dengan kedua mata yang sembab. "Mama juga sayang sekali sama Exel," jawab Elizabeth mengelus pipi putih putranya. "Exel kenapa menangis? Kenapa takut seperti ini, hem?" Anak
Usai dari kediaman Elizabeth, kini Evan kembali pulang ke kediamannya sendiri. Laki-laki itu berjalan masuk ke dalam rumah, ia melepaskan tuxedo hitamnya dan duduk diam di ruang tamu sebelum Jericho tiba-tiba muncul. "Tuan, di depan ada Nona Clarisa," ujar Jericho. Mendengar nama Clarisa yang diucapkan oleh ajudannya, seketika Evan terdiam, ia mulai teringat isak tangis Exel yang ketakutan. Sampai akhirnya pintu depan terbuka dan wanita cantik itu berambut panjang bergelombang itu masuk ke dalam rumah, Clarisa berjalan menghampiri Evan. "Loh, Evan... Anak kita mana?" tanya Clarisa menanyakan Exel. Evan menoleh ke arahnya sekilas sembari menggulung lengan panjang kemeja putih yang dia pakai. "Exel bersama Elizabeth, aku meminta Elizabeth menemaninya malam ini," jawab Evan dengan wajah tenang. "Be-bersama Elizabeth?!" tanya wanita itu dengan nada tak percaya. Dan Evan menanggapinya hanya dengan anggukan kepala. Hal ini membuat Clarisa merasa kebingungan, apalagi saat raut wajah
Keesokan hari saat pagi tiba, Elizabeth menjadi orang yang menyambut Exel saat anak itu bangun tidur. Exel merasa sangat bahagia semalaman dia bisa tidur dipeluk oleh Mamanya. Kini Exel masih digendong oleh Elizabeth sembari menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. "Exel masih mau di sini ya, Ma, nanti kalau ada Papa bilang saja Exel masih tidur," ujar anak itu sembari terkikik geli memeluk leher Elizabeth. "Iya Sayangku," jawab Elizabeth mengecup pipi Exel yang harum. Di saat mereka sibuk menyiapkan sarapan, tiba-tiba pintu utama rumah Elizabeth terketuk. Mendengarnya, lantas Exel langsung buru-buru turun dari gendongan Elizabeth dan anak itu berlari bersembunyi karena takut kalau Papanya yang akan menjemputnya. Elizabeth terkekeh menatap si kecil, anak itu menatapnya sembari meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Dan Elizabeth pun bergegas berjalan ke depan. Namun kali ini perasaannya tiba-tiba menjadi tidak nyaman. Gadis itu membuka kunci dan menarik gagang pintu, sebelum
Evan menatap Elizabeth selama beberapa saat, menelusuri wajah cantiknya yang diselimuti keseriusan. Merasa tak bisa melunakkan amarahnya, Evan lantas melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Elizabeth. Laki-laki itu pun berjalan keluar menuju gerbang depan. Namun, langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan Daniel yang nampak sama terkejutnya saat dia melihat keberadaan Evan di kediaman Elizabeth. Dengan wajah dingin dan sorot mata tak suka, Evan menghadang langkah Daniel dengan sengaja. "Menyingkirlah!" ucap Daniel menatap Evan dengan tak kalah tajam. "Apa yang kau lakukan sepagi ini di rumah wanita yang sudah bersuami, huh?" tanya Evan sedikit berdesis. Mendengar pertanyaan yang Evan lontarkan membuat Daniel tertawa sumbang, sebelum akhirnya laki-laki itu menatapnya sengit. "Bukankah wanita bersuami yang kau sebut itu sudah mengajukan surat cerai? Tapi apa yang malah dilakukan suaminya itu? Dia malah menahannya seperti seorang pengecut!" balas Daniel tersenyum simpul di satu
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Exel kini jatuh sakit. Anak itu demam hingga berhari-hari dan dia hanya terus menerus memanggil Mamanya, Elizabeth. Evan tidak tega melihat kondisi putranya yang sekarang, ia memutuskan untuk mendatangi Elizabeth di kediaman gadis itu. Namun, saat Evan datang, ia melihat ada Daniel di sana yang tengah berbincang dengan Elizabeth. Kedatangannya pun langsung disambut oleh Daniel dengan tatapan tak suka. "Mau apa kau ke sini lagi?" tanya Daniel dengan wajah datar. "Aku tidak ada keperluan denganmu, aku ingin bertemu dengan istriku," jawab Evan menatap lawannya dengan nyalang. Evan beralih ke arah Elizabeth, gadis itu bersembunyi di balik punggung kekar Daniel dan meremas lengan sahabatnya itu pelan sebelum Elizabeth menatap sendu pada Evan. Elizabeth telah muak dan lelah, ia tidak ingin terus berurusan dengan laki-laki ini. Sebisa mungkin, ia akan terus menghindarinya, dan apapun alasannya. "Tidak ada lagi yang perlu kita bahas, Evan. Aku
Pagi ini Elizabeth sudah membuat janji dengan Daniel di rumah sakit untuk melakukan pengobatan rutinnya kembali setelah kondisinya belakangan ini agak menurun.Elizabeth berjalan perlahan di lorong rumah sakit. Ia berangkat terlalu awal hingga lorong yang dia lewati kini benar-benar sepi. Namun, saat ia berbelok, Elizabeth mendengar suara tangisan seorang anak laki-laki. "Suara itu..." Elizabeth berucap dan menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. "Exel?" Elizabeth terdiam menyadari suara anak yang menangis berteriak di dalam sangat persis dengan suara Exel. "Mau pulang! Tidak mau di sini! Mau sama Mama pokoknya! Ayo pulang... Pulang sekarang!" Suara jeritan tangis anak laki-laki di dalam ruangan itu membuat ulu hati Elizabeth nyeri. Wajah Elizabeth menjadi cemas dan panik. "Exel... Itu suara Exel," ucap Elizabeth bergetar. Gadis itu lebih mendekat ke arah pintu dan Elizabeth ingin memastikannya. Saat Elizabeth hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba seseorang mencekal
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be
Sore harinya, Exel tidak mengingkari janji untuk mengajak Alicia pergi jalan-jalan dengannya. Bahkan setelah siang tadi Alicia bertemu Exel dan menganggap kalau Exel sungguh-sungguh seorang Papanya, sejak saat itu juga Alicia tidak mau diturunkan dari gendongan Exel. Untung saja, Si kembar tidak banyak protes setelah mereka berdua paham kalau sebenarnya Alicia tidak memiliki Papa. "Dad, kita makan malam di sana yuk, Dad!" ajak Varo menunjuk sebuah rumah makan Jepang. "Iya, Sayang. Jangan lari, Vano!" pekik Exel saat kedua anaknya turun dari dalam mobil. Hauri menoleh pada Alicia yang kini berjinjit meminta gendong pada Exel. "Alicia, mau gendong Mama Hauri?" tawar wanita itu. "Tidak mau. Alicia mau gendong Papa saja, Mama Tante" jawab anak itu. Alicia tidak mau memanggil Mama secara langsung pada Hauri, hingga ia juga menyematkan nama Tante di belakangnya, sampai menjadi Mama Tante. Mereka semua berjalan masuk ke dalam rumah makan tersebut dan memilih tempat yang pas. "Papa,