Setelah hari berlalu dengan cepat. Elizabeth merasakan banyak waktu yang ia berikan pada kedua anaknya saat ia sudah tidak lagi mengerjakan urusan-urusan butik. Terlebih lagi, Evan juga sering meluangkan waktunya untuk Elizabeth agar istrinya tidak bosan dan jenuh menjaga anak-anaknya. Seperti saat ini, Evan dan Elizabeth menuruti permintaan Pauline yang ingin makan siang di rumah makan mewah. "Akhir-akhir ini Exel tidak pernah ikut dengan kita pergi jalan-jalan," ujar Elizabeth sembari memperhatikan Pauline yang menikmati es krimnya. Evan pun mengangguk. "Dia memilih berlatih basket. Karena itu hobinya yang sangat dia cintai saat ini, Sayang." "Iya, dia memang benar-benar anak yang sangat rajin." Evan dan Elizabeth yang asik berbincang, tiba-tiba perhatian mereka teralihkan saat terdengar suara keributan di depan. Dan beberapa orang juga menatap ke arah luar. Di mana seorang wanita pengantar makanan yang tengah dimarahi habis-habisan oleh seseorang. "Kalau jalan itu pakai mata
Keesokan harinya, Elizabeth masih sibuk dengan menikmati hari-harinya yang sempurna bersama si kecil, Pauline. Setelah pulang sekolah hari ini, Elizabeth mengajak putri kecilnya untuk ikut dengannya berbelanja di sebuah supermarket yang berada tak jauh dari sekolah Pauline berada. "Pauline mau beli stroberi yang banyak, Ma," seru Pauline sembari menggandeng tangan Elizabeth. "Iya, Sayang..." Elizabeth mengusap pucuk kepala Pauline dan tersenyum gemas. Mereka berdua hampir saja sampai di supermarket, namun kerumunan perhatian Elizabeth teralihkan saat banyak kerumunan orang di dekat pintu masuk gerbang supermarket. "Ada apa itu, Ma?" tanya Pauline menunjuk ke arah depan sana. "Entahlah, mungkin orang terjatuh, Sayang," jawab Elizabeth menyipitkan matanya menatap ke depan sana. Sampai akhirnya Elizabeth melebarkan kedua matanya saat seseorang menepikan sebuah keranjang makanan yang biasanya dibawa oleh Tania. Pikiran Elizabeth langsung tertuju pada mantan pengasuh anaknya terseb
Seperti yang Evan duga, kalau Jericho adalah seorang ajudan hebat yang bisa dia andalkan kapan saja.Setelah seharian dia pergi entah ke mana, malam ini dia kembali bersama dengan Asgar, mereka berdua menemui Evan dan Elizabeth membawa sebuah berkas berisi tentang pencarian identitas Tania yang sesungguhnya."Bagaimana? Kalian berdua sudah mendapatkan semuanya?" tanya Evan pada Jericho dua ajudannya. "Sudah Tuan." "Kami mendapatkannya dari beberapa orang terdekatnya, dan satu lagi kami mendapatkan dari tempat Tania bergabung agensi untuk menjadi asisten rumah tangga," jelas Jericho menunjukkan beberapa berkas yang ia bawa pada Evan. Evan pun meraih satu berkas itu, dan Elizabeth mendekat ikut membacanya. "Dia juga asli kelahiran Jerman," ucap Elizabeth membacanya. "Benar Nyonya, Tania memang kelahiran Jerman. Tapi saat dia berusia lima tahun, keluarganya membawa Tania ke luar kota, namun saat Tania berusia dua belas tahun, mereka kembali ke Berlin dan Tania tidak pernah ke mana-m
Keputusan membawa Tania untuk kembali bekerja di kediaman Evan dan Elizabeth sudah bulat. Dan kini saatnya Elizabeth dan Evan memberitahu hal tersebut pada Exel. Putranya yang sejak awal sangat-sangat tidak menyukai Tania. Exel baru saja membersihkan tubuhnya dan dia juga sudah makan malam bersama orang tuanya. Kini Exel sedang mengusik Pauline yang tengah bermain. "Exel, ke sini sebentar, Sayang. Mama dan Papa ingin berbicara sesuatu dengan Exel," ujar Elizabeth pada sang putra. "Ada apa, Ma?" tanya Exel langsung mengambil posisi duduk di hadapan Mama dan Papanya. Evan berdehem pelan sebelum menjelaskan. Bahkan ekspresi Exel kini sudah menunjukkan kecurigaan dan rasa penasaran yang tinggi akan sesuatu hal yang mungkin tidak dia sukai. "Sayang, mulai besok, Nanny Tania akan kembali lagi ke sini," ujar Elizabeth pada Exel. Kedua alis tebal Exel langsung bertaut tajam. "Ma—""Jangan menyela ucapan orang tua, Exel," tegas Evan pada sang putra. "Dengarkan penjelasan Mamamu dulu."
Hari telah berganti, Evan dan Elizabeth sore ini tengah berada di luar kota. Dan mereka hanya pergi berdua, karena Pauline dan juga Exel menolak untuk ikut dan lebih memilih di rumah bersama Bibi dan James. Elizabeth pun pasti harus menemani Evan dalam acara apapun. Dan kini, mereka berdua sudah sampai di acara pesta yang digelar di sebuah hotel mewah. Sedari tadi, Evan melirik Elizabeth yang terlihat cantik dengan gaun putih panjang yang dia pakai. Namun sayangnya, Evan tidak terlalu menyukai gaun itu. "Apa tidak ada gaun lagi yang bisa kau pakai, selain gaun kurang bahan itu?" tanya Evan menatap Elizabeth yang baru saja berdiri keluar dari dalam mobil. "Apa? Apanya yang kurang bahan? Memang model seperti ini ... cantik bukan? Bagiku gaun ini sudah sopan, roknya juga panjang menutup kedua kakiku, hanya saja memperlihatkan bahunya saja, salahnya di mana?" tanya Elizabeth menatap sang suami. Evan menghela napasnya panjang. Sejak dulu dia paling tidak suka Elizabeth memakai pakaian
Elizabeth membuka kedua matanya saat merasakan kepalanya berdenyut. Wanita itu berdesis pelan dan ia mengedarkan pandangannya ke dalam kamar di mana ia berada. Perlahan, Elizabeth menghela napasnya panjang saat dia sadar kini tidak di dalam kamarnya. "Hemm ... kenapa aku memakai kemeja milik Evan?" gumam Elizabeth bertanya-tanya. Wanita itu menoleh saat pintu kamar mandi terbuka. Di sana muncul Evan dengan tatapan matanya yang tajam. "Loh, ka-kau ... kenapa kita di sini? Kita tidak langsung pulang ya, semalam?" tanya wanita itu. Wajahnya sangat polos seolah tidak terjadi sesuatu padanya. Evan masih diam hingga Elizabeth bingung. Wanita itu menggaruk pelan kepalanya dan ia menggerutu saat Evan diam tetap menatapnya tanpa mengatakan apapun. "Kenapa dia? Aneh sekali, aku kan hanya bertanya saja?" gerutu Elizabeth menyibakkan selimutnya. "Bagaimana rasanya mabuk, enak?" tanya Evan dengan suara dalamnya. Mendengar pertanyaan sang suami, lantas kedua mata Elizabeth melebar. Wanita i
Setelah perjalanan beberapa jam yang melelahkan, Evan dan Elizabeth pun sudah sampai di rumah. Mereka disambut dengan wajah kesal Exel dan Pauline yang berdiri di teras siap-siap memarahi Mama dan Papanya. "Hai Sayang ... kenapa memasang wajah cemberut begini, hem?" tanya Elizabeth mendekati mereka berdua. "Mama dan Papa bohong. Katanya langsung pulang, tapi saat kita bangun tidur, Mama dan Papa tidak sampai-sampai!" seru Pauline dengan wajah marahnya yang sangat mirip seperti sang Mama. "Iya. Papa ke mana? Exel juga sudah telpon berkali-kali pakai ponsel Paman Asgar, tapi tidak diangkat juga!" imbuh Exel dengan wajah kesal. Wajah-wajah marah anak-anak ini membuat Elizabeth menelan ludah. Lantas, Evan menyergah napasnya pelan. "Kenapa pula kalian menyalahkan Papa? Harusnya kalian memarahi Mama kalian yang semalam mab—""Tidak!" pekik Elizabeth menyela cepat. Wanita itu langsung mendekati Evan dan membungkam mulut sang suami dengan satu telapak tangannya. Elizabeth memasang waj
Siang telah berganti malam. Elizabeth sangat sibuk malam ini, bahkan setelah menidurkan Pauline, wanita itu langsung mengambil laptop dan tablet miliknya untuk membuat desain pakaian. Setelah Adelaide datang ke rumahnya sore tadi, Elizabeth bergegas membuatkan desain busana musim panas terbaru yang mereka targetkan rilis di tahun ini. Nampak Elizabeth yang begitu fokus mengerjakan pekerjaannya di dalam ruangan kerja, dan Evan sesekali menengok istrinya. Evan khawatir, karena Elizabeth jarang begadang, Evan takut bila istrinya nanti jatuh sakit. "Sayang, kau tidak mengantuk, ini sudah pukul satu dini hari," ujar Evan mengetuk pintu ruangan itu. Elizabeth mengangkat wajahnya dan menggeleng. "Kau istirahatlah lebih dulu, masih ada beberapa bagian yang harus aku rapikan," jawab Elizabeth kembali menatap tabletnya. Helaan napas pelan terdengar dari bibir Evan. Laki-laki itu berjalan mendekat dan melihat pekerjaan Elizabeth yang rumit, bahkan Evan sendiri juga bingung, bagaimana bisa i