Byurrr
Anneth membasuh wajahnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Sungguh, dia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya dia bertemu dengan pria menyebalkan yang siang tadi mengganggu me time-nya saat berada di cafe.
"Apa aku perlu melakukan ritual buang sial supaya dijauhkan dari laki-laki seperti Sean ya? Melihat caranya menatapku membuatku sangat ingin mencolok biji matanya," geram Anneth sadis. Dia lalu mengembuskan nafas kasar, sekali lagi membasuh wajahnya supaya lebih segar. "Ck, menjengkelkan."
Belum juga hilang kekesalan di diri Anneth, ponsel di dalam tasnya berdering. Segera dia melihat siapa yang menelpon. Siapa tahu penting.
"Ibu?" Anneth menarik nafas. Dia berusaha untuk tenang sebelum menjawab panggilan dari sang ibu. "Halo, Ibu. Ada apa?"
["Ann, kau di mana? Sekarang Ibu sedang berada di apartemenmu, tapi kosong. Apa kau masih berada di perusahaan?"]
"Tidak, Ibu. Aku sedang di luar bersama Sofia," jawab Anneth dengan lembut.
["Oh, begitu. Ya sudahlah tidak apa-apa. Tadinya Ibu ingin membicarakan hal penting denganmu, tapi karena kau sedang tidak ada di rumah kapan-kapan saja Ibu baru mengatakannya padamu. Tidak apa-apa, kan?"]
Kedua mata Anneth terpejam erat setelah diberi tahu kalau sang ibu ingin membicarakan hal penting dengannya. Tanpa harus disebutkan, Anneth bisa langsung menebak hal penting apa yang ingin disampaikan padanya. Dia lalu berlapang dada meminta ibunya agar lanjut berbicara.
"Katakan saja sekarang, Bu. Biar nanti malam aku bisa memikirkannya sebelum tidur."
["Apa tidak apa-apa kalau Ibu bicara lewat telepon?"]
"Tidak apa-apa, Ibuku sayang. Akukan putri Ibu, kenapa musti sungkan," sahut Anneth seraya tersenyum tipis. Dia tahu ibunya merasa tak enak hati, tapi tidak mungkin juga Anneth menolak untuk mendengarkan. Jadi ya sudahlah. Dibicarakan lebih cepat itu akan semakin baik. Toh inti pembicaraannya akan sama saja mau disampaikan sekarang atau besok.
["Em begini, Ann. Sekarang usiamu sudah tiga puluh tahun. Sudah waktunya untuk kau membangun rumah tangga. Ibu tidak tega melihatmu berjuang sendirian mengurus perusahaan, jadi Ibu pikir akan jauh lebih baik kalau kau mencari pendamping yang bisa membantu meringankan beban di pundakmu. Kau mengerti apa maksud Ibu, kan?"]
Untuk beberapa saat Anneth sempat terdiam. Dia tentu mengerti kalau sang ibu tengah mengatur perjodohan untuknya.
["Ann, Ibu bukan memaksa. Ibu hanya ingin melihatmu bahagia lagi seperti dulu. Tolong jangan marah ya?"]
"Ya ampun, Ibu. Aku diam bukan karena aku marah, tapi aku diam karena sedang berpikir. Ibu pasti tahu bukan kalau aku tak pernah menjalin hubungan dengan siapapun setelah kejadian itu? Jadi sekarang aku sedang bingung menentukan pria mana yang harus aku nikahi. Begitu," sahut Anneth sambil tersenyum kecut. Berpura-pura santai ternyata rasanya tidak enak sekali ya, tapi apa daya. Demi agar ibunya tidak merasa bersalah Anneth harus rela menunjukkan sikap tenang seperti sekarang.
["Kalau kau tidak keberatan mau tidak Ibu kenalkan dengan anak dari teman Ibu? Anaknya sangat sopan dan juga pintar. Dia belum lama kembali dari luar negeri dan langsung menggantikan posisi suami teman Ibu di perusahaan mereka. Bagaimana? Kau mau tidak?"]
"Apa Ibu yakin pria itu bukan bajingan?"
["Ibu sangat yakin, sayang. Ibu berani mengatakannya padamu karena kami sudah bertemu. Dan seharusnya sih dia adalah pria baik-baik."]
"Aku terserah Ibu saja bagaimana baiknya. Jika menurut Ibu dia pantas untuk menjadi suamiku, maka aku memilih patuh. Selama itu bisa membuat Ibu bahagia, aku tidak akan melawan."
["Kau yakin?"]
"Iya, Ibu."
["Ya sudah kalau begitu Ibu akan mengatur pertemuan kalian. Kau dan Sofia jangan pulang malam-malam ya. Tidak baik wanita cantik seperti kalian berada di luar rumah tanpa ada pengawalan. Ibu tutup panggilan ini dulu. Kalian bersenang-senanglah."]
"Iya, Ibu."
Anneth memasukkan ponsel ke dalam tasnya kemudian mengembuskan nafas dengan kuat. Lagi-lagi ibunya menuntut agar dia segera menikah. Memang tidak ada salahnya sih, tapi entah mengapa rasanya sungguh malas sekali jika harus terlibat dengan yang namanya laki-laki. Anneth masih terluka. Dan luka itu membuatnya mati rasa.
"Semoga saja saat pertemuan nanti laki-laki itu menolak untuk menikah denganku," gumam Anneth penuh harap. Dia lalu melangkah gontai saat keluar dari dalam kamar mandi.
Dan ketika Anneth sampai di luar, dia dikejutkan oleh keberadaan seorang pria yang tengah menyender di tembok sambil bersedekap tangan. Sontak keberadaan pria ini membuat kekesalan Anneth kian bertambah. Malas meladeni, Anneth berjalan melewatinya begitu saja. Dia muak.
"Apa kau selalu bersikap sedingin ini pada semua laki-laki?" tanya Sean agak kesal saat keberadaannya tidak dianggap. Dia bergegas menyusul Anneth kemudian berjalan di sampingnya. "Atau hanya padaku saja kau bersikap acuh, hm?"
"Bukan urusanmu!" sahut Anneth cetus.
"Memang."
Sean tersenyum. Mencoba melunak demi agar wanita ini tidak terus memberontak. Ah, benar-benar sangat menarik. Sungguh. Sulit untuk dijelaskan.
"Menjauhlah dariku. Kau membuatku muak, Sean!" sergah Anneth jengah saat pria ini terus menempel padanya. Ingin rasanya Anneth memukul kepalanya, tapi tak mungkin dia lakukan. Kenapa begitu? Karena Anneth tahu kalau Sean bukan pria dari keluarga biasa. Walau tak terlalu memperhatikan, tapi Anneth tahu kalau semua barang yang melekat di tubuh Sean merupakan barang-barang dengan harga yang sangat mahal. Dan bisa saja Sean adalah salah satu putra dari taipan yang ada di negara mereka. Jadi dia tak boleh asal.
"Beritahu dulu apa alasan kau begitu membenciku. Bukankah sebelumnya kita tidak saling kenal?" tanya Sean semakin penasaran. Penolakan wanita ini membuat otaknya seperti akan gila. Sangat aneh.
"Tidak perlu alasan apapun untuk aku membencimu. Pergilah. Jangan ganggu aku!" jawab Anneth lirih.
Sreett
Hampir saja Anneth berteriak kencang karena terkejut saat tangannya ditarik kuat. Dalam beberapa detik mulut Anneth hanya bisa terkatup rapat saat matanya beradu pandang dengan mata Sean. Posisinya sekarang sedang berada di pelukan pria ini. Bajingan, bukan? Ya, sangat.
"Why, Ann? Tell me why!" desak Sean penuh rasa ingin tahu.
"Lepas!"
"No!"
"Aku bilang lepas, Sean!!"
Suara teriakan Anneth berhasil menyita perhatian beberapa orang yang sedang lewat. Kesempatan itu digunakan Anneth untuk melepaskan diri dari pelukannya.
"Kau benar-benar brengsek, Sean. Jangan pernah lagi kau muncul di depan mataku!" amuk Anneth berapi-api.
"Ya, kau benar. Aku memang brengsek, tapi aku tidak sebrengsek yang kau pikir!" sahut Sean dengan santai menyanggah umpatan Anneth. Tangannya kemudian bergerak mengusap bibir, dia masih didera rasa penasaran yang begitu hebat. "Beritahu dulu alasan kenapa kau begitu dingin terhadapku. Jika alasanmu masuk akal, aku berjanji tidak akan mengganggumu lagi. Oke?"
Mata Sean tampak menyipit saat dia mendapati ada gelagat yang mencurigakan di diri Anneth. Wanita ini terlihat gelisah dan juga bingung. Apa yang terjadi?
"Ann, you okay?"
"Jangan bicara denganku lagi. Kau menjijikkan!"
Setelah berkata seperti itu Anneth langsung pergi dari hadapan Sean. Jujur, saat ini telapak tangannya sudah mengeluarkan keringat dingin. Bayangan menjijikkan itu tiba-tiba melintas dalam ingatan saat Sean mengakui kalau dirinya adalah pria brengsek.
Sofia berjengit kaget saat Anneth tiba-tiba memeluknya. Penasaran, dia segera menanyakan ada apa. Namun, Sofia harus berpuas diri dengan hanya mendapat jawaban berupa gelengan kepala dari wanita ini.
(Ada apa ya? Apa saat ke kamar mandi tadi ada kejadian yang membuat Anneth jadi ketakutan begini? Aneh sekali.)
***
"Mau sampai kapan kau main-main begini, Sean? Lupa ya kalau kau itu sudah tua? Perlu dituliskan di kening tidak berapa usiamu sekarang?"Tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, Sean akhirnya sampai di rumah. Dan begitu dia masuk, sebuah ejekan langsung menyapa indra pendengarannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan wanita cantik yang telah berbesar hati melahirkannya ke dunia ini. Nyonya Sinclair, Safina. "Jangan diam saja. Cepat jawab Ibu!" sentak Safina sambil berkacak pinggang. "Bu, ayolah. Sekarang jam tiga pagi, bisa tidak marah-marahnya ditunda besok saja?" sahut Sean dengan santainya. Dia kemudian terbatuk saat tenggorokannya terasa kering. "Uhh, alkohol di negara ini tidak sebaik di tempat tinggalku dulu. Alangkah baiknya jika aku bisa kembali lagi ke sana. Hmmm,"Rasa-rasanya kepala Safina seperti mendidih saat mendengar perkataan putra semata wayangnya. Kesal, dia melepas alas kaki lalu dilemparkan ke arah pria bengal yang malah tertawa melihatnya murka. "Ckck
"Ann, kau baik-baik saja?" tanya Merly sembari memperhatikan putrinya yang terlihat tidak bersemangat menikmati sarapan. Sekarang dia tengah berada di apartemen Anneth. Sengaja datang kemari karena sudah lebih dari dua hari tidak bertemu dengan anak gadis kesayangannya. "Hah? Ibu bilang apa barusan?" Anneth yang sedang melamun langsung terhenyak kaget saat ibunya tiba-tiba membuka suara. Pikirannya tengah melayang mengingat satu kejadian perih yang membuat hidupnya berubah drastis. "Sejak tadi Ibu perhatikan kau terlihat lesu sekali. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di kantor?" tanya Merly dengan lembut. Manik matanya terus memperhatikan gerak tubuh putrinya yang terlihat seperti orang kebingungan. "Tidak, Bu. Keadaan kantor baik-baik saja kok. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semuanya aman terkendali," jawab Anneth. "Lalu?" "Lalu ... ya tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Merly menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu, sangat ama
Anneth menyerahkan kunci mobil pada satpam kemudian menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Menjadi seorang bos membuatnya harus memberi contoh yang baik dengan selalu datang tepat waktu ke kantor. Hal ini membuat para karyawan begitu hormat dan juga segan terhadapnya. "Selamat pagi, Nona Anneth," sapa seorang karyawan yang bertugas di meja resepsionis. Senyumnya ramah. Dilengkapi juga dengan pakaian yang rapi serta bersih. "Pagi," sahut Anneth tak ramah. "Nona, seseorang menitipkan bunga untuk diberikan kepada Anda." Sebelah alis Anneth terangkat ke atas. Dia lalu melirik ke arah meja di mana ada sebuket bunga lili tergeletak di sana. Menyebalkan. Lagi-lagi dia mendapat hadiah seperti ini. Sampai kapan? "Pengirimnya masih orang yang sama?" "Benar, Nona. Malah tadi orang itu bersikeukeuh ingin memberikannya langsung kepa
Bab 8Sean berjalan santai sambil memainkan kunci mobil saat menuju ruangan ayahnya. Saat ini dia tengah berada di perusahaan, menepati janjinya yang akan melakukan serah-terima sebagai bos besar di sini."Selamat datang, Tuan Arsean!" sapa beberapa karyawan sambil membungkuk hormat ke arah bos baru mereka yang baru saja datang.Yang pertama kali dilakukan Sean ketika mendengar sapaan tersebut adalah menarik nafas. Dia sungguh tak senang dengan keadaan ini. Keberadaan orang-orang tersebut membuat lehernya seperti tercekik. Terbayang dipelupuk mata bagaimana nanti dia akan berkutat dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya. Astaga, hanya membayangkan saja sudah membuat perut Sean terasa mual. Lalu apa yang akan terjadi nanti saat dia mulai menjalani?"Selamat siang. Duduklah," ucap Sean mempersilahkan orang-orang untuk kembali duduk. Setelah itu dia menghampiri ayahnya yang terlihat
"Kau serius akan benar-benar menikah dengan pria yang Bibi Merly pilihkan?" tanya Sofia seraya menatap seksama ke arah sahabatnya yang tengah mengaduk minuman. Mereka sekarang tengah berada di cafe setelah Sofia memaksanya meninggalkan pekerjaan yang tiada habisnya."Tidak ada pilihan lain, Sof. Hatiku sakit melihat Ibu tidak bahagia.""Lalu kau sendiri? Apa kau bahagia dengan keputusan tersebut?""Aku tidak tahu,"Kepala Anneth tertunduk dalam. Bahagia? Kata ini sungguh sangat jauh dari pikirannya. Hanya saja dia tak kuasa melihat raut sedih yang terus menghiasi wajah ibunda tercinta. Anneth tahu betul kalau kesedihan itu berasal dari kekhawatiran sang ibu akan masa depannya. Jadi sekarang sudah tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan yang telah diatur untuknya. Meski sebenarnya hati sangat ingin menolak."Coba pikirkan dulu masak-masak, Ann. Menikah
["Sayang, besok malam jangan lupa datang ke alamat ini ya. Ibu dan teman Ibu sudah mengatur pertemuan untuk kalian. Maaf jika keputusan ini terkesan memaksa dan terburu-buru. Ibu hanya terlalu menyayangimu. Ibu ingin yang terbaik untukmu, Ann. Tolong jangan benci Ibu ya,"] Anneth hanya bisa termangu diam seusai membaca pesan dari ibunya. Perasaannya sekarang sungguh sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Jujur, jika menuruti keinginan hati rasanya ingin sekali dia menolak perjodohan tersebut. Akan tetapi kembali lagi pada rasa tak tega yang Anneth rasakan ketika melihat raut sedih di wajah ibunda tercinta. "Hahhhh, semangat Anneth. Kau pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Tak apa mengalah. Demi kebahagiaan ibumu," gumam Anneth menyemangati dirinya sendiri. Sejak Anneth meninggalkan Sofia berdua dengan Sean di cafe, sejak saat itu dia tak membiarkan sahabatnya datang mengacau. Anneth dengan sengaja memblokir nomor Sofia dari ponselnya dan berpesan pada security agar mengus
"Kita bertemu lagi, Nona manis!" ucap Sean seraya menatap penuh kagum pada wanita dingin yang tengah duduk di hadapannya. "Melihatmu yang cantik ini serasa menemukan harta karun yang luar biasa banyak. Sungguh!"Alih-alih menjawab, Anneth malah melayangkan tatapan membunuh ke arah Sofia. Giginya saling menggeretak, jengkel karena lagi-lagi bertemu dengan Sean. Dia berani bertaruh kalau Sofia pasti ada hubungannya dengan kemunculan pria mesum tersebut. "Oh, sorry. Aku sama sekali tak ada hubungannya dengan kemunculan Sean di sini, Ann!" ucap Sofia sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Dia langsung tanggap akan arti tatapan galak sahabatnya. "Kau pikir aku akan percaya begitu saja pada ucapanmu?" "Ayolah, Ann. Kaulah yang mengajakku datang kemari. Jadi mustahil aku dan Sean bersekongkol untuk mengerjaimu. Iya, kan?"Anneth mendengus kasar. Niat hati ingin menyegarkan pikiran, dia malah harus bertemu dengan pria yang sangat luar biasa menjengkelkan. Ingin rasanya dia mengusir Sea
Sean duduk melamun sambil memutar-mutarkan wine yang ada di dalam gelas. Posisinya sekarang tengah berada di sebuah klab. Dia memutuskan untuk datang kemari seusai menemui sepupunya, Oliver."Perkataan Oliver begitu menggantung. Kira-kira dia sengaja menyembunyikan sesuatu dariku atau memang benar dia tidak tahu ya?" gumam Sean bertanya-tanya sendiri. "Oliver sudah dua tahun menjalin hubungan dengan Sofia. Harusnya sih dia tahu banyak hal yang berhubungan dengan hidup sahabat dari kekasihnya. Terutama tentang penyebab mengapa sikap Anneth bisa menjadi sangat dingin. Tetapi kenapa Oliver tidak?"Flashback"Hanya itu yang aku ketahui tentang Anneth. Sungguh!" ucap Oliver sembari memainkan pena di tangan."Masa hanya itu saja yang kau ketahui sih. Kau tidak sedang mempermainkan aku, kan?" cecar Sean tak puas akan jawaban sepupunya."Untuk apa aku memp
Sean fokus membaca informasi yang dibawakan oleh orang suruhannya. Dia yang begitu penasaran akan kemunculan Maya alias Melinda, tak kaget begitu mengetahui motif wanita itu."Ingin menjadikanku tempat pelarian?" Sean menyeringai. "Mimpi. Kau terlalu jauh berkhayal, Mel. Aku tak sehina itu untuk kau jadikan tempat persinggahan."Wina diam tak bereaksi mendengar ucapan atasannya. Dia hanya diam-diam menebak ejekan tersebut ditujukan pada wanita yang kemarin datang ke kantor. Ini adalah kali pertama, dan besar kemungkinan akan adalagi wanita lain yang datang berkunjung. Hmmm, nasib menjadi sekertaris dari seorang mantan Casanova. Harus rela menghadapi jejeran wanita yang pernah menjadi pasangan one night stand pria tersebut."Meski aku bukan seorang cenayang, aku tahu kau sedang memikirkan hal buruk tentang diriku. Benar?""Anda terlalu pandai menilai seseorang, Tuan." Wina tak menampik. Dia hanya tersenyum kecil karena ketahuan sedang membatin."Itulah aku. Dan terkadang aku sedikit me
Tok tok tok"Selamat siang, Tuan Arsean. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Wina melapor. Dengan sabar dia menunggu saat atasannya acuh akan apa yang disampaikan. Salah satu tabiat buruk yang kini menjadi makanan sehari-hari sejak pemilik perusahaan berganti orang."Tuan Arsean?""Hmm, kau sangat mengganggu, Win." Akhirnya Sean merespon. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wanita cantik yang telah mengacaukan fantasi liarnya. "Sayang sekali kau adalah sekertaris pilihan ayahku. Jika bukan, aku pasti sudah menyeretmu ke ranjang sebagai bentuk hukuman. Tahu?""Anda terlalu berlebihan, Tuan. Orang seperti saya mana mungkin pantas berada di ranjang yang sama dengan anda," sahut Wina santai. Selain mempunyai perangai yang buruk, atasannya ini juga lumayan mesum."Kenapa tidak? Bukankah kau normal?""Tentu saja iya,""Kalau begitu apanya yang tidak pantas? Jangan terlalu naif, Wina. Aku tahu betul ucapanmu tak sinkron dengan isi hatimu. Benar tidak?"Wina hanya te
"Ann, coba kau pikirkan sekali lagi. Aku tidak mau sahabat ku menjadi janda hanya karena sebuah perjodohan. Itu tidak lucu!""Terserah kau mau bicara apa. Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Apalagi kalau kau menjadi jandanya Sean. Otomatis kau akan menjadi lebih kaya lagi. Aku tidak mau orang-orang mengejarmu yang berstatus sebagai janda kaya raya. Itu mengerikan."Fokus Anneth terpecah setelah mendengar ocehan Sofia yang tidak masuk akal. Dia lalu mendengus, kesal. Untung sahabat. Kalau bukan, Anneth pasti sudah merujaknya sejak tadi. Benar-benar membuang waktu saja."Oke, aku tahu alasan dibalik kau menerima perjodohan ini adalah karena demi kesehatan Bibi Merly. Tapi Ann, pernikahan tanpa cinta itu apa artinya? Bagaimana jika nanti setelah menikah Sean berubah menjadi bajingan dan memperlakukanmu dengan kasar?" ucap Sofia sembari menggigit ujung jari. Sahabatnya yang ingin menikah, tapi dia yang kebakaran jenggot. Sofia tentu saja ingin yang terbaik untuk Anneth, tapi Sean? Olive
Ponsel di tangan Sean langsung terjatuh begitu karyawan butik membuka tirai. Tampak di hadapannya sosok cantik bak peri kayangan berdiri anggun dengan gaun pengantin berwarna putih menghias tubuhnya. Indah, sangat luar biasa indah. Gaun dengan ekor panjang menjuntai, menampilkan bagian bahu yang dibiarkan terbuka, membuat Sean ternganga seperti idiot."Very beautifull. Luar biasa," puji Sean setengah tak sadar. Saking terpesona, dia sampai tak menyadari kalau reaksinya sedang menjadi bahan tertawaan karyawan butik."Kendalikan tampang bodohmu itu, Sean. Jangan membuatku malu," tegur Anneth. Tapi jujur, reaksi pria ini membuatnya bahagia. Padahal saat di dalam tadi Anneth sempat merasa khawatir apakah Sean akan menyukai gaun pilihan ibu mertuanya atau tidak. Dan hasilnya ... pria ini langsung kicep seraya menampilkan mimik seorang idiot. Anneth kesal, tapi gembira."Honey, kaukah ini?"
"Berhenti menatapku. Aku risih.""Hon, tolong jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Itu menyakitkan. Tahu?""Masih ada pemandangan lain yang bisa kau lihat. Jangan tak tahu diri.""Tidak ada yang lebih indah dari pesona kecantikan calon istriku. Itu valid, tak bisa didebat.""Keras kepala,""Terima kasih atas pujiannya. Aku tersanjung."Sean menyeringai puas setelah menang debat dari Anneth. Tanpa mengalihkan pandangan, dia membali melontarkan kalimat bualan yang mana membuat wanita ini mendesah jengah. "Kalau saja aku tahu di kota ini ada wanita secantik dirimu, aku pasti sudah kembali sejak dulu. Untungnya aku tidak terlambat datang. Lengah sedikit, kau pasti sudah menjadi milik orang lain."Tak ada respon apapun yang muncul di diri Anneth saat Sean kembali membual. Seperti sudah kebal, padahal mereka baru beberapa
Anneth tak menghiraukan keberadaan pria yang saat ini tengah duduk di sofa. Tangan dan matanya sibuk memeriksa berkas di meja."Hon, mau sampai kapan kau mengacuhkanku?"Tak ada respon. Sean lalu mend*sah pelan. Calon istrinya benar-benar sangat dingin. Ketampanannya seolah tak berarti apa-apa di mata wanita ini.(Sebenarnya apa yang telah membuat Anneth menjadi sedingin ini? Aku jadi semakin penasaran. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Tetapi kalau dia marah bagaimana? Astaga, rumit sekali hubungan percintaanku. Padahal aku sudah sangat ingin bermanja-manja padanya. Sedih sekali,)"Kemarilah. Berkasnya sudah selesai ku tandatangani." Anneth menutup panggilan. Ekor matanya melirik ke arah Sean yang masih betah menunggu di sana. Mendapati pria tersebut tengah asik melamun, Anneth memutuskan untuk tidak mengusiknya. Tidak diusik saja sudah membuat kesal, apalagi jika sengaja memulainy
Ding dongSuara bel mengalihkan perhatian Anneth yang tengah asik dengan pekerjaannya. Dia menoleh, menatap sekilas ke arah pintu apartemen. Dari reaksinya, dia seperti enggan membukakan pintu untuk orang yang datang berkunjung. Mungkin orang salah kamar. Biasalah, mabuk.Ding dongSuara bel kembali terdengar saat Anneth tak kunjung membuka pintu. Sepertinya tamu yang datang begitu gigih ingin agar mereka bertemu. Karena setiap kali Anneth abaikan, orang tersebut akan kembali menekan bel. Hal ini tentu saja membuat si pemilik kamar menjadi kesal. Anneth meletakkan pena ke atas meja lalu mendengus kasar."Manusia mana yang tidak tahu diri bertamu di jam sepuluh malam? Heran!" gerutu Anneth sembari beranjak dari duduknya. Penampilannya cukup sederhana dengan hanya memakai kaos kebesaran disertai dengan hotpants pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuncir kuda. Tak lupa
"Mau sampai kapan kau menggangguku?" tanya Oliver. Dia tak henti menghela nafas panjang sambil menatap pria aneh yang sedang duduk di hadapannya. "Ini sudah hampir satu jam, Sean. Apa maumu sebenarnya?"Sean masih enggan membuka mulut. Pikirannya jauh menerawang. Menerka gerangan apa yang membuat calon istrinya menggumamkan kata penuh amarah saat mereka tidur bersama."Ayolah, Arsean. Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak terbebani dengan pekerjaan. Aku bisa gagal menikahi Sofia kalau kau menghambat waktu kerjaku. Tolonglah. Ya?""Siapa orangnya?""Hah?""Siapa orang yang telah lancang menyakiti calon istriku hingga meninggalkan luka mendalam di hatinya?" ucap Sean. Sedetik setelah itu dia mengusap dagu bawahnya, masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak mungkin Anneth pernah menjadi korban pelecehan. Aset-aset di tubuhnya masih begitu kencang dan juga kenyal. A
Anneth mendesah tertahan ketika Sean menghisap kuat kulit lehernya. Posisi mereka cukup intim di mana Anneth benar-benar duduk tepat di atas gundukan junior milik Sean."Ahhhhhhh," ....(So seksi .... )"Lepaskan saja, Hon. Jangan ditahan," bisik Sean sambil menelan ludah. Dia hampir gila hanya dengan mendengar suara desahan Anneth. Kelewat seksi, membuat tubuhnya seperti terbang melayang. "Kau seperti heroin, Hon. Suara desahanmu membuatku candu. Bagaimana ini?""K-kalau begitu hentikan," sahut Anneth setengah berbisik. Sayangnya respon tubuh tidak sesuai dengan kata yang terucap keluar. Bibir berkata agar berhenti, tapi tangan masih melingkar di leher pria yang tengah membuatnya terbuai sentuhan."No, tidak akan. Aku suka menjadi gila. Begitu juga dengan dirimu. Kau ingin sentuhan yang lebih dari ini, bukan?""Jangan gila, Sean. Ini