Evan menatap Elizabeth selama beberapa saat, menelusuri wajah cantiknya yang diselimuti keseriusan. Merasa tak bisa melunakkan amarahnya, Evan lantas melangkahkan kakinya meninggalkan rumah Elizabeth. Laki-laki itu pun berjalan keluar menuju gerbang depan. Namun, langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan Daniel yang nampak sama terkejutnya saat dia melihat keberadaan Evan di kediaman Elizabeth. Dengan wajah dingin dan sorot mata tak suka, Evan menghadang langkah Daniel dengan sengaja. "Menyingkirlah!" ucap Daniel menatap Evan dengan tak kalah tajam. "Apa yang kau lakukan sepagi ini di rumah wanita yang sudah bersuami, huh?" tanya Evan sedikit berdesis. Mendengar pertanyaan yang Evan lontarkan membuat Daniel tertawa sumbang, sebelum akhirnya laki-laki itu menatapnya sengit. "Bukankah wanita bersuami yang kau sebut itu sudah mengajukan surat cerai? Tapi apa yang malah dilakukan suaminya itu? Dia malah menahannya seperti seorang pengecut!" balas Daniel tersenyum simpul di satu
Setelah kejadian beberapa hari yang lalu, Exel kini jatuh sakit. Anak itu demam hingga berhari-hari dan dia hanya terus menerus memanggil Mamanya, Elizabeth. Evan tidak tega melihat kondisi putranya yang sekarang, ia memutuskan untuk mendatangi Elizabeth di kediaman gadis itu. Namun, saat Evan datang, ia melihat ada Daniel di sana yang tengah berbincang dengan Elizabeth. Kedatangannya pun langsung disambut oleh Daniel dengan tatapan tak suka. "Mau apa kau ke sini lagi?" tanya Daniel dengan wajah datar. "Aku tidak ada keperluan denganmu, aku ingin bertemu dengan istriku," jawab Evan menatap lawannya dengan nyalang. Evan beralih ke arah Elizabeth, gadis itu bersembunyi di balik punggung kekar Daniel dan meremas lengan sahabatnya itu pelan sebelum Elizabeth menatap sendu pada Evan. Elizabeth telah muak dan lelah, ia tidak ingin terus berurusan dengan laki-laki ini. Sebisa mungkin, ia akan terus menghindarinya, dan apapun alasannya. "Tidak ada lagi yang perlu kita bahas, Evan. Aku
Pagi ini Elizabeth sudah membuat janji dengan Daniel di rumah sakit untuk melakukan pengobatan rutinnya kembali setelah kondisinya belakangan ini agak menurun.Elizabeth berjalan perlahan di lorong rumah sakit. Ia berangkat terlalu awal hingga lorong yang dia lewati kini benar-benar sepi. Namun, saat ia berbelok, Elizabeth mendengar suara tangisan seorang anak laki-laki. "Suara itu..." Elizabeth berucap dan menghentikan langkahnya di depan sebuah pintu. "Exel?" Elizabeth terdiam menyadari suara anak yang menangis berteriak di dalam sangat persis dengan suara Exel. "Mau pulang! Tidak mau di sini! Mau sama Mama pokoknya! Ayo pulang... Pulang sekarang!" Suara jeritan tangis anak laki-laki di dalam ruangan itu membuat ulu hati Elizabeth nyeri. Wajah Elizabeth menjadi cemas dan panik. "Exel... Itu suara Exel," ucap Elizabeth bergetar. Gadis itu lebih mendekat ke arah pintu dan Elizabeth ingin memastikannya. Saat Elizabeth hendak menyentuh gagang pintu, tiba-tiba seseorang mencekal
Menjaga Exel yang rewel sejak pagi membuat Clarisa terus mengeluh dan mengumpat dalam hati. Wanita itu kini baru saja keluar dari dalam ruangan rawat inap Exel, perasaan lega dirasakan olehnya setelah Melody datang untuk menggantikannya. "Huhhh sampai kapan anak itu terus merepotkanku seperti ini! Kalau bukan karena Evan, aku malas sekali mengurusnya!"Wanita cantik itu berjalan di lorong rumah sakit sembari terus mengomel. Sampai tiba-tiba langkahnya terhenti, Clarisa menepi di dekat dinding saat beberapa suster melintas membawa pasien dalam sebuah brankar. Namun, wajah pasien perempuan itu membuat kedua mata Clarisa melebar dengan wajah amat terkejut. "I-itu, Elizabeth?!" pekik Clarisa menutup mulutnya tak percaya. "Astaga, aku tidak salah lihat, kan?!" Clarisa urung pergi, ia kembali mengejar beberapa suster tadi sebelum sebuah pintu ruangan tertutup dan satu orang suster keluar dari dalam sana. Segera Clarisa mendekati suster tersebut. "Suster... Suster, maaf saya ingin ber
Hari terlalu pagi untuk suara ketukan pintu yang keras dan beruntun di kediaman Elizabeth sekarang ini, entah siapa yang datang, nampaknya sangat tidak sabaran. Gadis itu berjalan tertatih menuju pintu depan, mungkin saja yang datang adalah Daniel, untuk mengantarkan obat milik Elizabeth. "Tunggu, sebentar!" pekik Elizabeth dengan suara kecilnya. Elizabeth pun membuka pintu rumahnya cepat, namun gadis itu terdiam dan kembali merasa kaget setelah melihat siapa yang datang sepagi ini. Perlahan Elizabeth mundur tanpa mengalihkan pandangannya pada wanita cantik di hadapannya kini. "Untuk apa kau ke sini, Clarisa?" tanya Elizabeth sembari merapatkan selendang yang ia pakai. "Untuk berbicara penting denganmu," jawab Clarisa satu langkah masuk ke dalam rumah Elizabeth. Clarisa menatap Elizabeth dengan sorot angkuh, berdiri dengan kedua tangan terlipat di dada. Air muka wanita itu berbeda tiap kali menatap Elizabeth, tidak seperti saat dia datang bersama Melody dan saat dia dengan deng
Waktu berjalan dengan cepat, hari ini Elizabeth pikir ia akan bertatap muka dengan Evan di pengadilan untuk segera menyelesaikan perceraian mereka. Namun sampai berjam-jam lamanya, Evan tidak kunjung datang hingga persidangan pun dibatalkan. Elizabeth merasa kecewa dan marah dipermainkan oleh laki-laki itu. "Dia benar-benar tidak datang!" geram Elizabeth memukulkan tangannya ke dinding dengan pelan. Padahal gadis itu sekuat tenaga melawan rasa sakit di tubuhnya untuk datang ke pengadilan dan segera menyelesaikan perceraiannya. "Evander Collin, teganya kau mempermainkanku... Aku tidak akan menyerah untuk terlepas darimu!" seru Elizabeth berkaca-kaca. Saat itu juga Elizabeth meninggalkan gedung pengadilan, gadis itu berjalan ke depan dan mencari taksi untuk mengantarkannya ke suatu tempat. Elizabeth telah muak dengan semua ini, dan terus disalahkan dari segala sisi oleh semua orang. Elizabeth ingin segalanya segera berakhir. Beberapa menit kemudian, Elizabeth tiba di depan kantor
Evan mengejar Elizabeth yang berlari keluar dari dalam ruangannya. Gadis itu melangkah terseok-seok dengan napas yang terputus-putus menuju lift. "Jangan mengikutiku!" pekik Elizabeth pada Evan yang kini melangkah ke arahnya. Jemari tangan Elizabeth yang gemetar menekan tombol lift dengan tak sabaran, berharap pintu itu segera tertutup. Namun, Elizabeth terlambat, Evan lebih dulu masuk ke dalam sana dan pintu lift barulah tertutup. Elizabeth menatap laki-laki itu dengan tatapan benci, sangat-sangat benci. "Elizabeth..." "Aku tidak mau mendengarkan apapun darimu! Harusnya kau tetap di sana dengan Clarisa dan biarkan aku pergi sekarang!" pekik Elizabeth memalingkan wajahnya dari Evan."Aku tidak tahu bila Clarisa akan datang," jawab Evan mendekati Elizabeth dan meraih lengan gadis itu. Namun, Elizabeth tetap menyentak tangan Evan. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum akhirnya pintu lift terbuka. Semua orang di lantai dasar kini menatap ke arah mereka berdua, Evan yan
Dua hari setelah kejadian di kantor Evan, Elizabeth jatuh sakit dan kondisinya menurun. Pukul sembilan pagi, Elizabeth memutuskan untuk pergi ke rumah sakit setelah ia menghubungi Daniel dan berkata ingin pergi sendiri.Ia merasa kondisinya lebih buruk dari hari-hari sebelumnya. Dadanya sering terasa nyeri dan berdebar kencang. Beberapa lebam muncul dan persendiannya terasa sakit. Gadis itu merapatkan jaket tebalnya, ia baru saja keluar dari jalan gang kecil rumahnya. Elizabeth menahan rasa pusing yang mencekam, bahkan saat berjalan menuju halte langkahnya seperti tidak sampai. 'Ya Tuhan, semoga aku bisa sampai ke rumah sakit. Jangan sampai aku pingsan di sini,' batin Elizabeth memohon dan berdoa. Saat gadis itu berjalan di tepian jalan, tiba-tiba sebuah mobil berwarna merah melaju dengan kecepatan tinggi dari belakangnya. Elizabeth menoleh cepat ke belakang mendengar deru keras mobil itu, kedua matanya melebar saat mobil itu benar-benar lurus tepat ke arahnya dengan sangat cepa