Keesokan harinya Elizabeth kembali pergi bekerja seperti hari-hari yang lalu. Namun, tidak seperti yang ia duga sebelumnya, situasi hari ini semakin mencekam dan mengerikan. Awalnya Elizabeth menduga kalau di tempat kerja ia akan kembali tenang, tapi ternyata ia salah besar. Kecaman-kecaman kejam justru semakin menghujaninya. Dan Elizabeth sungguh tidak menyangka hal ini akan terjadi, bahkan setelah berita itu telah hilang. ‘Kenapa tatapan mereka seperti ini? Bukankah beritanya sudah ditarik semalam?’ batin Elizabeth terus bertanya, ia berusaha fokus bermain piano dengan tenang meski hatinya penuh dengan kemelut. Sampai tiba-tiba beberapa wanita berpakaian anggun duduk tepat tidak jauh dari tempat Elizabeth duduk bersama pianonya. "Tuan Evan benar-benar sangat baik hati, dia menarik berita tentang kebusukan istrinya yang nakal itu,” ujar wanita dengan dress merah menyala.“Benar. Tuan Evan masih mau memaafkan istrinya yang berselingkuh, sungguh laki-laki yang luar biasa," sahut w
Detik waktu berjalan lebih buruk dari yang Evan duga. Setelah kemarahan Elizabeth padanya, laki-laki itu tidak bisa tidur semalaman penuh dan rasa kesal muncul dari berbagai sisi. Bahkan pagi ini, Evan duduk diam di ruang keluarga bersama dengan Jericho yang hanya diam di belakangnya. "Tuan, ruangannya sudah kembali dirapikan oleh pelayan," ujar Jericho tiba-tiba. Tidak ada sahutan apapun dari Evan hingga beberapa detik, sampai akhirnya dia membuka suara. "Aku sedang tidak ingin mengerjakan apapun hari ini," jawab Evan singkat. "Baik, Tuan."Suara langkah kaki masuk ke dalam rumah terdengar oleh Evan. Namun, dia tidak tertarik menengok dan melihat siapa yang kini masuk ke dalam rumahnya. Melihat sosok Clarisa yang muncul, lantas Jericho langsung meninggalkan Evan dan wanita itu. "Selamat pagi," sapa Clarisa tersenyum manis. Wanita itu mendekati Evan yang duduk diam menatap pemandangan taman di pagi yang mendung ini. "Evan, aku bawakan sarapan untukmu. Aku memasaknya sendiri,"
Suara ketukan pintu berkali-kali di luar, seperti sebuah trauma mendalam bagi Elizabeth. Ia takut bila yang datang adalah Evan. Gadis itu baru saja berbaring setelah meminum obatnya. Namun, mendengar suara pintu rumahnya yang terketuk membuat Elizabeth urung beristirahat. "Elizabeth... Kau ada di rumah, kan? Elizabeth...!" Suara itu, suara milik Daniel. Seketika Elizabeth langsung turun dari atas ranjang kamar di lantai satu. Gadis itu berjalan ke depan dengan cepat. Pintu kayu berwarna putih terbuka, dan benar kalau Daniel lah yang muncul."Daniel," lirih Elizabeth menatapnya. Laki-laki itu selalu tersenyum seperti biasa, dia mengangkat kedua tangannya menunjukkan paper bag yang dia bawa saat ini. "Aku membawakanmu makan siang," ujarnya. "Ya ampun Niel, jangan begini setiap hari. Aku juga memasak, kok," ujar gadis itu membuka pintu rumahnya lebar-lebar. Daniel tak menghiraukannya dan tetap berjalan ke dalam rumah, meletakkan paper bag yang dia bawa. Di atas meja kayu di ruan
Setelah pulang makan malam di kediaman orang tuanya, Evan memikirkan apa yang selama ini sering Exel adukan padanya, yaitu tentang sikap Clarisa saat bersama putranya. Evan tergerak melangkah menuju kamar Exel, ia membuka pelan pintu kayu di depannya dan melihat putranya yang tengah bermain sendirian. "Exel..." Evan memanggilnya dan masuk ke dalam sana. "Papa!" Anak itu langsung berdiri dan berjalan ke arahnya. "Papa mau ke mana?" Evan mengangkat tubuh mungil Exel yang kini terlihat lebih kurus. "Papa tidak ke mana-mana, Papa ingin berbincang dengan Exel," jawab Evan kembali menutup pintu kamar Exel dan berjalan turun ke lantai satu. Anaknya itu tersenyum merengkuh leher Evan dan menyandarkan kepalanya di pundak. Mereka berdua masuk ke dalam ruangan kerja Evan. Di sana, Evan duduk dan memangku Exel yang sibuk mengambil bolpoin dan kertas di meja kerja Papanya, tangan kecilnya sigap mencoret-coret kertas. Evan mengecup pucuk kepala si kecil penuh kasih sayang. "Sayang, Papa ing
"Exel juga kangen sama Mama, kenapa Mama tidak pulang-pulang, Ma..." Anak itu langsung meminta gendong pada Elizabeth setelah gadis itu mempersilakan Papa mertuanya masuk ke dalam rumah. Arshen duduk di kursi ruang tamu. Ia memperhatikan cucunya yang menunjukkan sisi manja pada Elizabeth. Ekspresi Exel kini tidak lagi murung dan cemberut seperti sebelum-sebelumnya. "Sekarang lega kan, Exel sudah bertemu dengan Mama?" sahut Arshen terkekeh. "Iya Opa, senang sekali. Emmm, Mamaku..." Anak itu duduk nyaman dalam pangkuan Elizabeth dan memeluknya erat. Elizabeth terkekeh gemas, ia mengecupi pucuk kepala putranya berulang kali sebelum beralih menatap Papa mertuanya. "Papa, apa kabar? Maaf ya, Pa, cukup lama Elizabeth dan Papa tidak bertemu," ujar gadis itu sedikit menundukkan kepalanya. Arshen hanya tersenyum, laki-laki itu melihat tidak ada yang berubah dari Elizabeth. Tuturnya masih santun dan ia selalu menghormatinya. "Kabar Papa baik, Elizabeth. Papa ke sini ingin mengantarkan E
Sudah beberapa hari ini, Exel dan Elizabeth menghabiskan waktu di rumahnya yang sederhana. Tentu saja tanpa sepengetahuan Evan. Pertemuan rahasia itu hanya diketahui oleh mereka berdua dan Arshen saja. Hari sudah cukup sore saat Arshen datang menjemput cucunya. Kedatangan sang Opa membuat Exel cemberut kesal. Anak itu langsung memeluk Elizabeth erat-erat dan bersembunyi di balik tubuh Mamanya. "Opa kenapa jemput Exel sih? Exel masih mau main sama Mama!" pekik anak itu marah seperti biasa. "Ya besok lagi dong, sekarang harus pulang dulu." Arshen menjawabnya seraya duduk di kursi. Exel memasang wajah protes, hal ini membuat Elizabeth tersenyum. Gadis itu menangkup kedua pipi Exel dengan lembut. "Sayang, hari ini pulang dulu sama Opa. Besok pulang sekolah ke sini lagi, okay?" Elizabeth mengecup kening Exel. "Heumm, Opa nakal... Exel padahal masih ingin sama Mama." Arshen menghela napasnya panjang dan memberikan waktu pada Exel untuk bersama Elizabeth lagi. Perhatian dan kasih sa
Suara bariton seorang laki-laki itu mengejutkan Clarisa, sontak saja ia langsung menoleh ke belakang dengan wajah terkejut luar biasa. Seperti tertangkap basah, Clarisa panik dan gugup dengan apa yang harus dia lakukan kini. Tapi ia segera menguasai diri. Wanita itu tersenyum lembut sembari mengelus kepala Exel, seolah tidak ada apapun yang terjadi di antara mereka. "Oh... aku hanya sedang menenangkan anakku," kilahnya dengan lihai. “Jangan menangis lagi ya, Sayang. Nanti Mama belikan mainan yang baru untukmu,” kata Clarisa dengan nada lembut. Tangannya mengusap pipi Exel yang basah oleh air mata."Exel mau ikut Paman!" seru Exel menepis tangan Clarisa saat itu juga. Sedangkan laki-laki berpakaian formal bertubuh tinggi tegap itu masih berdiri di sana memperhatikan mereka. Dia adalah ajudan pribadi Arshen Collin, yang sedang ditugaskan menjemput Exel. "Paman..." Exel menangis berlari menjauh dari Clarisa dan berlari ke arah laki-laki itu. "Tuan Kecil, kenapa menangis?" tanya lak
Elizabeth terkejut saat Exel datang dalam keadaan menangis sampai ketakutan. Bahkan hingga satu jam ini, Elizabeth masih menggendongnya. Anak itu belum bercerita apapun, dan Elizabeth berusaha membuat putranya untuk tenang lebih dulu. "Mama, Exel mau di sini terus sama Mama. Exel tidak mau pulang," bisik anak itu merengkuh erat leher Elizabeth. "Kenapa Sayang?" Elizabeth mengelus punggung kecil anak itu. "Kalau Exel tidak pulang nanti Papa marah, Nak." Exel kembali merengek dan mengeratkan rengkuhannya. Elizabeth pun berjalan mendekati kursi kayu di teras, ia merasa kakinya lelah setelah cukup lama menggendong Exel, hingga gadis itu memilih untuk duduk. Senyuman manis terukir di bibir Elizabeth, ia menarik tubuh Exel dan meminta anak itu untuk melihatnya. "Exel sayang Mama," ucap anak itu menatap Elizabeth dengan kedua mata yang sembab. "Mama juga sayang sekali sama Exel," jawab Elizabeth mengelus pipi putih putranya. "Exel kenapa menangis? Kenapa takut seperti ini, hem?" Anak
Sepulang dari rumah sakit, Xander mengajak Pauline makan siang bersama di sebuah rumah makan mewah, yang berada di hotel bintang lima. Xander membebaskan Pauline untuk memilih makanan apapun yang diinginkan gadis itu. "Makan yang banyak, kalau ada yang ingin tambah bilang saja," ujar Xander menatapnya. "Emmm ... aku tadi tidak salah pilih menu kan, Kak?" tanyanya tiba-tiba. Ia menatap menu makanannya dan menatap lagi menu makanan milik Xander. Laki-laki itu paham, ia langsung menggeser piringnya ke hadapan Pauline. Barulah gadis itu tersenyum padanya. "Tidak marah, kan?" "Tidak, Pauline..." Xander mengusap pucuk kepala Pauline dengan lembut dan penuh kasih sayang. Gadis itu memakannya dengan lahap, Xander merasa lega melihat Pauline yang sangat bersemangat seperti ini. "Pauline, aku boleh bertanya sesuatu padamu...." Gadis itu mengangguk. "Tanya apa?" Xander tersenyum tipis, ia mengulurkan tangannya menyilakan rambut Pauline lagi ke belakang telinganya. "Kalau misalkan kau
"Tuan, sebentar lagi ada jadwal untuk bertemu dengan Tuan Wister pukul sepu—""Batalkan!" Xander menyela cepat. "Aku ada acara penting pagi ini." Julius yang berjalan di belakangnya pun langsung mencoret jadwal yang ditolak oleh Xander. Decakan kesal terdengar lagi dari bubur Xander. Laki-laki itu menatap jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. "Aku harus pergi sekarang juga," ujar Xander menatap ajudannya tersebut. "Tuan mau ke mana?" Alih-alih menjawab, Xander justru bergegas pergi saat itu juga meninggalkan Julius di lorong kantor. Xander keluar dari dalam kantornya, ia segera masuk ke dalam mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan penuh sambil mengumpat-umpat. "Bagaimana bisa meeting ini memakan waktu lebih lama dari dugaanku!" geramnya. "Gadis itu, pasti sendiri!" **Sementara di suatu tempat, Pauline duduk seorang diri di sebuah bangku tunggu di dalam rumah sakit. Gadis itu menunggu antrean namanya dipanggil di dalam poli kand
Usai lelah berjalan-jalan ke sana dan kemari, Xander mengajak Pauline duduk di sebuah bangku kayu di sebuah taman yang masih menjadi satu kawasan dengan pasar malam. Pauline menatap beberapa barang yang ia beli. Wajahnya sangat antusias dan ceria, hingga membuat Xander juga merasa senang. "Kau tidak lelah?" tanya Xander sambil menyilakkan rambut panjang Pauline ke belakang telinga. "Tidak, Kak." Pauline menatap lampu hias di tangannya dan sebuah jepit mutiara yang Xander belikan untuknya. "Aku akan memakai jepit ini besok, saat pergi ke rumah sakit." Xander menatapnya dengan senyuman tipis. "Ke rumah sakit?" "Heem, besok ada jadwal cek kandunganku. Tapi aku akan meminta antar Paman Jericho saja ke sana, nanti aku masuk sendiri..." Pauline memasang wajah pias. "Rasanya aneh, kadang juga nelangsa ... saat semua orang datang bersama suami mereka. Tapi..." Gadis itu menyentuh perutnya di balik dress panjang berwarna kuning cerah itu. "Anakku tidak punya seorang Papa ... bahkan aku
Xander tidak pernah main-main dengan ucapannya. Malam ini, laki-laki itu mengunjungi kediaman Evan, tepat pukul setengah tujuh malam. Kedatangannya dibukakan pintu oleh Pauline, lagi-lagi. Gadis itu mendongak menatap Xander yang tersenyum padanya. "Ka-Kak Xander kenapa ke sini? Kak Exel sudah pulang dan—""Aku ingin bertemu dengan Adiknya Exel," jawab laki-laki itu membungkukkan badannya tepat di hadapan wajah Pauline. Kedua pipi Pauline bersemu. Gadis itu mundur satu langkah dan mengulurkan tangannya meminta Xander masuk. Tak lama kemudian, tampak Evan keluar dari dalam ruangan kerjanya. Dia tersenyum saat melihat sosok Xander masuk ke dalam rumah dan diikuti Pauline di belakangnya. "Ternyata ada tamu," ujar Evan tersenyum. "Iya, Om." "Kau sudah membuat janji dengan Exel? Apa kalian sengaja ketemuan di sini?" tanya Evan kini duduk di hadapan Xander. Dari belakang muncul Elizabeth. "Mungkin Exel sebentar lagi juga ke sini." Xander terkekeh. "Tidak Om, Tante. Saya tidak membua
Evan dan Elizabeth pergi ke luar kota sejak petang. Mereka berdua meninggalkan Pauline di rumah dengan Exel dan Hauri. Pauline sudah bangun sejak pukul lima, tepatnya sejak Mama dan Papanya pergi. Hingga kini, gadis itu duduk di dalam rumah, diam melamun mengusap perutnya sembari menatap suasana pagi yang berkabut. "Aku ingin memakan sesuatu yang manis," ucap Aleena menatap perutnya dan mengelusnya pelan. "Kau ingin makan dengan apa, Nak? Kenapa Mama ingin makan yang manis-manis?" Pauline tersenyum. "Emm ... jam segini di mana ada orang menjual cupcake rasa stroberi? Ingin sekali rasanya..." Pauline yang tengah sibuk mengusap perutnya, tiba-tiba ia melihat cahaya lampu mobil yang menyala dan sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan rumahnya. Bila penjaga depan mengizinkan orang itu masuk ke pekarangan rumah, berarti orang itu adalah orang terdekat keluarganya. Gadis itu beranjak seketika. "Siapa?" gumamnya. Pauline berjalan membuka pintu rumahnya, udara dingin dan kabut pu
"Salah satu Cucu Keluarga Rowand menghamili adikku, dia merenggutnya tanpa belas kasih, adikku sempat hampir gila selama beberapa minggu gara-gara bajingan Arthur!" Mendengar cerita panjang lebar yang Exel ungkapkan, Xander hampir tak percaya sama sekali dengan kenyataan pahit tentang Pauline yang ia dengar. Rasa kesal dan marah membumbung di dalam hatinya. Tak heran bila Pauline yang dulunya gadis kecil ceria berubah murung seperti itu, bahkan tatapannya padanya seperti takut dan benci, padahal kali ini mereka bertemu setelah terpisah semenjak mereka masih kecil. Xander menyandarkan punggungnya di kursi kayu di teras samping rumah orang tua Exel. "Di mana sekarang laki-laki bernama Arthur itu?" tanya Xander dengan wajah dingin dan datar. "Entahlah. Aku dan Papa masih terus melakukan penelusuran dan pencarian pada keluarga Rowand," jawab Exel. "Mereka semua harus membayar apa yang telah mereka lakukan pada adikku." "Aku akan ikut mencari tahu tentang mereka," ujar Xander menatap
Hari berlalu, musim pun berganti. Usia kandungan Pauline sudah beranjak ke lima bulan dan sudah tampak menyembul besar. Bersama dengan sang Mama, pagi ini Pauline datang ke dokter untuk memeriksakan kondisi bayinya. Dan hasil pemeriksaan mengatakan kalau kandungan Pauline benar-benar sehat. "Sayang, sebelum pulang, Pauline tidak menginginkan sesuatu?" tawar Elizabeth menatap putrinya. "Kue, roti, atau buah?" "Emm ... Pauline ingin beli es krim di dekat taman, Ma. Seperti yang kemarin Kakak belikan," jawab gadis itu. "Oke, kita ke sana sekarang. Jalan kaki saja, bagaimana?" tawar Elizabeth. Dengan antusias Pauline menganggukkan kepalanya. Gadis itu berjalan ke sebuah kedai es krim bersama Mamanya. Pauline menatap taman yang tampak sangat ramai pagi ini. Ia melihat anak-anak kecil berlarian bersama orang tua mereka. "Sayang, ini es krimnya ... rasa stroberi, kan?" Elizabeth menyerahkan pada sang putri. "Iya, Ma. Terima kasih." Pauline tersenyum manis meraih es krim
Mual-mual hebat dialami oleh Pauline setiap hari hingga membuatnya frustasi. Namun, perhatian Mama dan Papanya tidak pernah luput sehari pun. Seperti pagi ini, Pauline baru saja memuntahkan isi perutnya, padahal ia baru saja sarapan. Hingga wajahnya sangat pucat dan tubuhnya lemas. "Sayang, minum teh hangatnya dulu, Nak..." Elizabeth meraih segelas teh yang dibawakan oleh pembantunya. Ia merangkul Pauline yang duduk memeluknya. Gadis itu meminum teh hingga habis dan diam dengan napas yang mulai teratur. "Sampai kapan aku seperti ini, Ma?" tanya gadis itu memeluk Elizabeth. "Aku tidak suka, anak ini sangat menyiksa!" "Hussss ... Sayang, tidak boleh bilang seperti itu, Nak." Elizabeth mendekapnya dengan hangat. Pauline menyembunyikan wajahnya dalam pelukan sang Mama. "Pauline gugurkan saja anak ini, Ma. Pauline tidak tahan lagi ... lagipula dia tidak punya seorang Papa. Hidupnya pasti akan menderita, lebih baik Pauline gugurkan saja...""Apa yang kau katakan, Sayang? Melakukan h
"Dia pasti puas melihat aku seperti ini! Dia pasti bahagia setelah membuatku seperti ini!" Suara teriakan itu berasal dari dalam kamar mandi. Malam ini Pauline tidak bisa tidur sama sekali, pikirannya sangat kacau. Ia bingung harus berbuat apa, hanya kebencian dan keputusan asaan yang terus menghantuinya hingga membuat gadis itu ingin menyerah hidup. "Kenapa aku harus hamil! Kenapa kau ada di dalam perutku! Aku benci dirimu, aku tidak mau menganggapmu sebagai anakku! Aarrgghhh ...!" Gadis itu memukuli lantai kamar mandi dan diam di bawah guyuran shower. Tak peduli bagaimana dinginnya air itu. Sementara di luar, Elizabeth tengah membuatkan sup kesukaan Pauline karena anak gadisnya sama sekali tidak mau makan. Elizabeth membuka pintu kamar Pauline, ia tidak menemukan anaknya di sana. "Pauline...." Elizabeth terlihat panik. Sebelum ia mendengar suara Isak tangis di dalam kamar mandi. Wanita itu bergegas membuka pintu kamar mandi. Kedua mata Elizabeth terbeliak melihat Pauline te