"Halo Sayang, Exel mau ikut Mama dan Papa, tidak? Adik Pauline sekarang marah-marah pulang sekolah minta jalan-jalan. Apa Exel mau ikut?" Elizabeth bertanya pada Exel di dalam telepon. Anaknya itu berada di rumah, sementara Elizabeth berada butiknya. Beberapa urusan pekerjaannya pun baru saja rampung. "Tidak Ma. Mama jalan-jalan saja dengan Papa dan Adik Pauline, Exel tidak ikut," jawab Exel di balik panggilan itu. "Yakin? Exel tidak marah, kan?" tanya Elizabeth lagi. "Ya ampun, Mama ... Exel kan sudah dewasa!" pekik anak laki-laki itu di ponsel milik James. Mendengar jawaban putranya, Elizabeth langsung terkekeh. "Baiklah, kalau begitu. Nanti Mama belikan oleh-oleh ... sampai bertemu nanti, Sayang. Mama menyayangimu." Panggilan itu pun langsung ditutup oleh Elizabeth. Wanita itu mendekati Evan dan Pauline yang sudah menunggunya di dalam mobil bersama Jericho juga yang duduk di bangku kemudi. Kalau bukan karena Pauline mengamuk ingin pergi jalan-jalan, mungkin Elizabeth akan la
Keesokan harinya, Elizabeth mengajak Tania untuk pergi berbelanja dan hanya berdua saja. Mereka membeli beberapa bahan-bahan masakan, dan keperluan bulanan yang lainnya. Elizabeth sibuk memilih, dan Tania yang mendorong kereta belanja di belakangnya. "Oh iya, Tan ... bagaimana kabar Ibumu? Apakah sudah sembuh?" tanya Elizabeth pada pembantunya tersebut."Ibu saya sudah lebih baik, Nyonya. Jadi sekarang saya bisa fokus bekerja," jawab Tania. Elizabeth menghentikan mengambil barang, dia menatap Tania sejenak, namun wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis rasa ingin tahunya tentang ibu pembantu mudanya itu, dan Elizabeth hanya mengangguk saja. "Syukurlah kalau begitu. Aku juga ikut senang mendengarnya," ucap Elizabeth. "Iya Nyonya." Mereka pun kembali berjalan memilih beberapa barang-barang di sana, Elizabeth nampak memilih sebuah piring keramik yang sangat cantik-cantik. Hingga perhatiannya teralihkan pada Tania yang mengambil sebuah wadah bekal yang berbentuk sepe
Kediaman Evan dan Elizabeth sangat sepi setelah semua seisi rumah itu pergi dengan kesibukan masing-masing. Di rumah itu hanya ada Tania dan satu pembantu lainnya yang sudah sedikit lebih tua. Mereka pun bersama-sama membersihkan rumah. "Loh, Tan ... ini bekalnya siapa tidak dibawa?" tanya Bibi menoleh pada Tania. "Bekal?" Tania mengerutkan keningnya dan melihat bekal di atas meja. Bekal itu berada dalam wadah yang kemarin Tania belikan, itu milik Exel. Dan Tania ingat betul, bagaimana Exel sangat menyukai tempat bekal baru yang kemarin dia belikan. Wanita itu meletakkan kain lap yang dia bawa dan berjalan mendekati meja makan. "Ini punya Tuan Kecil, Bi. Berarti dia tidak membawa bekal sama sekali, dan pulangnya selalu saja sore. Kasihan dia..." Tania mulai merasa cemas. "Iya. Tapi mau bagaimana lagi? Jarak dari sekolah Tuan Kecil ke rumah kan jauh sekali. Belum lagi di rumah sekarang tidak ada orang," jelas Bibi menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan Tania. Tania menghel
Dengan bantuan sang Mama, Exel pun kini telah menyiapkan sesuatu yang ingin ia berikan pada Tania. Anak laki-laki itu berjalan menuju ke paviliun milik Tania. Dengan langkah yang sangat pelan, Exel berdiri di depan pintu paviliun. Di tangannya terdapat satu box kue keju yang tadi sore dia beli bersama Elizabeth. "Bibi Tania..." Exel mengangguk Tania. "Bibi, ini Exel!" Tidak ada jawaban atau sahutan sama sekali dari dalam sana. Mau tidak mau, Exel pun membuka pintu paviliun tersebut. Di dalam sangat senyap dan sepi, entah di mana Tania saat ini. "Di mana Bibi Tania?" lirih Exel berjalan dengan pelan-pelan dan menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Anak laki-laki itu berjalan ke arah kamar Tania, dan Exel menghentikan langkahnya saat dia melihat Tania berada di dalam sana. Wanita itu tengah menatap sebuah gambar dalam figura foto dan tersenyum mengusap-usapnya. "Pertemuan ini tidak pernah aku sangka-sangka, ini semua seperti mimpi indah yang telah lama aku tunggu," ujar Tani
Keesokan harinya, Elizabeth menjemput Exel bersekolah bersama Pauline dan Evan. Setelah Pauline membeli beberapa mainan baru, anak itu antusias menunggu Kakaknya di sekolah. Hingga Exel baru saja keluar dari sekolahnya, dan langsung bergegas masuk ke dalam mobil. "Kakak, lihat ... Mama belikan mainan ini buat Pauline. Kita main sama-sama kalau sudah di rumah, ya," ujar Pauline menatap sang Kakak. Exel tersenyum dan menggeleng. "Tidak bisa, Kakak ada janji dengan Bibi Tania. Kakak mau mendengarkan Bibi Tania bercerita lagi," ujar Exel menolak ajakan sang adik. "Yahh ... Pauline sudah beli dua, ini buat Kakak Exel yang warna biru." Pauline menyerahkan mainannya pada sang Kakak. "Tidak bisa, Pauline. Kakak kan sudah bilang!" seru Exel. Elizabeth menoleh ke belakang di mana anak-anaknya berada. Ia menatap Exel yang baru kali ini menolak ajakan bermain dari adiknya. Tidak biasanya Exel membuat adiknya bersedih. Anak laki-laki itu padahal selalu menomorsatukan Pauline dalam segala ha
Tiga hari berturut-turut Evan memperhatikan istrinya yang terlihat sangat murung. Elizabeth galau saat anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya di luar, bahkan kadang dengan Tania, terlebih Exel. Evan tahu, istrinya pasti jenuh dan bosan memikirkannya. Hingga malam ini, Evan mengajak Elizabeth untuk menyempatkan waktu duduk berdua setelah anak-anak tertidur. Mereka berdua duduk di balkon menikmati malam gelap dan sunyi, juga angin yang berhembus sejuk. "Kau tidak mengantuk, Sayang?" tanya Evan merangkul pundak Elizabeth. Istrinya itu menggelengkan kepala pelan. Elizabeth memilih menyandarkan kepalanya di pundak Evan dan melingkarkan kedua tangannya memeluk tubuh sang suami."Aku kepikiran Exel. Kenapa dia seperti menjauh dari kita ... bahkan sore tadi dia menolak untuk berkumpul dengan kita berdua," ujar Elizabeth cemberut. "Pasti ada alasan di balik semua itu, mungkin saja dia suka saat kita sedang bersama, jadi dia menolak bergabung," ungkap Evan, dia tidak senang bila Elizab
Butuh waktu berjam-jam untuk Elizabeth dan Evan sampai di Koln. Mereka berdua tiba tepat pukul dua siang, dan Asgar yang mengemudikan mobil pun langsung menuju ke hotel tempat di mana Elizabeth dan Evan menginap. Hotel itu berada tidak jauh dari salah satu bangunan megah dengan Arsitektur Gotik yang sangat indah. Elizabeth pun sampai ternganga menatap Katedral Cologne yang berada di depan sana. "Woaahh ... indah sekali," ucap wanita itu tersenyum senang. "Meskipun aku bertahun-tahun tinggal di sini, tapi baru kali ini aku bisa melihat bangunan istimewa itu di depan mata kepalaku sendiri. Ya, walaupun jaraknya sedikit jauh dari hotel." Elizabeth tersenyum senang, ia menghirup udara segar dengan bebas di sana. Sebelum Evan melangkah ke arahnya sembari membawa segelas minuman yang sudah dia pesan dari luar sebelum mereka masuk. "Kau menyukainya?" tanya Evan ikut menatap ke arah pandang Elizabeth. "Heem. Aku sudah lama memimpikan ingin ke sini. Dulu aku hanya berencana terus dengan
Keesokan harinya, Elizabeth dan Evan pagi sudah berpakaian rapi dan bersiap. Mereka berdua pun kini berada di kediaman salah satu rekan Evan yang meminta Evan untuk datang ke kediamannya yang berada di Koln. Laki-laki itu adalah Jorce, dia pebisnis hebat yang telah berteman lama dengan Evan, bahkan mereka kenal sejak jaman kuliah. Hanya saja baru terhubung lagi setelah beberapa tahun ini. "Aku tidak menyangka kau benar-benar datang ke rumahku! Aku pikir kau hanya bercanda, Evander!" seru laki-laki itu dengan wajah berbunga-bunga. "Aku tidak mungkin berbohong bila aku benar-benar datang, Jorce!" seru Evan menjabat tangan temannya itu. Jorce pun membalasnya dengan tertawa, laki-laki yang menyambut kedatangan Evan dengan sangat senang hati. Bahkan sudah terlihat akrab seperti saudaranya sendiri. "Baiklah, mari ... silakan masuk," ajaknya pada Elizabeth dan Evan. Mereka berdua masuk ke dalam rumah yang memiliki arsitektur bagaikan istana, milik Jorce. Dan mereka melangkah ke arah ru