"Pauline, sudah jangan menangis lagi. Tidak papa kok, kan sudah aman dengan Kakak." Exel mengusap pipi Pauline yang basah. Adiknya itu langsung memeluknya dengan erat sembari terus mengomel kalau dia tidak mau dekat-dekat dengan pengasuhnya lagi. Sejujurnya Exel sendiri juga tidak terpikirkan kalau Tania akan memarahi dan membentak Pauline seperti ini, niatnya dia hanya menjahili wanita itu, tapi dia benar-benar marah. "Pauline mau bilang sama Mama, Pauline tidak mau sama Nanny lagi! Nanny bad!" seru anak itu masih memeluk erat Exel sambil duduk di atas sofa. "Iya, iya, nanti diaduin ... tapi jangan nangis ya," bujuk Exel memeluk tubuh kecil sang adik. Barulah Pauline terdiam dan tenang. Tidak lagi terdengar tangisan, Exel sungguh berhasil menenangkan adiknya. Beberapa jam kemudian, Elizabeth dan Evan pulang. Mereka berdua disambut oleh Exel dan Pauline. "Mama..." Suara melengking milik Pauline membuat Elizabeth langsung menoleh. "Ya ampun, anak Mama kenapa sedih-sedih sepert
Karena kejadian kemarin, hari ini Pauline tidak lagi mau berbicara dengan Tania. Dan jelasnya anak itu juga tidak mau lagi diasuh oleh Tania sekalipun bersusah payah pengasuh itu membujuknya. Seperti saat ini, Tania tengah merayu Pauline yang sedang duduk di ruangan bermainnya, karena anak ini sedang libur bersekolah. "Nona Kecil, nanti kita jalan-jalan ke taman, ya ... kita lihat kelinci lagi, mau kan?" rayu Tania pada anak itu. "Tidak mau! Pauline mau ikut Mama, tidak mau ikut Nanny!" seru Pauline menggeleng-gelengkan kepalanya. "Emmm ... Nona Kecil masih marah ya, sama Nanny?" tanya Tania menatap si kecil. "Iya. Pauline tidak mau berteman lagi!" Pauline langsung beranjak dari duduknya dan berjalan naik ke lantai dua meninggalkan Tania sendirian di sana. Tania mengembuskan napasnya pelan, wanita itu merasa kesulitan berada di sana kalau dia tidak bisa mendekati anak-anak itu. Namun di tengah ia yang sibuk berpikir, Tania tidak menyadari kedatangan Exel di sekitarnya. "Nanny,
Pagi-pagi sekali Evan meminta Jericho untuk datang ke ruangannya dan berbicara secara pribadi. Seperti biasa kalau ajudannya selalu sigap kapan saja Evan memerintahkan sesuatu padanya. "Ada apa Tuan meminta saya kemari dan tanpa James?" tanya Jericho menatap Evan. "Hari ini kau tidak perlu datang ke kantor. Urusan kantor nanti biar aku dan James saja yang selesaikan," ujar Evan pada ajudannya tersebut. Kening Jericho mengerut, padahal baru semalaman Evan mengatakan padanya kalau besok Jericho harus ikut meeting bersama dengan Evan. "Lalu, apa ada tugas lain untuk saya, Tuan?" tanya laki-laki bertubuh tinggi gempal itu. "Ya. Setengah tujuh, setengah jam lagi Tania akan mengantarkan Pauline ke sekolah. Aku ingin kau mengikuti mereka diam-diam dan terus awasi pengasuh itu!" perintah Evan pada Jericho. Dengan patuh Jericho menganggukkan kepalanya. "Baik Tuan. Saya akan mengikutinya," jawab laki-laki itu. "Kumpulkan bukti sekecil apapun. Wanita itu membuatku curiga," ujar Evan memas
Malam ini Elizabeth membuat janji dengan kedua anaknya untuk pergi jalan-jalan ke sebuah pasar malam yang meriah. Terlihat Pauline dan Exel yang sudah sangat bersemangat. Bersama Evan, Elizabeth menggandeng tangan kedua anaknya menuruni anak tangga. Suara ocehan mereka terdengar sangat tidak sabar untuk segera bergegas pergi. "Nanti Exel mau ajak Adik Pauline naik bianglala, ya Ma," ujar Exel pada sang Mama. "Iya Sayang..." "Wahh, apa itu bianglala, Ma?" tanya Pauline yang kini sudah sampai lebih dulu ke lantai dasar bersama Evan. "Bianglala itu keranjang yang sangat besar!" seru sang Kakak menjelaskan. "Adik Pauline nanti tahu sendiri, kok..." Evan dan Elizabeth tersenyum mendengar ocehan anak mereka. Hingga saat mereka sudah benar-benar siap untuk pergi, tiba-tiba muncul Tania yang berlari mendekati Evan dan Elizabeth di teras. Wanita itu terlihat sangat cemas dan terburu-buru. Wajahnya kalut seperti ada hal buruk yang terjadi padanya. Evan dan Elizabeth pun langsung terhent
Evan kembali pulang ke rumah, dia pikir masih ada waktu untuk pergi bersama anak dan istrinya meskipun hari sudah sedikit terlalu malam. Laki-laki itu berjalan ke lantai dua dan menemukan Elizabeth sudah mengganti pakaiannya. Wanita itu duduk di depan meja rias menghapus semua make up di wajahnya dengan ekspresi datar menatap cermin dan tidak memperdulikan kedatangan Evan. "Sayang, di mana anak-anak? Kita bisa pergi sekarang," ujar Evan mendekati Elizabeth. "Masih ada waktu untuk jalan-jalan..." Istrinya menoleh sekilas, lalu membuang muka dan diam seolah tidak peduli. "Tidak perlu, anak-anak sudah tidur," jawab Elizabeth dengan suara pelan. Wajah cantik itu tidak bisa menyembunyikan kekecewaan. "Kenapa kau sudah kembali? Kau tidak menemaninya sampai dia pulang?" Pertanyaan Elizabeth memang terdengar tenang, namun Evan paham nada datarnya yang terdengar tidak baik-baik saja. "Aku hanya mengantarkannya karena aku hanya ingin memastikan apakah dia berbohong atau tidak dengan ucap
Keesokan paginya, Tania sudah kambali di rumah Elizabeth dan bekerja seperti biasanya dia menjaga anak-anak di sana. Dari lantai dua, Elizabeth yang baru saja keluar dari dalam kamar, dia tersenyum tipis saat melihat adanya Tania di bawah sana yang sedang merapikan beberapa mainan milik Pauline. "Selamat pagi," sapa Elizabeth sambil menuruni anak tangga. Tania mengangkat wajahnya cepat, wanita itu tersenyum saat melihat Elizabeth. "Selamat pagi juga Nyonya," balasnya dengan ramah seperti biasa. "Tan, kenapa kau sudah bekerja lagi? Bukannya ibumu masih sakit dan dirawat di rumah sakit?" tanya Elizabeth berdiri di hadapan Tania. "Iya Nyonya. Tidak papa, ibu saya juga sudah baikan." Elizabeth menghela napasnya pelan. Ia tahu, menghadapi wanita seperti Tania memang harus diberikan sedikit sikap yang manis."Tan, aku tidak melarangmu bila kau memang ingin libur menjaga ibumu. Aku mengizinkanmu, kasihan ibumu..." Elizabeth masih menatapnya lekat-lekat. "Oh iya, aku juga berencana aka
Evan dan Elizabeth mendapatkan kabar dari Jericho kalau ajudannya itu mempunyai informasi yang sangat penting dan mengejutkan. Hingga kini, Evan meminta Jericho datang ke ruang makan mewah, tempat ia dan Elizabeth berada. Saat Jericho sampai, laki-laki itu langsung membuka topinya dan langsung bergabung duduk bersama Evan dan Elizabeth. "Apa yang kau dapatkan, Jer?" tanya Evan pada ajudannya tersebut. "Kamar nomor dua belas yang Tuan Evan katakan pada saya, bukan ibu-ibu yang dirawat di dalamnya. Melainkan seorang gadis muda yang usianya kisaran lima belas sampai enam belas tahunan," jelas Jericho. Evan dan Elizabeth kompak memasang wajah terkejut mereka. Seolah seperti mendapatkan kejutan baru yang tak terduga."Apa mungkin dia adiknya Tania? Tapi kenapa Tania tidak jujur dan bilang kalau yang sakit adalah adiknya? Saya sangat kebingungan dengan maksud Tania berbohong pada kita semua," imbuh Jericho mengetukkan jemarinya di atas meja. "Lalu? Bagaimana dengan Tania? Apa dia tidak
Elizabeth tidak main-main dengan ucapannya. Wanita itu pergi ke rumah sakit hari ini ditemani oleh Jericho yang diperintahkan oleh Evan untuk menjaga Elizebeth. Elizabeth ingin melihat apakah Tania benar-benar sedang berjaga di sana, atau dia pergi entah ke mana. Hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah lorong rumah sakit. "Ruangan itu, Nyonya," ujar Jericho menunjuk ruangan dengan angka dua belas di pintunya."Terima kasih, Jer..." Elizabeth langsung berjalan ke sana dengan cepat. Sementara Jericho berdiri di depan pintu menjaga. Mulanya Elizabeth merasa ragu, namun rasa penasaran yang tinggi membuatnya dengan cepat membuka pintu itu. Elizabeth tidak mendapati Tania di dalam ruangan itu, tapi ada gadis muda yang duduk di ranjang memeluk sebuah boneka. "Anda siapa?" Gadis itu nampak kaget dengan kedatangan Elizabeth. Menyadari respon takut dari gadis itu, Elizabeth pun tersenyum manis. "Hai," sapa Elizabeth mendekatinya. Gadis itu menatap Elizabeth dari ujung kaki hing