Evan dan Elizabeth mendapatkan kabar dari Jericho kalau ajudannya itu mempunyai informasi yang sangat penting dan mengejutkan. Hingga kini, Evan meminta Jericho datang ke ruang makan mewah, tempat ia dan Elizabeth berada. Saat Jericho sampai, laki-laki itu langsung membuka topinya dan langsung bergabung duduk bersama Evan dan Elizabeth. "Apa yang kau dapatkan, Jer?" tanya Evan pada ajudannya tersebut. "Kamar nomor dua belas yang Tuan Evan katakan pada saya, bukan ibu-ibu yang dirawat di dalamnya. Melainkan seorang gadis muda yang usianya kisaran lima belas sampai enam belas tahunan," jelas Jericho. Evan dan Elizabeth kompak memasang wajah terkejut mereka. Seolah seperti mendapatkan kejutan baru yang tak terduga."Apa mungkin dia adiknya Tania? Tapi kenapa Tania tidak jujur dan bilang kalau yang sakit adalah adiknya? Saya sangat kebingungan dengan maksud Tania berbohong pada kita semua," imbuh Jericho mengetukkan jemarinya di atas meja. "Lalu? Bagaimana dengan Tania? Apa dia tidak
Elizabeth tidak main-main dengan ucapannya. Wanita itu pergi ke rumah sakit hari ini ditemani oleh Jericho yang diperintahkan oleh Evan untuk menjaga Elizebeth. Elizabeth ingin melihat apakah Tania benar-benar sedang berjaga di sana, atau dia pergi entah ke mana. Hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah lorong rumah sakit. "Ruangan itu, Nyonya," ujar Jericho menunjuk ruangan dengan angka dua belas di pintunya."Terima kasih, Jer..." Elizabeth langsung berjalan ke sana dengan cepat. Sementara Jericho berdiri di depan pintu menjaga. Mulanya Elizabeth merasa ragu, namun rasa penasaran yang tinggi membuatnya dengan cepat membuka pintu itu. Elizabeth tidak mendapati Tania di dalam ruangan itu, tapi ada gadis muda yang duduk di ranjang memeluk sebuah boneka. "Anda siapa?" Gadis itu nampak kaget dengan kedatangan Elizabeth. Menyadari respon takut dari gadis itu, Elizabeth pun tersenyum manis. "Hai," sapa Elizabeth mendekatinya. Gadis itu menatap Elizabeth dari ujung kaki hing
Sejak siang tadi, Elizabeth dan Evan memperhatikan Exel yang tidak seperti biasanya. Putra kecilnya itu jauh lebih manja dan lengket pada Mamanya hari ini. Elizabeth juga tidak keberatan sama sekali, selagi dia punya waktu, dia akan menghabiskan waktunya untuk menjaga anak-anaknya. Seperti saat ini, Exel duduk di sofa memeluknya dan dia nampak sedikit murung. "Kenapa Sayang? Exel tidak demam, kan?" tanya Elizabeth meletakkan telapak tangannya di pipi Exel. "Atau mengantuk? Istirahat saja di kamar kalau capek, ini juga sudah malam..." "Tidak, Ma ... Exel tidak papa. Cuma Exel merasa rumah ini sekarang sudah tidak nyaman lagi, tidak betah rasanya," ujar anak itu menundukkan kepalanya sedih. Mendengar apa yang Exel katakan, Evan yang tadinya fokus pada laptopnya pun kini langsung menoleh menatap sang putra. Anak itu cemberut dalam pelukan sang Mama. Padahal pagi Exel baik-baik saja dan sangat ceria bersama adiknya. "Kenapa memangnya tidak betah di rumah, hm? Mau tinggal di mana lag
Setelah Tania diberhentikan bekerja beberapa hari yang lalu, kini Exel terlihat yang paling semangat di rumah. Bahkan anak itu menjadi lebih aktif dan tidak marah-marah seperti kemarin-kemarin lagi. Dia memilih untuk mengawasi adiknya sendiri. Seperti saat ini, Exel menjaga Pauline saat Mama dan Papanya masih sibuk dengan pekerjaan mereka. "Adik Pauline tidak boleh jauh-jauh, ya ... di sini saja," ujar Exel mengekori Pauline yang berjalan di teras rumah. "Kakak, ke mana pengasuh Tania? Sudah tidak kembali lagi, kan?" tanya Pauline menatap sang Kakak. Exel menggelengkan kepalanya. "Sudah tidak. Tenang saja, dia kan suka marah-marah, jadi Mama dan Papa memintanya untuk tidak ke sini lagi," ujar Exel. "Heemm, bagus-bagus!" seru Pauline mengacungkan jempolnya. Exel tersenyum gemas mengusap pucuk kepala adiknya. Sekalipun mereka bukan saudara kandung, Exel sangat menyayangi Pauline. Sering kali Exel berandai-andai, misalkan saja dia saudara sekandung dengan Pauline, mungkin itu akan
Keesokan paginya, Exel sudah bangun lebih siang dari biasanya, karena hari ini dia masih libur bersekolah. Perasaan Exel sangat senang begitu dia melihat beberapa hadiah ulang tahunnya berada di atas meja. Anak laki-laki itu langsung menyibak selimutnya dan turun cepat dari atas ranjang. Dia berjalan mendekati meja belajar. "Wahh, kapan Mama dan Papa meletakkan semua hadiahnya di ini?" Exel mengerjapkan kedua matanya bertanya-tanya. Hingga tiba-tiba pintu kamar Exel terbuka, Exel menoleh cepat dan ia menatap adiknya yang berdiri kaget di sana. Wajah Pauline yang mulanya ceria, kini nampak terkejut sebelum berubah cemberut dalam hitungan detik. Kejutan untuk Kakaknya gagal, karena Exel sudah bangun. "Kenapa Kakak sudah bangun?" tanya anak itu. "Ini kan memang sudah pagi, harusnya Kakak yang tanya. Tumben sekali Pauline sudah bangun?" tanya Exel terkekeh melihat adiknya. Pauline berjalan mendekati Exel, anak perempuan itu mengerjapkan kedua matanya sebelum dia menyerahkan sebuah
Usai kembali dari pesta, Exel tidak mau menurunkan Pauline. Dia terus menggendongnya mulai turun dari dalam mobil hingga sampai masuk ke dalam rumah. Elizabeth hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja melihat tingkah mereka. "Turunkan adiknya, Sayang. Nanti Exel capek," ujar Elizabeth pada sang putra. "Iya, Pauline mau jalan saja. Pauline sukanya digendong Kakak yang tadi!" seru Pauline. Ucapan Pauline membuat wajah Exel masam. "Tapi kan aku ini Kakakmu, Pauline! Jangan suka sama Kakak yang tadi, dong!" protes Exel pada si kecil. Hal itu membuat Evan dan Elizabeth tertawa melihat reaksi si sulung yang kesal adiknya lebih asik dengan temannya. "Sayang, tidak papa ... Adik Pauline masih kecil, dia masih belum mengerti. Baginya, bermain dengan siapapun akan menyenangkan," ungkap Elizabeth menjelaskan pada sang putra. "Iya Sayang, lagipula kan sekarang sudah di rumah. Exel bisa bermain kapan saja dengan Adik Pauline," imbuh Evan. "Iya Ma, Pa," jawab Exel. Barulah Exel menurunkan
Setelah kejadian Pauline kabur dari sekolahnya, Elizabeth benar-benar menjaga putrinya itu dengan sangat ketat. Bahkan Evan juga meminta Elizabeth untuk selalu bersama Pauline di sepanjang hari dan tidak meninggalkan ke mana-mana, termasuk pergi bekerja. Hingga siang ini Elizabeth bersama Pauline untuk bertemu dengan Adelaide di sebuah rumah makan. Mereka yang kini tengah berbincang-bincang membicarakan urusan butik. "Del, mungkin aku akan jarang-jarang datang ke butik saat ini. Kemarin Pauline kabur dari sekolahnya, karena tidak ada yang menjaganya," ujar Elizabeth pada sang sahabat. "Ya ampun ... tapi Pauline tidak papa, kan? Kau menemukannya di mana, Elize?" tanya Adelaide. "Dia ditemukan oleh mantan pengasuhnya," jawab Elizabeth sembari mengusap pucuk kepala Pauline. "Memang ya, anakmu yang satu ini sangat nakal sekali!" seru Adelaide menarik pipi kiri Pauline. Ekspresi marah Pauline membuat Adelaide terkekeh gemas. Memang sejak awal, Pauline sudah akrab dengan semua teman-
Setelah hari berlalu dengan cepat. Elizabeth merasakan banyak waktu yang ia berikan pada kedua anaknya saat ia sudah tidak lagi mengerjakan urusan-urusan butik. Terlebih lagi, Evan juga sering meluangkan waktunya untuk Elizabeth agar istrinya tidak bosan dan jenuh menjaga anak-anaknya. Seperti saat ini, Evan dan Elizabeth menuruti permintaan Pauline yang ingin makan siang di rumah makan mewah. "Akhir-akhir ini Exel tidak pernah ikut dengan kita pergi jalan-jalan," ujar Elizabeth sembari memperhatikan Pauline yang menikmati es krimnya. Evan pun mengangguk. "Dia memilih berlatih basket. Karena itu hobinya yang sangat dia cintai saat ini, Sayang." "Iya, dia memang benar-benar anak yang sangat rajin." Evan dan Elizabeth yang asik berbincang, tiba-tiba perhatian mereka teralihkan saat terdengar suara keributan di depan. Dan beberapa orang juga menatap ke arah luar. Di mana seorang wanita pengantar makanan yang tengah dimarahi habis-habisan oleh seseorang. "Kalau jalan itu pakai mata
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat
Pauline menuruti keinginan Alicia yang meminta jalan-jalan bersama Xander pagi ini. Meskipun situasi tampak canggung yang terjadi antara Xander dan Pauline saat ini, namun justru Pauline lah yang banyak diam, karena Xander sibuk berbincang dengan Alicia. "Papa, jadi lihat ikan lumba-lumba kan, Papa?" Anak perempuan kecil itu duduk di pangkuan sang Mama dan menoleh pada Xander yang tengah mengemudi. "Jadi dong, Sayang. Papa kan sudah janji dengan Alicia," jawab Xander terkekeh. "Asikk...! Nanti pulangnya kita beli es krim ya, Pa..." "Iya, Sayang." Xander tersenyum manis menatap wajah Alicia yang terlihat begitu berbinar berbunga-bunga. Anak perempuan itu menyandarkan kepalanya di dada sang Mama. Pauline menoleh pada Xander yang kini tampak begitu bahagia. Ia tidak tahu banyak tentang laki-laki ini selama lima tahun terakhir. Hanya saja, setahu Pauline kalau Xander memang belum menikah atau memiliki pasangan. "Kau tidak sibuk kan, hari ini?" tanya Pauline memecah keheningan. "Sa
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Alicia tampak sudah bangun dan anak itu terlihat jauh sangat bersemangat. Pauline tidak tahu apa yang membuat anaknya begitu antusias, di sisi lain ia hanya pandai menebak kalau kemungkinan besar Xander lah yang membuat Alicia begitu senang."Mama ... ayo cepat, Alicia mau mandi!" pekik anak itu memanggil Pauline yang masih sibuk di dapur. "Mama...!" "Iya, Sayang sebentar!" Elizabeth terdengar menyahuti teriakan cucu kesayangannya. Sampai tak lama kemudian barulah Pauline muncul dan wanita muda itu naik ke lantai dua menemui si kecil yang langsung memasang wajah protes karena Mamanya terlalu lama. "Kenapa, Sayang? Tumben jam segini sudah bangun, hm?" Pauline langsung mengangkat tubuh Alicia dan mengecupi pipinya."Mama, Alicia mau mandi, terus ganti baju yang bagus warna merah muda!" serunya, antusias. "Alicia juga mau pakai sepatu yang merah muda, pakai jepit yang lucu, Mama..." Pauline terkekeh mendengarnya. "Memangnya Alicia mau ke mana, Saya
Sementara di dalam kamar, Pauline panik saat ia terbangun dari tidurnya, wanita muda itu tidak menemukan putrinya. Padahal sudah jelas-jelas tadi saat ia tertidur, Alicia ada di sampingnya. "Ya ampun, ke mana Alicia malam-malam begini!" pekik Pauline kebingungan. Wanita muda bertubuh langsing itu berjalan membuka pintu kamar mandi, dan anaknya tidak ada. Pauline menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka. Buru-buru Pauline keluar dan ia berjalan ke lantai satu. Di sana sepi, hanya ada suara beberapa orang di ruang tamu. Sampai Pauline berjalan ke depan dan kemunculannya disambut oleh Papa dan Kakaknya, juga rekan-rekannya. "Pa ... Papa melihat Alicia?" tanya Pauline panik.Evan menunjuk ke arah depan dengan dagunya. Laki-laki itu tampak tidak ragu dengan Xander, apalagi saat Evan tahu, selama Pauline pergi, Xander masih setia sendiri dan dia bilang kalau suatu saat dia kukuh ingin menemukan Pauline. Evan benar-benar melihat kesungguhan itu, hingga ia tidak membuat jarak antara
Hari sudah malam, Pauline tertidur nyenyak memeluk Alicia. Tetapi anak kecil itu belum juga terlelap. Alicia memeluk botol susunya dan diam menatap ke arah langit-langit kamarnya sambil mengoceh sendiri. "Mama capek, Alicia nakal terus, jadi Mama bobo cepat-cepat..." Anak itu mengerucutkan bibirnya. "Alicia mau punya Papa yang baik, biar seperti Kakak kembar. Emmm, Papanya Alicia pergi jauh dibawa Tuhan," ocehnya dengan mata lebarnya yang mengerjap. Anak bertubuh mungil dengan balutan piyama hangat berwarna ungu muda itupun perlahan-lahan merangkak turun dari atas ranjang. Alicia berjalan membawa botol susunya dan keluar dari dalam kamar, setelah ia tahu pintu kamar tidak ditutup rapat. Dengan langkah kecilnya, anak itu berjalan menuruni anak tangga. "Aduh ... aduh ... anak tangganya sangat banyak. Alicia harus hati-hati. Satu, dua, satu, dua!" seru anak itu dengan suara mungilnya. Tampak di ruang tamu, beberapa orang laki-laki yang tengah berada di sana, sibuk membahas pekerja
Napas Pauline tercekat saat ia melihat sosok Xander berdiri di depannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Pauline. Belum lagi Alicia yang kini memeluk kaku Xander dan anak itu berisik terus meminta gendong. "Om, itu Mamaku, ayo ... Alicia mau gendong. Katanya kalau bertemu Alicia mau digendong lagi! Ayoo, gendong!" pekik Alicia berjinjit-jinjit mengulurkan tangannya pada Xander.Lamunan Xander buyar karena anak itu, ia menunduk dan tersenyum pada Alicia. "Iya, Sayang..." Xander langsung menggendong Alicia dan mengangkat tubuh mungil itu dalam pelukannya sebelum ia berjalan mendekati Pauline yang masih diam membeku di tempatnya. Alicia tersenyum lebar memeluk leher Xander dan menyandarkan kepalanya di sana. "Om, Alicia kok tahu kalau Alicia di sini?" tanya anak itu. "Tentu saja Om tahu, Sayang," jawab Xander. Pauline mengerjapkan kedua matanya dan napasnya terengah tiba-tiba. Ia tercengang melihat pemandangan di hadapannya saat ini. Sejak kapan Alicia dekat dengan Xand
Sepulang dari jalan-jalan bersama Exel beberapa menit yang lalu, tampak Alicia begitu gembira. Anak itu mengoceh ini dan itu sambil menunjukkan mainannya pada sang Mama. Ditemani Elizabeth dan juga Evan yang bersama mereka sekarang. "Wahh ... banyak sekali mainannya, Sayang?" tanya Elizabeth mengecupi pipi cucunya. "Papa Exel sama Mama Tante yang belikan buat Alicia, Oma. Terus ini boneka panda dari Kakak Vano," ujar anak itu menata semua bonekanya di atas sofa ruang keluarga. "Persis sekali dengan Pauline saat masih kecil," sahut Evan. Elizabeth menoleh. "Oh ya, Pa?" "Iya, Sayang." Pauline terkekeh geli, sampai akhirnya Alicia menarik lengan sang Mama. "Mama ayo tidur, Alicia mau tidur sama Mama," seru anak itu. "Ayo, Maa...!" Evan menatap putrinya. "Sudah, sudah, cepat anak Alicia tidur, Nak," ujarnya. "Iya, Pa." Pauline memasukkan semua boneka-boneka milik Pauline ke dalam paper bag ukuran besar dan membawanya naik ke lantai dua. Alicia tampak sangat ceria dan banyak be