Elizabeth membuka kedua matanya saat merasakan kepalanya berdenyut. Wanita itu berdesis pelan dan ia mengedarkan pandangannya ke dalam kamar di mana ia berada. Perlahan, Elizabeth menghela napasnya panjang saat dia sadar kini tidak di dalam kamarnya. "Hemm ... kenapa aku memakai kemeja milik Evan?" gumam Elizabeth bertanya-tanya. Wanita itu menoleh saat pintu kamar mandi terbuka. Di sana muncul Evan dengan tatapan matanya yang tajam. "Loh, ka-kau ... kenapa kita di sini? Kita tidak langsung pulang ya, semalam?" tanya wanita itu. Wajahnya sangat polos seolah tidak terjadi sesuatu padanya. Evan masih diam hingga Elizabeth bingung. Wanita itu menggaruk pelan kepalanya dan ia menggerutu saat Evan diam tetap menatapnya tanpa mengatakan apapun. "Kenapa dia? Aneh sekali, aku kan hanya bertanya saja?" gerutu Elizabeth menyibakkan selimutnya. "Bagaimana rasanya mabuk, enak?" tanya Evan dengan suara dalamnya. Mendengar pertanyaan sang suami, lantas kedua mata Elizabeth melebar. Wanita i
Setelah perjalanan beberapa jam yang melelahkan, Evan dan Elizabeth pun sudah sampai di rumah. Mereka disambut dengan wajah kesal Exel dan Pauline yang berdiri di teras siap-siap memarahi Mama dan Papanya. "Hai Sayang ... kenapa memasang wajah cemberut begini, hem?" tanya Elizabeth mendekati mereka berdua. "Mama dan Papa bohong. Katanya langsung pulang, tapi saat kita bangun tidur, Mama dan Papa tidak sampai-sampai!" seru Pauline dengan wajah marahnya yang sangat mirip seperti sang Mama. "Iya. Papa ke mana? Exel juga sudah telpon berkali-kali pakai ponsel Paman Asgar, tapi tidak diangkat juga!" imbuh Exel dengan wajah kesal. Wajah-wajah marah anak-anak ini membuat Elizabeth menelan ludah. Lantas, Evan menyergah napasnya pelan. "Kenapa pula kalian menyalahkan Papa? Harusnya kalian memarahi Mama kalian yang semalam mab—""Tidak!" pekik Elizabeth menyela cepat. Wanita itu langsung mendekati Evan dan membungkam mulut sang suami dengan satu telapak tangannya. Elizabeth memasang waj
Siang telah berganti malam. Elizabeth sangat sibuk malam ini, bahkan setelah menidurkan Pauline, wanita itu langsung mengambil laptop dan tablet miliknya untuk membuat desain pakaian. Setelah Adelaide datang ke rumahnya sore tadi, Elizabeth bergegas membuatkan desain busana musim panas terbaru yang mereka targetkan rilis di tahun ini. Nampak Elizabeth yang begitu fokus mengerjakan pekerjaannya di dalam ruangan kerja, dan Evan sesekali menengok istrinya. Evan khawatir, karena Elizabeth jarang begadang, Evan takut bila istrinya nanti jatuh sakit. "Sayang, kau tidak mengantuk, ini sudah pukul satu dini hari," ujar Evan mengetuk pintu ruangan itu. Elizabeth mengangkat wajahnya dan menggeleng. "Kau istirahatlah lebih dulu, masih ada beberapa bagian yang harus aku rapikan," jawab Elizabeth kembali menatap tabletnya. Helaan napas pelan terdengar dari bibir Evan. Laki-laki itu berjalan mendekat dan melihat pekerjaan Elizabeth yang rumit, bahkan Evan sendiri juga bingung, bagaimana bisa i
"Halo Sayang, Exel mau ikut Mama dan Papa, tidak? Adik Pauline sekarang marah-marah pulang sekolah minta jalan-jalan. Apa Exel mau ikut?" Elizabeth bertanya pada Exel di dalam telepon. Anaknya itu berada di rumah, sementara Elizabeth berada butiknya. Beberapa urusan pekerjaannya pun baru saja rampung. "Tidak Ma. Mama jalan-jalan saja dengan Papa dan Adik Pauline, Exel tidak ikut," jawab Exel di balik panggilan itu. "Yakin? Exel tidak marah, kan?" tanya Elizabeth lagi. "Ya ampun, Mama ... Exel kan sudah dewasa!" pekik anak laki-laki itu di ponsel milik James. Mendengar jawaban putranya, Elizabeth langsung terkekeh. "Baiklah, kalau begitu. Nanti Mama belikan oleh-oleh ... sampai bertemu nanti, Sayang. Mama menyayangimu." Panggilan itu pun langsung ditutup oleh Elizabeth. Wanita itu mendekati Evan dan Pauline yang sudah menunggunya di dalam mobil bersama Jericho juga yang duduk di bangku kemudi. Kalau bukan karena Pauline mengamuk ingin pergi jalan-jalan, mungkin Elizabeth akan la
Keesokan harinya, Elizabeth mengajak Tania untuk pergi berbelanja dan hanya berdua saja. Mereka membeli beberapa bahan-bahan masakan, dan keperluan bulanan yang lainnya. Elizabeth sibuk memilih, dan Tania yang mendorong kereta belanja di belakangnya. "Oh iya, Tan ... bagaimana kabar Ibumu? Apakah sudah sembuh?" tanya Elizabeth pada pembantunya tersebut."Ibu saya sudah lebih baik, Nyonya. Jadi sekarang saya bisa fokus bekerja," jawab Tania. Elizabeth menghentikan mengambil barang, dia menatap Tania sejenak, namun wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan menepis rasa ingin tahunya tentang ibu pembantu mudanya itu, dan Elizabeth hanya mengangguk saja. "Syukurlah kalau begitu. Aku juga ikut senang mendengarnya," ucap Elizabeth. "Iya Nyonya." Mereka pun kembali berjalan memilih beberapa barang-barang di sana, Elizabeth nampak memilih sebuah piring keramik yang sangat cantik-cantik. Hingga perhatiannya teralihkan pada Tania yang mengambil sebuah wadah bekal yang berbentuk sepe
Kediaman Evan dan Elizabeth sangat sepi setelah semua seisi rumah itu pergi dengan kesibukan masing-masing. Di rumah itu hanya ada Tania dan satu pembantu lainnya yang sudah sedikit lebih tua. Mereka pun bersama-sama membersihkan rumah. "Loh, Tan ... ini bekalnya siapa tidak dibawa?" tanya Bibi menoleh pada Tania. "Bekal?" Tania mengerutkan keningnya dan melihat bekal di atas meja. Bekal itu berada dalam wadah yang kemarin Tania belikan, itu milik Exel. Dan Tania ingat betul, bagaimana Exel sangat menyukai tempat bekal baru yang kemarin dia belikan. Wanita itu meletakkan kain lap yang dia bawa dan berjalan mendekati meja makan. "Ini punya Tuan Kecil, Bi. Berarti dia tidak membawa bekal sama sekali, dan pulangnya selalu saja sore. Kasihan dia..." Tania mulai merasa cemas. "Iya. Tapi mau bagaimana lagi? Jarak dari sekolah Tuan Kecil ke rumah kan jauh sekali. Belum lagi di rumah sekarang tidak ada orang," jelas Bibi menghentikan pekerjaannya dan memperhatikan Tania. Tania menghel
Dengan bantuan sang Mama, Exel pun kini telah menyiapkan sesuatu yang ingin ia berikan pada Tania. Anak laki-laki itu berjalan menuju ke paviliun milik Tania. Dengan langkah yang sangat pelan, Exel berdiri di depan pintu paviliun. Di tangannya terdapat satu box kue keju yang tadi sore dia beli bersama Elizabeth. "Bibi Tania..." Exel mengangguk Tania. "Bibi, ini Exel!" Tidak ada jawaban atau sahutan sama sekali dari dalam sana. Mau tidak mau, Exel pun membuka pintu paviliun tersebut. Di dalam sangat senyap dan sepi, entah di mana Tania saat ini. "Di mana Bibi Tania?" lirih Exel berjalan dengan pelan-pelan dan menoleh ke kanan dan ke kiri mencari-cari. Anak laki-laki itu berjalan ke arah kamar Tania, dan Exel menghentikan langkahnya saat dia melihat Tania berada di dalam sana. Wanita itu tengah menatap sebuah gambar dalam figura foto dan tersenyum mengusap-usapnya. "Pertemuan ini tidak pernah aku sangka-sangka, ini semua seperti mimpi indah yang telah lama aku tunggu," ujar Tani
Keesokan harinya, Elizabeth menjemput Exel bersekolah bersama Pauline dan Evan. Setelah Pauline membeli beberapa mainan baru, anak itu antusias menunggu Kakaknya di sekolah. Hingga Exel baru saja keluar dari sekolahnya, dan langsung bergegas masuk ke dalam mobil. "Kakak, lihat ... Mama belikan mainan ini buat Pauline. Kita main sama-sama kalau sudah di rumah, ya," ujar Pauline menatap sang Kakak. Exel tersenyum dan menggeleng. "Tidak bisa, Kakak ada janji dengan Bibi Tania. Kakak mau mendengarkan Bibi Tania bercerita lagi," ujar Exel menolak ajakan sang adik. "Yahh ... Pauline sudah beli dua, ini buat Kakak Exel yang warna biru." Pauline menyerahkan mainannya pada sang Kakak. "Tidak bisa, Pauline. Kakak kan sudah bilang!" seru Exel. Elizabeth menoleh ke belakang di mana anak-anaknya berada. Ia menatap Exel yang baru kali ini menolak ajakan bermain dari adiknya. Tidak biasanya Exel membuat adiknya bersedih. Anak laki-laki itu padahal selalu menomorsatukan Pauline dalam segala ha