Beberapa hari ini, Evan sangat sibuk. Bahkan Pauline dan Exel juga selalu bertanya-tanya pada Elizabeth. Kedua anak-anak manis Elizabeth, sore ini duduk di teras depan ditemani oleh James dan juga Elizabeth yang tengah menyuapi mereka berdua. "Sebelum ini Paman James selalu sibuk di kantor dan menjadi ajudan Papa, tapi sekarang Paman James menjadi ajudannya Exel dan Pauline!" seru Exel mendongak menatap James yang sejak tadi memperhatikannya. "Iya. Paman turun pangkat," jawab James menaikkan kedua alisnya. "Dulu menjadi ajudan Papanya Tuan Kecil, Paman harus tegas. Tapi setelah sekarang menjadi ajudannya Tuan Kecil, Paman harus pandai berteriak, bermain basket, bermain boneka, dan banyak lagi." "Iya Paman. Harus banyak olahraga biar tidak cepat tua," celetuk Exel. James menghela napasnya panjang dan jenuh. Hal itu membuat Elizabeth terkekeh, sejak dipercayai oleh Evan untuk menjaga Elizabeth dan anak-anaknya, sejak saat itu juga James selalu dikerjai oleh Exel dan Pauline. Dua b
Keesokan paginya, Evan kembali dibuat pusing dan kesal setelah laki-laki bernama Jeffrey yang ia temui di sebuah cafe kemarin, tiba-tiba menghilang. Bahkan orang-orang suruhannya pun kini datang ke kediaman Evan saat hari masih sangat-sangat pagi. Semua para ajudan Evan pun berada di dalam ruangan kerja saat ini. "Bagaimana bisa dia pergi tanpa ada satu pun dari kalian yang tahu?!" Evan menatap dua anak buahnya yang duduk di samping Jericho. "Kami mengawasi dari tempat yang berbeda Tuan. Kemarin malam, saat saya mengikutinya masuk ke dalam sebuah klub malam yang sangat ramai. Jadi saya kesulitan mencarinya, di sana saya kehilangan jejak laki-laki itu," jelas Felix dengan jujur. "Lalu, saat Felix mengabari saya, saat itu juga saya langsung menuju ke kediaman Jeffrey, dan di sana tidak ada siapa-siapa, Tuan. Saya dan Jericho sampai berjaga di sana dan kami benar-benar kehilangan dia," ungkap Jasper sebelum laki-laki itu menghela napasnya panjang. Evan langsung menyandarkan punggung
Sudah lebih dari dua minggu Clarisa yang menyamar sebagai pembantu itu menghilang layaknya ditelan bumi. Namun, tidak ada hal aneh atau berbahaya yang terjadi pada Evan dan keluarganya, hingga Evan menghentikan pencarian secara pribadi, namun di belakangnya ada seseorang yang masih menyelinap mencari informasi. Dan setelah beberapa hari ini, Evan juga kembali fokus pada pekerjaannya di kantor yang mulai menumpuk dan ada beberapa problem. Seperti pagi ini, Evan menerima laporan tentang beberapa berkasnya yang dianggap tidak cocok dan keliru dari sebuah perusahaan besar, yang sudah lama menjadi rekannya. Evan yang bingung, ia mencoba membicarakan dengan temannya yang telah menyusun tiga berkas penting tersebut. "Bagaimana bisa dia mengatakan berkas kita disusun tidak rapi dan ada beberapa data yang keliru! Tuan Kian sebelumnya tak pernah banyak protes," ujar Evan melepaskan kacamata berbingkai emas yang ia pakai dan memijit pangkal hidungnya. "Entahlah, Van. Aku juga bingung, pada
Seperti yang Elizabeth duga, anak-anaknya marah dan merajuk. Pauline sempat menangis, dan Exel hanya diam kecewa. Elizabeth duduk bersama mereka di ruang keluarga. Ia memeluk kedua anaknya dan mencoba untuk menjelaskan pada mereka berdua. "Kenapa tidak jadi pergi, Ma? Papa ke mana memangnya? Sibuk lagi ya, sampai Papa membatalkan jalan-jalannya?" tanya Exel, anak itu masih tertunduk memeluk sang Mama. "Sayang, Papa kan sibuk, banyak sekali pekerjaan Papa yang harus diselesaikan dalam waktu yang sangat cepat. Kita harus mengerti dan memahami kesibukan Papa. Meskipun Papa sebenarnya juga ingin pulang dan berkumpul dengan kita," ujar Elizabeth pada kedua anaknya. "Tapi kan kita sudah semangat menunggu Papa. Heumm ... sedih sekali, Ma," ucap Exel memejamkan matanya dan memeluk Elizabeth erat-erat. "Iya, Pauline ingin jalan-jalan sama Papa," ujar Pauline cemberut. Elizabeth menghela napasnya panjang. Wanita itu terdiam memeluk mereka berdua. Pasti mereka kecewa, kemarin juga Evan ing
Saat pagi tiba, Exel dan Pauline yang baru saja bangun langsung bergegas turun ke lantai satu. Sekolah mereka sedang libur, baru saja mereka menyelesaikan ujian di sekolahnya, hingga anak-anak menghabiskan banyak waktu di rumah. Kedua anak itu berjalan ke lantai satu, mereka berdua menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. "Selamat pagi, Sayang ... ayo sini, sarapan dulu," sapa Elizabeth yang terlihat sibuk menata hidangan sarapan di ruang makan. Exel menarik pelan lengan sang adik dan membawanya mendekati sang Mama. "Ma, Papa di mana?" tanya Pauline mendongak Mamanya dengan wajah menanti-nanti. "Papa sudah berangkat ke kantor, Sayang. Ada urusan penting yang harus Papa selesaikan. Jadi—""Papa kok sibuk terus sih, Ma? Semalam tidak bertemu Papa karena kita tidur, sekarang kita bangun pagi, Papa juga sudah tidak ada." Exel memasang wajah protes dan kecewa."Pauline kan, masih kangen sama Papa..." Kedua bocah itu kembali memasang wajah sedih seperti semalam. Elizabeth tidak tega
Sama seperti kemarin-kemarin, tiap malam Elizabeth selalu menunggu kepulangan Evan dengan perasaan jemu. Elizabeth tidak pernah mencoba berpikir yang tidak-tidak pada suaminya. Namun, wanita itu sedih saat Exel dan Pauline selalu menanyakan ke mana Papanya hingga malam hari tidak kunjung pulang. Saat ini, Elizabeth berdiri di dekat jendela rumahnya, menatap pemandangan luar yang malam ini sedang gerimis. "Kau di mana, Evan? Kenapa tidak menjawab panggilanku? Kau bilang kau akan lembur, tapi ini sudah terlalu malam..." Elizabeth menoleh menatap ke arah jam dinding kayu yang sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Wanita itu meremas selendang bermotif kotak-kotak dari kain flanel tebal, yang kini menutupi kedua pundaknya. Elizabeth tertunduk kecewa. 'Kalau seperti ini terus, harus dengan cara apa lagi aku membohongi anak-anak ... bagaimana kalau besok mereka marah lagi?' Elizabeth memejamkan kedua matanya dan mengembuskan napasnya panjang. Perlahan, ia menarik gorden putih di depa
Elizabeth menghindari pertanyaan anak-anaknya yang melulu menanyakan tentang Papanya yang tidak pernah ada waktu untuk mereka. Siang ini, Elizabeth mengajak Exel dan Pauline ke rumah lamanya, di sana, anak-anaknya bermain ditemani oleh Bibi Meria yang sangat menyayangi dua bocah manis tersebut. Dari jauh Elizabeth duduk diam dan perasaannya bercampur aduk saat ia memperhatikan buah hatinya. "Elize..." Suara sang Nenek membuyarkan lamunannya. Elizabeth menoleh cepat, wanita muda berparas cantik itu mendongak dan langsung mengelap air matanya dengan cepat. "Nenek?" Elizabeth tertunduk dan menyeka air matanya lagi. "Loh, kenapa kau menangis, Nak?" tanya Nenek Berta menyentuh pundak Elizabeth dan duduk di sampingnya. "Tidak papa, Nek," jawab Elizabeth mencoba tersenyum. "Tidak mungkin tidak ada apa-apa kau menangis. Kenapa? Elize ... kau bertengkar dengan Evan?" Berta mengusap rambut panjang Elizabeth. Gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya, dia tertunduk dan berusaha untuk men
Keesokan harinya, Evan kembali fokus pada pekerjaannya lagi. Setelah ia mengatakan yang sejujurnya pada sang istri tentang apa yang terjadi pada perusahaannya. Hari ini menjadi penentu bagi nasib perusahaan milik Evan. Meeting penting yang kembali diulang, setelah proyek sudah setengah jalan, hal ini sangat melelahkan untuk Evan. Di dalam ruangan yang luas, di perusahaan besar milik seorang Kian Arlando, laki-laki yang berusia empat puluh lima tahunan lebih, yang beberapa menit memimpin rapat penting di perusahaannya, bersama banyak orang-orang luar biasa di dalamnya. "Tuan..." Suara Jericho terdengar, ajudan itu menatap Tuannya yang duduk di sampingnya. Evan yang tadinya berbincang dengan salah satu rekannya, kini menoleh ke arah Jericho. "Ada apa, Jer?" tanya Evan. "Sepertinya, Tuan akan dipanggil oleh si Pak Tua itu," ujar Jericho berbisik. Dengan cepat Evan mempertahankan Tuan Kian di depan sana yang kini menyisihkan berkas milik Evan.Laki-laki tua itu membuka berkas bersa