Keputusan membawa Tania untuk kembali bekerja di kediaman Evan dan Elizabeth sudah bulat. Dan kini saatnya Elizabeth dan Evan memberitahu hal tersebut pada Exel. Putranya yang sejak awal sangat-sangat tidak menyukai Tania. Exel baru saja membersihkan tubuhnya dan dia juga sudah makan malam bersama orang tuanya. Kini Exel sedang mengusik Pauline yang tengah bermain. "Exel, ke sini sebentar, Sayang. Mama dan Papa ingin berbicara sesuatu dengan Exel," ujar Elizabeth pada sang putra. "Ada apa, Ma?" tanya Exel langsung mengambil posisi duduk di hadapan Mama dan Papanya. Evan berdehem pelan sebelum menjelaskan. Bahkan ekspresi Exel kini sudah menunjukkan kecurigaan dan rasa penasaran yang tinggi akan sesuatu hal yang mungkin tidak dia sukai. "Sayang, mulai besok, Nanny Tania akan kembali lagi ke sini," ujar Elizabeth pada Exel. Kedua alis tebal Exel langsung bertaut tajam. "Ma—""Jangan menyela ucapan orang tua, Exel," tegas Evan pada sang putra. "Dengarkan penjelasan Mamamu dulu."
Hari telah berganti, Evan dan Elizabeth sore ini tengah berada di luar kota. Dan mereka hanya pergi berdua, karena Pauline dan juga Exel menolak untuk ikut dan lebih memilih di rumah bersama Bibi dan James. Elizabeth pun pasti harus menemani Evan dalam acara apapun. Dan kini, mereka berdua sudah sampai di acara pesta yang digelar di sebuah hotel mewah. Sedari tadi, Evan melirik Elizabeth yang terlihat cantik dengan gaun putih panjang yang dia pakai. Namun sayangnya, Evan tidak terlalu menyukai gaun itu. "Apa tidak ada gaun lagi yang bisa kau pakai, selain gaun kurang bahan itu?" tanya Evan menatap Elizabeth yang baru saja berdiri keluar dari dalam mobil. "Apa? Apanya yang kurang bahan? Memang model seperti ini ... cantik bukan? Bagiku gaun ini sudah sopan, roknya juga panjang menutup kedua kakiku, hanya saja memperlihatkan bahunya saja, salahnya di mana?" tanya Elizabeth menatap sang suami. Evan menghela napasnya panjang. Sejak dulu dia paling tidak suka Elizabeth memakai pakaian
Elizabeth membuka kedua matanya saat merasakan kepalanya berdenyut. Wanita itu berdesis pelan dan ia mengedarkan pandangannya ke dalam kamar di mana ia berada. Perlahan, Elizabeth menghela napasnya panjang saat dia sadar kini tidak di dalam kamarnya. "Hemm ... kenapa aku memakai kemeja milik Evan?" gumam Elizabeth bertanya-tanya. Wanita itu menoleh saat pintu kamar mandi terbuka. Di sana muncul Evan dengan tatapan matanya yang tajam. "Loh, ka-kau ... kenapa kita di sini? Kita tidak langsung pulang ya, semalam?" tanya wanita itu. Wajahnya sangat polos seolah tidak terjadi sesuatu padanya. Evan masih diam hingga Elizabeth bingung. Wanita itu menggaruk pelan kepalanya dan ia menggerutu saat Evan diam tetap menatapnya tanpa mengatakan apapun. "Kenapa dia? Aneh sekali, aku kan hanya bertanya saja?" gerutu Elizabeth menyibakkan selimutnya. "Bagaimana rasanya mabuk, enak?" tanya Evan dengan suara dalamnya. Mendengar pertanyaan sang suami, lantas kedua mata Elizabeth melebar. Wanita i
Setelah perjalanan beberapa jam yang melelahkan, Evan dan Elizabeth pun sudah sampai di rumah. Mereka disambut dengan wajah kesal Exel dan Pauline yang berdiri di teras siap-siap memarahi Mama dan Papanya. "Hai Sayang ... kenapa memasang wajah cemberut begini, hem?" tanya Elizabeth mendekati mereka berdua. "Mama dan Papa bohong. Katanya langsung pulang, tapi saat kita bangun tidur, Mama dan Papa tidak sampai-sampai!" seru Pauline dengan wajah marahnya yang sangat mirip seperti sang Mama. "Iya. Papa ke mana? Exel juga sudah telpon berkali-kali pakai ponsel Paman Asgar, tapi tidak diangkat juga!" imbuh Exel dengan wajah kesal. Wajah-wajah marah anak-anak ini membuat Elizabeth menelan ludah. Lantas, Evan menyergah napasnya pelan. "Kenapa pula kalian menyalahkan Papa? Harusnya kalian memarahi Mama kalian yang semalam mab—""Tidak!" pekik Elizabeth menyela cepat. Wanita itu langsung mendekati Evan dan membungkam mulut sang suami dengan satu telapak tangannya. Elizabeth memasang waj
Siang telah berganti malam. Elizabeth sangat sibuk malam ini, bahkan setelah menidurkan Pauline, wanita itu langsung mengambil laptop dan tablet miliknya untuk membuat desain pakaian. Setelah Adelaide datang ke rumahnya sore tadi, Elizabeth bergegas membuatkan desain busana musim panas terbaru yang mereka targetkan rilis di tahun ini. Nampak Elizabeth yang begitu fokus mengerjakan pekerjaannya di dalam ruangan kerja, dan Evan sesekali menengok istrinya. Evan khawatir, karena Elizabeth jarang begadang, Evan takut bila istrinya nanti jatuh sakit. "Sayang, kau tidak mengantuk, ini sudah pukul satu dini hari," ujar Evan mengetuk pintu ruangan itu. Elizabeth mengangkat wajahnya dan menggeleng. "Kau istirahatlah lebih dulu, masih ada beberapa bagian yang harus aku rapikan," jawab Elizabeth kembali menatap tabletnya. Helaan napas pelan terdengar dari bibir Evan. Laki-laki itu berjalan mendekat dan melihat pekerjaan Elizabeth yang rumit, bahkan Evan sendiri juga bingung, bagaimana bisa i
"Halo Sayang, Exel mau ikut Mama dan Papa, tidak? Adik Pauline sekarang marah-marah pulang sekolah minta jalan-jalan. Apa Exel mau ikut?" Elizabeth bertanya pada Exel di dalam telepon. Anaknya itu berada di rumah, sementara Elizabeth berada butiknya. Beberapa urusan pekerjaannya pun baru saja rampung. "Tidak Ma. Mama jalan-jalan saja dengan Papa dan Adik Pauline, Exel tidak ikut," jawab Exel di balik panggilan itu. "Yakin? Exel tidak marah, kan?" tanya Elizabeth lagi. "Ya ampun, Mama ... Exel kan sudah dewasa!" pekik anak laki-laki itu di ponsel milik James. Mendengar jawaban putranya, Elizabeth langsung terkekeh. "Baiklah, kalau begitu. Nanti Mama belikan oleh-oleh ... sampai bertemu nanti, Sayang. Mama menyayangimu." Panggilan itu pun langsung ditutup oleh Elizabeth. Wanita itu mendekati Evan dan Pauline yang sudah menunggunya di dalam mobil bersama Jericho juga yang duduk di bangku kemudi. Kalau bukan karena Pauline mengamuk ingin pergi jalan-jalan, mungkin Elizabeth akan la
Keesokan harinya, Elizabeth mengajak Tania untuk pergi berbelanja dan hanya berdua saja. Mereka membeli beberapa bahan-bahan masakan, dan keperluan bulanan yang lainnya. Elizabeth sibuk memilih, dan Tania yang mendorong kereta belanja di belakangnya. "Oh iya, Tan ... bagaimana kabar Ibumu? Apakah sudah sembuh?" tanya Elizabeth pada pembantunya tersebut."Ibu saya sudah lebih baik, Nyonya. Jadi sekarang saya bisa fokus bekerja," jawab Tania. Elizabeth menghentikan mengambil barang, dia menatap Tania sejenak, namun wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis rasa ingin tahunya tentang ibu pembantu mudanya itu, dan Elizabeth hanya mengangguk saja. "Syukurlah kalau begitu. Aku juga ikut senang mendengarnya," ucap Elizabeth. "Iya Nyonya." Mereka pun kembali berjalan memilih beberapa barang-barang di sana, Elizabeth nampak memilih sebuah piring keramik yang sangat cantik-cantik. Hingga perhatiannya teralihkan pada Tania yang mengambil sebuah wadah bekal yang berbentuk sepe
Kediaman Evan dan Elizabeth sangat sepi setelah semua seisi rumah itu pergi dengan kesibukan masing-masing. Di rumah itu hanya ada Tania dan satu pembantu lainnya yang sudah sedikit lebih tua. Mereka pun bersama-sama membersihkan rumah. "Loh, Tan ... ini bekalnya siapa tidak dibawa?" tanya Bibi menoleh pada Tania. "Bekal?" Tania mengerutkan keningnya dan melihat bekal di atas meja. Bekal itu berada dalam wadah yang kemarin Tania belikan, itu milik Exel. Dan Tania ingat betul, bagaimana Exel sangat menyukai tempat bekal baru yang kemarin dia belikan. Wanita itu meletakkan kain lap yang dia bawa dan berjalan mendekati meja makan. "Ini punya Tuan Kecil, Bi. Berarti dia tidak membawa bekal sama sekali, dan pulangnya selalu saja sore. Kasihan dia..." Tania mulai merasa cemas. "Iya. Tapi mau bagaimana lagi? Jarak dari sekolah Tuan Kecil ke rumah kan jauh sekali. Belum lagi di rumah sekarang tidak ada orang," jelas Bibi menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan Tania. Tania menghel
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merang
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan