Sean duduk melamun sambil memutar-mutarkan wine yang ada di dalam gelas. Posisinya sekarang tengah berada di sebuah klab. Dia memutuskan untuk datang kemari seusai menemui sepupunya, Oliver."Perkataan Oliver begitu menggantung. Kira-kira dia sengaja menyembunyikan sesuatu dariku atau memang benar dia tidak tahu ya?" gumam Sean bertanya-tanya sendiri. "Oliver sudah dua tahun menjalin hubungan dengan Sofia. Harusnya sih dia tahu banyak hal yang berhubungan dengan hidup sahabat dari kekasihnya. Terutama tentang penyebab mengapa sikap Anneth bisa menjadi sangat dingin. Tetapi kenapa Oliver tidak?"Flashback"Hanya itu yang aku ketahui tentang Anneth. Sungguh!" ucap Oliver sembari memainkan pena di tangan."Masa hanya itu saja yang kau ketahui sih. Kau tidak sedang mempermainkan aku, kan?" cecar Sean tak puas akan jawaban sepupunya."Untuk apa aku memp
Anneth tak henti mend*sah saat orang yang dia tunggu tak kunjung datang. Posisinya sekarang tengah berada di sebuah restoran, tempat di mana dia dan calon suaminya akan bertemu. ["Kau jangan sampai salah mengenali orang, Ann. Pria yang akan kau temui memiliki paras yang sangat tampan dan tubuh yang tinggi menjulang. Kepribadiannya juga sopan dan rapi. Pokoknya Ibu jamin kau akan langsung jatuh hati begitu bertemu dengannya. Oke?"]"Jatuh hati?" Anneth tersenyum getir. "Aku bahkan sudah lupa bagaimana cara untuk jatuh hati pada lawan jenis, Bu. Aku sudah mati rasa. Di mataku tidak ada yang namanya cinta selain mencintai Ibu dan almarhum Ayah."Gumaman tersebut menjadi kata terakhir yang keluar dari mulut Anneth sebelum akhirnya dia diam menundukkan kepala. Jika boleh memilih, ingin rasanya Anneth pergi saja dari sana. Terlalu enggan untuknya bertemu dengan lelaki yang entah seperti apa wataknya. Namun ketika pemikiran ini terbersit di dalam hati, bayangan kesedihan di wajah ibunya lan
"Apa yang ingin kau ketahui?""Siapa yang sedang kau tunggu?" ucap Sean menjawab pertanyaan Anneth. Jauh di dalam lubuk hatinya, Sean sangat berharap kalau Anneth bukan sedang menantikan seorang pria. "Kau di sini seorang diri. Tidak mungkin adalah suatu kesengajaan biasa. Apa benar?""Haruskah aku menjawab?" Bebal sekali. Sebegitu tidak tahu malunya pria ini memaksa untuk mengetahui urusannya. Ingin marah, tapi tubuhnya seakan menolak untuk beranjak. Alhasil Anneth hanya bisa bersabar menghadapi cecaran Sean."Ya. Aku bahkan tidak keberatan kalau kau bersedia bicara jujur."Terdengar decakan pelan dari mulut Anneth saat mendengar jawaban Sean yang sarat akan paksaan, tapi dilakukan dengan cara lembut. Aneh saja. Dia merasa pria ini tengah bersikap posesif kepadanya. Padahal kan mereka hanya orang asing yang baru beberapa kali bertemu, tapi entah mengapa Sean bisa sebegini memaksanya untuk menj
"Kita sudah sampai, tuan putri. Silahkan keluar!" ucap Sofia seraya membungkukkan badan setelah membukakan pintu mobil. Gerak tubuhnya sangat luwes. Mirip sekali dengan gaya seorang pelayan yang tengah melayani ratunya."Jangan sok perhatian. Aku tahu kau sedang menginginkan sesuatu," cibir Anneth langsung paham akan maksud tujuan sahabatnya yang tiba-tiba bersikap manis. Dia keluar dari dalam mobil kemudian menatapnya datar. "Kali ini tentang apa?"Sofia meringis lebar. Sahabatnya memang yang paling tahu tentang dirinya. Terbaik."Aku penasaran dengan hasil pertemuanmu semalam. Bagaimana? Apa orangnya baik? Tampan tidak? Emm penampilannya tidak kolot seperti orang-orang yang baru datang dari pedesaan, kan?" cecar Sofia penuh rasa ingin tahu."Kau masih bernafas, kan?""Maksudnya?""Bicaramu sepanjang kereta api. Aku takut kau henti nafas ka
"Sean, nanti malam kau jangan pergi ke mana-mana. Usahakan semua pekerjaan selesai lebih awal agar kau bisa pulang cepat ke rumah. Paham?!" ucap Safina sambil menatap lekat ke arah putranya yang tengah menikmati makan siang. B*jingan satu ini baru saja bangun setelah pulang dari klab pukul setengah lima dini hari tadi."Come on, Bu. Aku bahkan baru membuka mata dan Ibu sudah mengatur hidupku. Apa tidak bosan terus merecoki hidup putramu, hm?" protes Sean jengah mendengar petuah sang ibu yang terkesan memaksa. Bukan terkesan sih, tapi memang benar-benar dipaksa. Hmm."Sudah bosan hidup ya? Mau kau merasakan garpu terbang?"Edgar pura-pura tak mendengar saat istri dan anaknya kembali terlibat perdebatan. Biar sajalah. Lebih baik dia tak ikut campur dulu dalam masalah ini. Takut menjadi korban dari garpu terbang. Hihihi."Dengar perkataan Ibu baik-baik. Nanti malam teman Ibu dan anakny
"Arsean, apa kau sungguh-sungguh ingin mengejarnya?" tanya Oliver memastikan. Resah, itu yang dia rasakan sekarang.Tanpa ragu Sean menganggukkan kepala. Dia kini tengah berada di kantor sepupunya setelah berhasil menyelamatkan diri dari ibunya "Hanya dia satu-satunya wanita yang mampu mencuri perhatianku sejak kembali ke negara ini. Jadi apa pun caranya dan bagaimana pun dinginnya dia, aku akan berusaha keras untuk mendapatkan Anneth."Oliver mend*esah pelan. Ini kabar yang kurang baik. Bukan tak mendukung keinginan sepupunya, dia hanya merasa kalau Sean tak benar-benar ingin mendapatkan Anneth. Kalau yang menjadi mangsa Casanova ini bukan sahabat karib dari kekasihnya, mungkin Oliver akan masa bodo. Tetapi di sini yang menjadi masalah adalah bagaimana jika Sean hanya berniat mempermainkan Anneth kemudian hal tersebut diketahui oleh Sofia, maka tamatlah hubungan mereka. Sepak terjang sepupunya soal dunia wanita cukup mengerikan. Olive
"Sudah siap?"Anneth menganggukkan kepala. Dia lalu berjalan menuruni anak tangga menuju sang ibu yang tengah memperhatikannya sambil tersenyum. Cantik sekali. Dan demi kecantikan wanita ini, Anneth rela melakukan segalanya. Termasuk merendahkan diri dengan datang ke rumah laki-laki yang akan dijodohkan dengannya."Sayang, kau cantik sekali dengan gaun ini. Ibu sampai pangling tadi," ucap Merlyn memuji kecantikan putrinya. Saat ini Anneth mengenakan gaun setengah paha dengan warna merah maroon. Model gaun ini cukup seksi dengan menampilkan bagian bahu dan juga punggung."Terima kasih banyak atas pujiannya. Malam ini Ibu juga terlihat begitu cantik dan juga anggun. Sayang sekali Ayah sudah tidak ada. Kalau Ayah masih ada, aku jamin Ayah pasti akan meneteskan air liur melihat penampilan Ibu sekarang," seloroh Anneth balas memuji sang ibu. Setelah itu Anneth memeluknya penuh sayang. "Tolong doakan agar semuanya
Sean tak henti-hentinya menghela nafas saat mematut diri di depan cermin. Dia sedang kesal. Kesal sekali. Mengapa demikian? Berniat menampilkan diri sebagai sosok pria jorok yang tidak tahu cara berpakaian dengan benar, malah membuatnya terlihat semakin tampan dengan hanya mengenakan kaos biasa beserta celana pendek. Terlalu jauh dari prediksi yang dia bayangkan."Heran. Di bagian mana Tuhan meletakkan kekuranganku ya? Kukira dengan memakai stelan seperti ini akan membuatku terlihat seperti gembel. Kenapa ketampananku malah bertambah semakin bersinar saja?" ujar Sean terheran-heran sendiri. Tangannya kemudian bergerak mengusap deretan roti sobek di perutnya. "Perfect!"Tok tok tokPintu kamar diketuk dari luar. Hal itu membuat Sean berdecak kuat. Wanita itu pasti sudah datang. Menyebalkan."Sean, Ibu tahu kau ada di dalam. Cepat keluar. Tamunya sudah datang!" teriak Safina dari luar pintu
Sean fokus membaca informasi yang dibawakan oleh orang suruhannya. Dia yang begitu penasaran akan kemunculan Maya alias Melinda, tak kaget begitu mengetahui motif wanita itu."Ingin menjadikanku tempat pelarian?" Sean menyeringai. "Mimpi. Kau terlalu jauh berkhayal, Mel. Aku tak sehina itu untuk kau jadikan tempat persinggahan."Wina diam tak bereaksi mendengar ucapan atasannya. Dia hanya diam-diam menebak ejekan tersebut ditujukan pada wanita yang kemarin datang ke kantor. Ini adalah kali pertama, dan besar kemungkinan akan adalagi wanita lain yang datang berkunjung. Hmmm, nasib menjadi sekertaris dari seorang mantan Casanova. Harus rela menghadapi jejeran wanita yang pernah menjadi pasangan one night stand pria tersebut."Meski aku bukan seorang cenayang, aku tahu kau sedang memikirkan hal buruk tentang diriku. Benar?""Anda terlalu pandai menilai seseorang, Tuan." Wina tak menampik. Dia hanya tersenyum kecil karena ketahuan sedang membatin."Itulah aku. Dan terkadang aku sedikit me
Tok tok tok"Selamat siang, Tuan Arsean. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Wina melapor. Dengan sabar dia menunggu saat atasannya acuh akan apa yang disampaikan. Salah satu tabiat buruk yang kini menjadi makanan sehari-hari sejak pemilik perusahaan berganti orang."Tuan Arsean?""Hmm, kau sangat mengganggu, Win." Akhirnya Sean merespon. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wanita cantik yang telah mengacaukan fantasi liarnya. "Sayang sekali kau adalah sekertaris pilihan ayahku. Jika bukan, aku pasti sudah menyeretmu ke ranjang sebagai bentuk hukuman. Tahu?""Anda terlalu berlebihan, Tuan. Orang seperti saya mana mungkin pantas berada di ranjang yang sama dengan anda," sahut Wina santai. Selain mempunyai perangai yang buruk, atasannya ini juga lumayan mesum."Kenapa tidak? Bukankah kau normal?""Tentu saja iya,""Kalau begitu apanya yang tidak pantas? Jangan terlalu naif, Wina. Aku tahu betul ucapanmu tak sinkron dengan isi hatimu. Benar tidak?"Wina hanya te
"Ann, coba kau pikirkan sekali lagi. Aku tidak mau sahabat ku menjadi janda hanya karena sebuah perjodohan. Itu tidak lucu!""Terserah kau mau bicara apa. Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Apalagi kalau kau menjadi jandanya Sean. Otomatis kau akan menjadi lebih kaya lagi. Aku tidak mau orang-orang mengejarmu yang berstatus sebagai janda kaya raya. Itu mengerikan."Fokus Anneth terpecah setelah mendengar ocehan Sofia yang tidak masuk akal. Dia lalu mendengus, kesal. Untung sahabat. Kalau bukan, Anneth pasti sudah merujaknya sejak tadi. Benar-benar membuang waktu saja."Oke, aku tahu alasan dibalik kau menerima perjodohan ini adalah karena demi kesehatan Bibi Merly. Tapi Ann, pernikahan tanpa cinta itu apa artinya? Bagaimana jika nanti setelah menikah Sean berubah menjadi bajingan dan memperlakukanmu dengan kasar?" ucap Sofia sembari menggigit ujung jari. Sahabatnya yang ingin menikah, tapi dia yang kebakaran jenggot. Sofia tentu saja ingin yang terbaik untuk Anneth, tapi Sean? Olive
Ponsel di tangan Sean langsung terjatuh begitu karyawan butik membuka tirai. Tampak di hadapannya sosok cantik bak peri kayangan berdiri anggun dengan gaun pengantin berwarna putih menghias tubuhnya. Indah, sangat luar biasa indah. Gaun dengan ekor panjang menjuntai, menampilkan bagian bahu yang dibiarkan terbuka, membuat Sean ternganga seperti idiot."Very beautifull. Luar biasa," puji Sean setengah tak sadar. Saking terpesona, dia sampai tak menyadari kalau reaksinya sedang menjadi bahan tertawaan karyawan butik."Kendalikan tampang bodohmu itu, Sean. Jangan membuatku malu," tegur Anneth. Tapi jujur, reaksi pria ini membuatnya bahagia. Padahal saat di dalam tadi Anneth sempat merasa khawatir apakah Sean akan menyukai gaun pilihan ibu mertuanya atau tidak. Dan hasilnya ... pria ini langsung kicep seraya menampilkan mimik seorang idiot. Anneth kesal, tapi gembira."Honey, kaukah ini?"
"Berhenti menatapku. Aku risih.""Hon, tolong jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Itu menyakitkan. Tahu?""Masih ada pemandangan lain yang bisa kau lihat. Jangan tak tahu diri.""Tidak ada yang lebih indah dari pesona kecantikan calon istriku. Itu valid, tak bisa didebat.""Keras kepala,""Terima kasih atas pujiannya. Aku tersanjung."Sean menyeringai puas setelah menang debat dari Anneth. Tanpa mengalihkan pandangan, dia membali melontarkan kalimat bualan yang mana membuat wanita ini mendesah jengah. "Kalau saja aku tahu di kota ini ada wanita secantik dirimu, aku pasti sudah kembali sejak dulu. Untungnya aku tidak terlambat datang. Lengah sedikit, kau pasti sudah menjadi milik orang lain."Tak ada respon apapun yang muncul di diri Anneth saat Sean kembali membual. Seperti sudah kebal, padahal mereka baru beberapa
Anneth tak menghiraukan keberadaan pria yang saat ini tengah duduk di sofa. Tangan dan matanya sibuk memeriksa berkas di meja."Hon, mau sampai kapan kau mengacuhkanku?"Tak ada respon. Sean lalu mend*sah pelan. Calon istrinya benar-benar sangat dingin. Ketampanannya seolah tak berarti apa-apa di mata wanita ini.(Sebenarnya apa yang telah membuat Anneth menjadi sedingin ini? Aku jadi semakin penasaran. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Tetapi kalau dia marah bagaimana? Astaga, rumit sekali hubungan percintaanku. Padahal aku sudah sangat ingin bermanja-manja padanya. Sedih sekali,)"Kemarilah. Berkasnya sudah selesai ku tandatangani." Anneth menutup panggilan. Ekor matanya melirik ke arah Sean yang masih betah menunggu di sana. Mendapati pria tersebut tengah asik melamun, Anneth memutuskan untuk tidak mengusiknya. Tidak diusik saja sudah membuat kesal, apalagi jika sengaja memulainy
Ding dongSuara bel mengalihkan perhatian Anneth yang tengah asik dengan pekerjaannya. Dia menoleh, menatap sekilas ke arah pintu apartemen. Dari reaksinya, dia seperti enggan membukakan pintu untuk orang yang datang berkunjung. Mungkin orang salah kamar. Biasalah, mabuk.Ding dongSuara bel kembali terdengar saat Anneth tak kunjung membuka pintu. Sepertinya tamu yang datang begitu gigih ingin agar mereka bertemu. Karena setiap kali Anneth abaikan, orang tersebut akan kembali menekan bel. Hal ini tentu saja membuat si pemilik kamar menjadi kesal. Anneth meletakkan pena ke atas meja lalu mendengus kasar."Manusia mana yang tidak tahu diri bertamu di jam sepuluh malam? Heran!" gerutu Anneth sembari beranjak dari duduknya. Penampilannya cukup sederhana dengan hanya memakai kaos kebesaran disertai dengan hotpants pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuncir kuda. Tak lupa
"Mau sampai kapan kau menggangguku?" tanya Oliver. Dia tak henti menghela nafas panjang sambil menatap pria aneh yang sedang duduk di hadapannya. "Ini sudah hampir satu jam, Sean. Apa maumu sebenarnya?"Sean masih enggan membuka mulut. Pikirannya jauh menerawang. Menerka gerangan apa yang membuat calon istrinya menggumamkan kata penuh amarah saat mereka tidur bersama."Ayolah, Arsean. Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak terbebani dengan pekerjaan. Aku bisa gagal menikahi Sofia kalau kau menghambat waktu kerjaku. Tolonglah. Ya?""Siapa orangnya?""Hah?""Siapa orang yang telah lancang menyakiti calon istriku hingga meninggalkan luka mendalam di hatinya?" ucap Sean. Sedetik setelah itu dia mengusap dagu bawahnya, masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak mungkin Anneth pernah menjadi korban pelecehan. Aset-aset di tubuhnya masih begitu kencang dan juga kenyal. A
Anneth mendesah tertahan ketika Sean menghisap kuat kulit lehernya. Posisi mereka cukup intim di mana Anneth benar-benar duduk tepat di atas gundukan junior milik Sean."Ahhhhhhh," ....(So seksi .... )"Lepaskan saja, Hon. Jangan ditahan," bisik Sean sambil menelan ludah. Dia hampir gila hanya dengan mendengar suara desahan Anneth. Kelewat seksi, membuat tubuhnya seperti terbang melayang. "Kau seperti heroin, Hon. Suara desahanmu membuatku candu. Bagaimana ini?""K-kalau begitu hentikan," sahut Anneth setengah berbisik. Sayangnya respon tubuh tidak sesuai dengan kata yang terucap keluar. Bibir berkata agar berhenti, tapi tangan masih melingkar di leher pria yang tengah membuatnya terbuai sentuhan."No, tidak akan. Aku suka menjadi gila. Begitu juga dengan dirimu. Kau ingin sentuhan yang lebih dari ini, bukan?""Jangan gila, Sean. Ini