Kejadian semalam membuat Elizabeth paginya menjadi sedikit cuek dan sedikit tak acuh pada Tania. Padahal semalam, saklar penerangan paviliun baik-baik saja. Selain itu, ada Jericho dan James yang masih berbincang di teras belakang, lantas untuk apa Tania harus berjalan ke lantai dua mencari Evan? Elizabeth merasa ada yang aneh dengan pengasuh itu. Tapi ia berusaha menepisnya. Pagi ini, ia harus bersiap pergi ke butiknya. Elizabeth sudah bersiap dengan sangat cantik, dan menyiapkan beberapa berkas pekerjaannya. "Mamaku..." Suara Pauline terdengar, anak itu mengintip Elizabeth dari pintu kamar. "Hai Sayang, wah ... anak Mama sudah cantik sekali," ucap Elizabeth melihat si kecil sudah lengkap dengan balutan seragam sekolahnya. "Iya, Nanny Tania yang bantu Pauline! Nanny Tania bilang, nanti siang mau bermain ayunan lagi bersama Pauline, Ma," ujar anak itu tersenyum manis dan bersemangat. Elizabeth terkekeh gemas. "Iya Sayang. Tapi Pauline jangan nakal-nakal ya, Nak," ucap sang Mama.
Saat jam istirahat, Elizabeth menyempatkan berkumpul untuk makan siang bersama dengan Adelaide dan juga Annete. Mereka baru saja membahas beberapa hal penting tentang butik dan yang lainnya. "Eli, kenapa? Kau tidak enak badan?" tanya Annete menatap aneh pada Elizabeth yang terlihat tidak mood. "Heem. Oh ya, Annete ... ada yang ingin aku tanyakan padamu," ujar Elizabeth. "Ada apa, Eli? Kelihatannya serius sekali," ujar Annete. Elizabeth mengangguk. "Apa kau tahu sesuatu tentang Tania? Maksudku asalnya, atau mungkin sesuatu informasi tentangnya, apa kau tahu?" tanya Elizabeth pada sahabatnya. Anggukan diberikan oleh Annete. Wanita itu menghentikan kegiatan makannya. "Kalau kata saudaraku, Tania itu pendatang di sini. Tapi pendatang dari mana, aku tidak tahu," ujar Annete menggelengkan kepalanya. "Yang jelas dia bukan asli orang sini." "Emm, baiklah kalau begitu..." "Memangnya ada apa, Elize?" tanya Adelaide memperhatikannya. Elizabeth menggeleng pelan. "Tidak ada kok, tidak pa
Malam ini Elizabeth duduk sendirian di teras samping rumah. Ditemani secangkir teh, wanita itu membuka-buka beberapa lembar kertas. Elizabeth sengaja mengerjakan semua pekerjaannya di luar, karena di dalam rumah suara Pauline dan Exel yang begitu berisik saat mereka bercanda tawa. Jadi Elizabeth mencari suasana yang sepi. "Permisi, Nyonya..." Suara Jericho membuat Elizabeth menoleh cepat. Ia langsung menutup berkasnya dan beralih menatap ajudan suaminya itu lagi. "Jer, ada apa?" tanya Elizabeth. "Ada yang ingin saya sampaikan pada Nyonya," ujar Jericho, dia berdiri mendekat. "Tentang pengasuh itu, Nyonya." Kening Elizabeth langsung mengerut dan wanita itu mendongak menatapnya. "Tania, maksudmu? Ada apa dengannya?" Jericho sedikit membungkukkan badannya. "Saya menangkap basah Tania saat dia diam-diam sedang merekam video dan memotret Tuan Evan dan Tuan Kecil sore tadi, Nyonya," jelasnya pada sang Nyonya. Mendengar hal itu, Elizabeth langsung meletakkan berkas di tangannya ke a
Elizabeth berusaha untuk baik-baik saja saat bersama Tania di sampingnya, seolah tak terjadi apa-apa dan seperti awal-awal Tania di sini. Malam ini, Elizabeth ditemani oleh Tania memasak di dapur. Mereka berdua memasak bersama, karena sejak awal Elizabeth tidak keberatan bila Tania memasak di sana. "Nyonya memasak apa?" tanya Tania menoleh pada Elizabeth."Aku membuatkan sup untuk anak-anak," jawab Elizabeth sembari fokus pada masakannya. "Semenjak Bibi sakit, aku harus pintar-pintar mengolah makanan supaya memiliki rasa yang sama seperti masakan Bibi. Karena anak-anakku sangat menyukainya." "Iya Nyonya. Kalau Tuan ... sepertinya Tuan sangat menyukai olahan daging sapi ya, Nyonya?" tanya Tania tiba-tiba.Elizabeth langsung menghentikan kegiatannya. Ia diam tidak menjawab dan melirik Tania di sampingnya, yang masih fokus pada olahan makanannya. "Kalau olahan daging sapi, saya rasa ada beberapa macam seperti steak barbeque, lalu memberikan bumbu manis, atau dipanggang dengan api sed
"Pauline, sudah jangan menangis lagi. Tidak papa kok, kan sudah aman dengan Kakak." Exel mengusap pipi Pauline yang basah. Adiknya itu langsung memeluknya dengan erat sembari terus mengomel kalau dia tidak mau dekat-dekat dengan pengasuhnya lagi. Sejujurnya Exel sendiri juga tidak terpikirkan kalau Tania akan memarahi dan membentak Pauline seperti ini, niatnya dia hanya menjahili wanita itu, tapi dia benar-benar marah. "Pauline mau bilang sama Mama, Pauline tidak mau sama Nanny lagi! Nanny bad!" seru anak itu masih memeluk erat Exel sambil duduk di atas sofa. "Iya, iya, nanti diaduin ... tapi jangan nangis ya," bujuk Exel memeluk tubuh kecil sang adik. Barulah Pauline terdiam dan tenang. Tidak lagi terdengar tangisan, Exel sungguh berhasil menenangkan adiknya. Beberapa jam kemudian, Elizabeth dan Evan pulang. Mereka berdua disambut oleh Exel dan Pauline. "Mama..." Suara melengking milik Pauline membuat Elizabeth langsung menoleh. "Ya ampun, anak Mama kenapa sedih-sedih sepert
Karena kejadian kemarin, hari ini Pauline tidak lagi mau berbicara dengan Tania. Dan jelasnya anak itu juga tidak mau lagi diasuh oleh Tania sekalipun bersusah payah pengasuh itu membujuknya. Seperti saat ini, Tania tengah merayu Pauline yang sedang duduk di ruangan bermainnya, karena anak ini sedang libur bersekolah. "Nona Kecil, nanti kita jalan-jalan ke taman, ya ... kita lihat kelinci lagi, mau kan?" rayu Tania pada anak itu. "Tidak mau! Pauline mau ikut Mama, tidak mau ikut Nanny!" seru Pauline menggeleng-gelengkan kepalanya. "Emmm ... Nona Kecil masih marah ya, sama Nanny?" tanya Tania menatap si kecil. "Iya. Pauline tidak mau berteman lagi!" Pauline langsung beranjak dari duduknya dan berjalan naik ke lantai dua meninggalkan Tania sendirian di sana. Tania mengembuskan napasnya pelan, wanita itu merasa kesulitan berada di sana kalau dia tidak bisa mendekati anak-anak itu. Namun di tengah ia yang sibuk berpikir, Tania tidak menyadari kedatangan Exel di sekitarnya. "Nanny,
Pagi-pagi sekali Evan meminta Jericho untuk datang ke ruangannya dan berbicara secara pribadi. Seperti biasa kalau ajudannya selalu sigap kapan saja Evan memerintahkan sesuatu padanya. "Ada apa Tuan meminta saya kemari dan tanpa James?" tanya Jericho menatap Evan. "Hari ini kau tidak perlu datang ke kantor. Urusan kantor nanti biar aku dan James saja yang selesaikan," ujar Evan pada ajudannya tersebut. Kening Jericho mengerut, padahal baru semalaman Evan mengatakan padanya kalau besok Jericho harus ikut meeting bersama dengan Evan. "Lalu, apa ada tugas lain untuk saya, Tuan?" tanya laki-laki bertubuh tinggi gempal itu. "Ya. Setengah tujuh, setengah jam lagi Tania akan mengantarkan Pauline ke sekolah. Aku ingin kau mengikuti mereka diam-diam dan terus awasi pengasuh itu!" perintah Evan pada Jericho. Dengan patuh Jericho menganggukkan kepalanya. "Baik Tuan. Saya akan mengikutinya," jawab laki-laki itu. "Kumpulkan bukti sekecil apapun. Wanita itu membuatku curiga," ujar Evan memas
Malam ini Elizabeth membuat janji dengan kedua anaknya untuk pergi jalan-jalan ke sebuah pasar malam yang meriah. Terlihat Pauline dan Exel yang sudah sangat bersemangat. Bersama Evan, Elizabeth menggandeng tangan kedua anaknya menuruni anak tangga. Suara ocehan mereka terdengar sangat tidak sabar untuk segera bergegas pergi. "Nanti Exel mau ajak Adik Pauline naik bianglala, ya Ma," ujar Exel pada sang Mama. "Iya Sayang..." "Wahh, apa itu bianglala, Ma?" tanya Pauline yang kini sudah sampai lebih dulu ke lantai dasar bersama Evan. "Bianglala itu keranjang yang sangat besar!" seru sang Kakak menjelaskan. "Adik Pauline nanti tahu sendiri, kok..." Evan dan Elizabeth tersenyum mendengar ocehan anak mereka. Hingga saat mereka sudah benar-benar siap untuk pergi, tiba-tiba muncul Tania yang berlari mendekati Evan dan Elizabeth di teras. Wanita itu terlihat sangat cemas dan terburu-buru. Wajahnya kalut seperti ada hal buruk yang terjadi padanya. Evan dan Elizabeth pun langsung terhent
Exel menatap lekat pada Arthur yang masih berada di sana menjemput Pauline.Tapi seperti biasa, adik kesayangan Exel itu selalu saja ada-ada saja tingkahnya. Usia hampir dua puluh tahun, tapi dia masih seperti anak kecil yang labil. "Kau pulang saja sendiri, aku masih mau di sini! Untuk apa kau menjemputku kalau kau akan pergi lagi?!" sinis Pauline menatap Arthur. Exel terdiam melirik adiknya yang duduk bersama istrinya. "Lalu maumu bagaimana, Pauline?" "Dia tidak boleh pergi." Pauline menjawab dengan mudahnya. "Arthur harus tetap menjadi pengawalku." Arthur memasang wajah datarnya menatap Pauline. "Saya akan memulai bisnis keluarga saya di luar kota, Nona." "Padahal kau dulu janji tidak akan meninggalkan aku, bahkan kau akan menjadi satu-satunya temanku. Tapi ... ternyata ucapanmu itu hanya omong kosong." Exel dan Hauri saling tatap dengan ekspresi bingung. Mereka tidak mengerti jalan pikir Pauline seperti apa. "Lebih baik sekarang kau pulang, minta pada Papa untuk mempekerj
Sampai malam tiba, Pauline tetap berada di kediaman Exel. Gadis cantik itu tampak bersama Hauri di kamar lantai dua. Mereka asik menonton drama romantis kesukaan mereka, dan Exel yang paling senang jahil, tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan duduk di atas ranjang di samping Hauri. "Sayang, kau sudah makan?" tanya Exel berbisik sembari mengecup pipi Hauri dengan gemas. "Sudah," jawab gadis cantik itu. "Kau sendiri, sudah makan malam?" "Hm," gumaman menjadi jawaban dari Exel. Dari arah samping Hauri, tiba-tiba Pauline menengok Kakak dan Kakak iparnya tersenyum. "Kakak, tadi Papa tidak bilang ingin menjemputku, kan?" tanya Pauline dengan kedua mata indahnya yang mengerjap. "Tidak, Pauline. Tapi jangan lama-lama di sini," ujar Exel menyindir sang adik, hal ini membuatnya terkekeh. Pauline lantas terdiam. Ia menoleh pada sang Kakak kembali dengan tatapan sedih. "Aku harus pulang sekarang, ya, Kak?" cicitnya. "Tidak, Pauline..." Saat itu juga Hauri langsung merangkul Pauline. Gadis
Exel mendatangi kediaman kedua orang tuanya. Setelah sang adik datang sambil menangis, membuat Exel tidak tega. Kedatangannya disambut seperti biasa oleh Mama dan Papanya, mungkin mereka tahu kalau Exel datang akan memprotes mereka."Adikmu di sana?" tanya Evan saat Exel baru saja duduk. Exel menatap Papanya dan berdecak pelan. "Papa apa-apaan, menjodohkan Pauline dengan seenaknya seperti ini? Pauline masih kuliah, Pa." "Exel—""Pa, Ma, Pauline itu masih seperti anak kecil. Papa tahu sendiri kan, segala sesuatunya selalu membutuhkan orang lain! Dan satu-satunya orang yang sabar dan selalu membantunya adalah Arthur!" tegas Exel pada sang Papa. "Papamu memang tidak pernah bisa mengerti anak-anaknya," sahut Elizabeth dengan wajah kesal pada sang suami. Mendengar hal itu, Evan langsung menoleh menatap sang istri. Laki-laki itu menutup laptop yang ia pangku dan mengembuskan napasnya panjang menatap Elizabeth dan Exel bergantian. "Dengarkan aku, Sayang ... dengarkan Papa, Exel ... Pap
"Enghh ...."Suara lenguhan pelan itu terdengar dari bibir Hauri. Gadis itu membuka kedua matanya perlahan-lahan. Hauri mengembuskan napasnya panjang saat merasakan sekujur tubuhnya terasa lelah dan remuk. Bahkan untuk bergerak sesenti pun, Hauri merasa nyeri pada inti tubuhnya. Hauri menatap ruang samping ranjangnya yang kosong, sepertinya Exel sudah bangun. "Jam berapa ini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri membalikkan badannya dan menatap ke arah dinding, jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, namun ia sangat malas untuk beranjak. Hauri bahkan tidak ingat, kapan ia memakai dirinya memakai piyamanya lagi. Gadis cantik itu pun masih terdiam menatap langit-langit kamarnya. Kedua pipi Hauri merona tiba-tiba saat ia mengingat kejadian semalam. Hauri menyerahkan apa yang telah ia jaga kehormatan yang selama ini ia jaga pada laki-laki yang sangat ia cintai. Dan ia mengingat jelas bagaimana semalam mereka melakukannya dengan sangat bergairah dan...."Ya ampun, apa yang aku pikirkan!"
Cuaca sangat dingin malam ini, Hauri tampak sibuk merangkai kalung mutiara miliknya yang putus sore tadi. Kini, gadis itu tampak sangat fokus merangkainya satu persatu. Hingga Exel yang baru saja masuk ke dalam kamar, tampak memperhatikannya dengan kedua mata mengerjap. "Sayang, kau sedang apa? Ini sudah jam sebelas, Hau," tanya Exel, ia berjalan ke arah ranjang dan mendekati istrinya. Hauri menunjukkan beberapa butir mutiara yang ia simpan di dalam sebuah mangkuk kecil. "Kalungnya tadi putus karena bajuku, lalu semua mutiaranya berceceran di lantai, tapi aku sudah memungut semuanya. Semoga tidak ada yang tertinggal atau jatuh di bawah ranjang," ujarnya dengan wajah sedih. "Sayang ... sudah, sudah, taruh saja. Besok aku belikan lagi," ujar Exel mengambil mangkuk mutiara di hadapan Hauri. Namun, gadis itu menatapnya dengan tatapan lekat. "Jangan Sayang, aku belum selesai. Tidak papa, aku akan menyelesaikannya. Sayang kalau tidak dirangkai lagi," seru gadis itu. Exel mengalah. L
Keesokan harinya, Exel menemani Hauri untuk kembali berobat. Bahkan setelah kemarin Hauri merasa lemas dan kelelahan hingga membuat Exel merasa sangat cemas. Sudah lima jam lamanya Hauri menjalani pengobatan dan Exel menunggu dengan sabar, ia juga terus menerus tanpa henti berdoa yang terbaik untuk istrinya. Hingga tiba-tiba sebuah pintu kaca terbuka di depan sana, Dokter William menatapnya sambil tersenyum, seolah ada sesuatu yang melegakan akan dia sampaikan. "Tuan Exel, mari," ajaknya tiba-tibaExel segera ikut bersama dengan Dokter William masuk ke dalam sebuah ruangan. Laki-laki berjubah putih itu segera duduk di hadapan Exel dengan wajah lega. "Dokter, bagaimana perkembangan kondisi istri saya?" tanya Exel. Dokter William tersenyum. "Kondisi Hauri jauh sangat-sangat membalik, meningkatkan beberapa persen lebih baik. Saya juga tidak terbayangkan, bisa secepat ini. Mungkin karena Hauri rajin mengonsumsi obat dan mengatur pola pikirnya. Tetapi ... saya merasa sangat-sangat ba
Diberi libur satu minggu, Exel ingin hari-hari itu diisi oleh menyenangkan hati Hauri. Mulai dari mengajaknya makan bersama, hingga pergi ke jalan-jalan. Seperti saat ini, Exel mengajak Hauri pergi ke sebuah rumah makan Jepang yang mewah yang ada di tengah kota. Hauri tampak sangat antusias begitu Exel mengajaknya memilih tempat duduk yang pas. "Aku baru tahu di sini ada restoran Jepang," ujar gadis itu tersenyum manis. "Hmm ... kau mau memesan makanan apa, Sayang?" tanya Exel menoleh dan menatapnya. "Apa saja, semua makanan Jepang aku suka," jawab gadis itu. "Tapi kalau ada, aku mau ramen. Emmm kuenya—""Dango!" jawab mereka bersamaan. Saat itu juga Exel terkekeh, laki-laki itu langsung mengusap pucuk kepala Hauri dengan gemasnya. Kedua pipi Hauri langsung bersemu. Gadis itu menepuk-nepuk lembut kedua telapak tangannya sambil tak sabaran menunggu pesanan makanannya datang. Hingga tak lama kemudian, makanan yang Hauri tunggu-tunggu pun telah tiba. Semangkuk ramen dan juga kue
Karena pembantu belum datang ke kediaman baru Exel, tampak laki-laki sibuk di dapur sejak tadi. Bahkan Exel juga tidak membangunkan istrinya yang tidur sejak siang, karena Exel tahu kalau istrinya pasti sangat kelelahan. Aroma masakan yang sedikit gosong, dan suara kekacauan di dapur pun membuat Hauri terbangun. Gadis itu segera keluar dari dalam kamar. "Ya ampun, aroma apa ini? Kenapa gosong begini?" gumamnya lirih. Perlahan Hauri menuruni anak tangga, ia menengok dari selasar lantai dua ke bawah sana. Hauri melihat Exel yang berada di dapur sendirian dengan semua barang-barang yang terlihat sangat berantakan. "Ya ampun, Exel..." Hauri menutup mulutnya kaget. Buru-buru gadis itu berjalan turun ke lantai satu dan melangkahkan kakinya mendekati Exel. Dari piring, mangkuk, hingga wadah lainnya menumpuk di dapur. Bahkan ada beberapa makanan yang tampak dibuang karena gosong dan tidak layak makan. "Y-ya ampun, Sayang..." Hauri menutup mulutnya menyaksikan kekacauan ini. Tetapi, g
Setelah menikah, Exel sudah jauh-jauh hari menyiapkan rumah untuknya dan juga Hauri. Rumah yang akan mereka tempati berdua, atau mungkin bersama anaknya suatu saat nanti. Rumah mewah berlantai dua, bernuansa putih bersih. Serta taman tang yang sangat indah, juga luas. Hauri tak berhenti terkagum-kagum menatap bangunan megah di hadapannya saat ini. "Wahh ... Sayang, kau membuat rumah kaca?" tanya Hauri menunjuk ke arah sebuah rumah kaca yang berada di tengah taman. "Heem, bagaimana? Apa kau suka?" tanya laki-laki itu. "Iya. Ayo kita ke sana," ajaknya dengan penuh semangat. Hauri menarik lengan Exel, tapi laki-laki itu tidak bergerak sedikitpun. Justru Hauri yang langsung menoleh ke belakang menatapnya. Sorot mata Exel tampak sayu. Ia malah menarik balik lengan Hauri hingga gadis itu mendekatinya. "Istirahat dulu, Sayang. Jangan sampai kau kelelahan setelah acara kemarin," ujar Exel mengusap punggung tangan Hauri. Gadis itu terdiam sesaat, Hauri menatap lagi pada rumah kaca yan