Sejak siang tadi, Elizabeth dan Evan memperhatikan Exel yang tidak seperti biasanya. Putra kecilnya itu jauh lebih manja dan lengket pada Mamanya hari ini. Elizabeth juga tidak keberatan sama sekali, selagi dia punya waktu, dia akan menghabiskan waktunya untuk menjaga anak-anaknya. Seperti saat ini, Exel duduk di sofa memeluknya dan dia nampak sedikit murung. "Kenapa Sayang? Exel tidak demam, kan?" tanya Elizabeth meletakkan telapak tangannya di pipi Exel. "Atau mengantuk? Istirahat saja di kamar kalau capek, ini juga sudah malam..." "Tidak, Ma ... Exel tidak papa. Cuma Exel merasa rumah ini sekarang sudah tidak nyaman lagi, tidak betah rasanya," ujar anak itu menundukkan kepalanya sedih. Mendengar apa yang Exel katakan, Evan yang tadinya fokus pada laptopnya pun kini langsung menoleh menatap sang putra. Anak itu cemberut dalam pelukan sang Mama. Padahal pagi Exel baik-baik saja dan sangat ceria bersama adiknya. "Kenapa memangnya tidak betah di rumah, hm? Mau tinggal di mana lag
Setelah Tania diberhentikan bekerja beberapa hari yang lalu, kini Exel terlihat yang paling semangat di rumah. Bahkan anak itu menjadi lebih aktif dan tidak marah-marah seperti kemarin-kemarin lagi. Dia memilih untuk mengawasi adiknya sendiri. Seperti saat ini, Exel menjaga Pauline saat Mama dan Papanya masih sibuk dengan pekerjaan mereka. "Adik Pauline tidak boleh jauh-jauh, ya ... di sini saja," ujar Exel mengekori Pauline yang berjalan di teras rumah. "Kakak, ke mana pengasuh Tania? Sudah tidak kembali lagi, kan?" tanya Pauline menatap sang Kakak. Exel menggelengkan kepalanya. "Sudah tidak. Tenang saja, dia kan suka marah-marah, jadi Mama dan Papa memintanya untuk tidak ke sini lagi," ujar Exel. "Heemm, bagus-bagus!" seru Pauline mengacungkan jempolnya. Exel tersenyum gemas mengusap pucuk kepala adiknya. Sekalipun mereka bukan saudara kandung, Exel sangat menyayangi Pauline. Sering kali Exel berandai-andai, misalkan saja dia saudara sekandung dengan Pauline, mungkin itu akan
Keesokan paginya, Exel sudah bangun lebih siang dari biasanya, karena hari ini dia masih libur bersekolah. Perasaan Exel sangat senang begitu dia melihat beberapa hadiah ulang tahunnya berada di atas meja. Anak laki-laki itu langsung menyibak selimutnya dan turun cepat dari atas ranjang. Dia berjalan mendekati meja belajar. "Wahh, kapan Mama dan Papa meletakkan semua hadiahnya di ini?" Exel mengerjapkan kedua matanya bertanya-tanya. Hingga tiba-tiba pintu kamar Exel terbuka, Exel menoleh cepat dan ia menatap adiknya yang berdiri kaget di sana. Wajah Pauline yang mulanya ceria, kini nampak terkejut sebelum berubah cemberut dalam hitungan detik. Kejutan untuk Kakaknya gagal, karena Exel sudah bangun. "Kenapa Kakak sudah bangun?" tanya anak itu. "Ini kan memang sudah pagi, harusnya Kakak yang tanya. Tumben sekali Pauline sudah bangun?" tanya Exel terkekeh melihat adiknya. Pauline berjalan mendekati Exel, anak perempuan itu mengerjapkan kedua matanya sebelum dia menyerahkan sebuah
Usai kembali dari pesta, Exel tidak mau menurunkan Pauline. Dia terus menggendongnya mulai turun dari dalam mobil hingga sampai masuk ke dalam rumah. Elizabeth hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja melihat tingkah mereka. "Turunkan adiknya, Sayang. Nanti Exel capek," ujar Elizabeth pada sang putra. "Iya, Pauline mau jalan saja. Pauline sukanya digendong Kakak yang tadi!" seru Pauline. Ucapan Pauline membuat wajah Exel masam. "Tapi kan aku ini Kakakmu, Pauline! Jangan suka sama Kakak yang tadi, dong!" protes Exel pada si kecil. Hal itu membuat Evan dan Elizabeth tertawa melihat reaksi si sulung yang kesal adiknya lebih asik dengan temannya. "Sayang, tidak papa ... Adik Pauline masih kecil, dia masih belum mengerti. Baginya, bermain dengan siapapun akan menyenangkan," ungkap Elizabeth menjelaskan pada sang putra. "Iya Sayang, lagipula kan sekarang sudah di rumah. Exel bisa bermain kapan saja dengan Adik Pauline," imbuh Evan. "Iya Ma, Pa," jawab Exel. Barulah Exel menurunkan
Setelah kejadian Pauline kabur dari sekolahnya, Elizabeth benar-benar menjaga putrinya itu dengan sangat ketat. Bahkan Evan juga meminta Elizabeth untuk selalu bersama Pauline di sepanjang hari dan tidak meninggalkan ke mana-mana, termasuk pergi bekerja. Hingga siang ini Elizabeth bersama Pauline untuk bertemu dengan Adelaide di sebuah rumah makan. Mereka yang kini tengah berbincang-bincang membicarakan urusan butik. "Del, mungkin aku akan jarang-jarang datang ke butik saat ini. Kemarin Pauline kabur dari sekolahnya, karena tidak ada yang menjaganya," ujar Elizabeth pada sang sahabat. "Ya ampun ... tapi Pauline tidak papa, kan? Kau menemukannya di mana, Elize?" tanya Adelaide. "Dia ditemukan oleh mantan pengasuhnya," jawab Elizabeth sembari mengusap pucuk kepala Pauline. "Memang ya, anakmu yang satu ini sangat nakal sekali!" seru Adelaide menarik pipi kiri Pauline. Ekspresi marah Pauline membuat Adelaide terkekeh gemas. Memang sejak awal, Pauline sudah akrab dengan semua teman-
Setelah hari berlalu dengan cepat. Elizabeth merasakan banyak waktu yang ia berikan pada kedua anaknya saat ia sudah tidak lagi mengerjakan urusan-urusan butik. Terlebih lagi, Evan juga sering meluangkan waktunya untuk Elizabeth agar istrinya tidak bosan dan jenuh menjaga anak-anaknya. Seperti saat ini, Evan dan Elizabeth menuruti permintaan Pauline yang ingin makan siang di rumah makan mewah. "Akhir-akhir ini Exel tidak pernah ikut dengan kita pergi jalan-jalan," ujar Elizabeth sembari memperhatikan Pauline yang menikmati es krimnya. Evan pun mengangguk. "Dia memilih berlatih basket. Karena itu hobinya yang sangat dia cintai saat ini, Sayang." "Iya, dia memang benar-benar anak yang sangat rajin." Evan dan Elizabeth yang asik berbincang, tiba-tiba perhatian mereka teralihkan saat terdengar suara keributan di depan. Dan beberapa orang juga menatap ke arah luar. Di mana seorang wanita pengantar makanan yang tengah dimarahi habis-habisan oleh seseorang. "Kalau jalan itu pakai mata
Keesokan harinya, Elizabeth masih sibuk dengan menikmati hari-harinya yang sempurna bersama si kecil, Pauline. Setelah pulang sekolah hari ini, Elizabeth mengajak putri kecilnya untuk ikut dengannya berbelanja di sebuah supermarket yang berada tak jauh dari sekolah Pauline berada. "Pauline mau beli stroberi yang banyak, Ma," seru Pauline sembari menggandeng tangan Elizabeth. "Iya, Sayang..." Elizabeth mengusap pucuk kepala Pauline dan tersenyum gemas. Mereka berdua hampir saja sampai di supermarket, namun kerumunan perhatian Elizabeth teralihkan saat banyak kerumunan orang di dekat pintu masuk gerbang supermarket. "Ada apa itu, Ma?" tanya Pauline menunjuk ke arah depan sana. "Entahlah, mungkin orang terjatuh, Sayang," jawab Elizabeth menyipitkan matanya menatap ke depan sana. Sampai akhirnya Elizabeth melebarkan kedua matanya saat seseorang menepikan sebuah keranjang makanan yang biasanya dibawa oleh Tania. Pikiran Elizabeth langsung tertuju pada mantan pengasuh anaknya terseb
Seperti yang Evan duga, kalau Jericho adalah seorang ajudan hebat yang bisa dia andalkan kapan saja.Setelah seharian dia pergi entah ke mana, malam ini dia kembali bersama dengan Asgar, mereka berdua menemui Evan dan Elizabeth membawa sebuah berkas berisi tentang pencarian identitas Tania yang sesungguhnya."Bagaimana? Kalian berdua sudah mendapatkan semuanya?" tanya Evan pada Jericho dua ajudannya. "Sudah Tuan." "Kami mendapatkannya dari beberapa orang terdekatnya, dan satu lagi kami mendapatkan dari tempat Tania bergabung agensi untuk menjadi asisten rumah tangga," jelas Jericho menunjukkan beberapa berkas yang ia bawa pada Evan. Evan pun meraih satu berkas itu, dan Elizabeth mendekat ikut membacanya. "Dia juga asli kelahiran Jerman," ucap Elizabeth membacanya. "Benar Nyonya, Tania memang kelahiran Jerman. Tapi saat dia berusia lima tahun, keluarganya membawa Tania ke luar kota, namun saat Tania berusia dua belas tahun, mereka kembali ke Berlin dan Tania tidak pernah ke mana-m
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat