"Boleh bergabung, Nona?"Sebuah suara membuyarkan lamunan Anneth, wanita cantik berusia tiga puluh tahun yang sedang duduk sendirian di sebuah cafe. Dia acuh, enggan merespon seseorang yang meminta izin untuk duduk di meja yang sama dengannya. "Kopi baru bisa dinikmati setelah diseduh dengan air panas. Akan tetapi kenapa kopi satu ini terasa dingin sekali ya? Padahal uap panasnya masih terlihat. Aneh," ucap Sean seraya mengulum senyum. (Menarik. Aku suka wanita cuek dan dingin seperti Nona ini. Biasanya mereka akan sangat ganas jika sudah naik ke atas ranjang. Hmmm.) "Duduklah jika ingin. Pergi jika hanya untuk membual. Aku benci bicara dengan orang asing!"Tatapan Anneth tertuju pada pria yang dengan tidak tahu malunya langsung duduk begitu dia membuka suara. Pria penggoda, itu kesan yang Anneth tangkap saat ini. Dan itu sangat menjijikkan. "Sean!"Arsean Sinclair, pria dengan usia matang yang kini genap berumur tiga puluh empat tahun. Sejak usia belasan dia telah menetap di luar
Tok tok tokAnneth membuang nafas kasar. Kesal karena ada yang mengganggunya. Sambil melepas kaca mata yang bertengger di mata, dia mempersilahkan si pengganggu untuk masuk ke dalam ruangan. Ceklek"Apa aku mengganggu?" tanya Sofia seraya menampilkan cengiran khas di bibir. Dan cengirannya bertambah semakin lebar saat di empunya ruangan menatapnya dengan pandangan tajam. Sudah biasa. "Kalau tidak penting sebaiknya kau pergi saja dari sini. Dasar pengganggu!" omel Anneth ketika Sofia, sahabatnya, berlenggak-lenggok dengan tampang yang sangat menyebalkan masuk ke dalam ruangan. Sebelah alisnya terangkat ke atas saat Sofia dengan santainya duduk di pinggiran meja sambil bersilang kaki. "Sudah bosan punya kaki? Iya?""Ck, ayolah, Ann. Jangan segalak ini pada sahabatmu sendiri. Aku bukan musuhmu. Okey?" sahut Sofia sambil memutar bola matanya. Jengah. "Kalau memang benar kau adalah sahabatku lalu kemana perginya sahabat itu ketika aku sedang membutuhkan?"Sofia meringis. Kini dia tahu p
Setibanya di klab, Anneth dan Sofia langsung memesan meja. Mereka memilih untuk duduk di meja yang tak jauh dari bartender. Agar mudah memesan minuman. Begitu pikirnya. "Malam ini ramai sekali. Seseorang sedang membuat acarakah?" tanya Sofia pada seorang waiters yang datang mendekat. "Benar, Nona. Ada yang membooking klab ini untuk merayakan kepulangannya dari luar negeri.""Ouwh, begitu ya. Pantas saja pengunjungnya kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang kaya. Ternyata bos yang sedang menggelar acara."Anneth sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan antara Sofia dengan waiters. Baginya sama saja mau klab ini ramai atau tidak. Dia tetap kesepian. "Nona, kau ingin pesan minuman apa?""Apa saja. Yang penting kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi," jawab Anneth dingin. Dia lalu menghela nafas panjang saat mendengar suara cekikikan Sofia yang bercampur dengan dentuman musik dj. "Kau jangan macam-macam, Sof. Aku masih harus menyetir mobil saat pulang nanti. Kau tidak mau kita m
ByurrrAnneth membasuh wajahnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Sungguh, dia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya dia bertemu dengan pria menyebalkan yang siang tadi mengganggu me time-nya saat berada di cafe. "Apa aku perlu melakukan ritual buang sial supaya dijauhkan dari laki-laki seperti Sean ya? Melihat caranya menatapku membuatku sangat ingin mencolok biji matanya," geram Anneth sadis. Dia lalu mengembuskan nafas kasar, sekali lagi membasuh wajahnya supaya lebih segar. "Ck, menjengkelkan."Belum juga hilang kekesalan di diri Anneth, ponsel di dalam tasnya berdering. Segera dia melihat siapa yang menelpon. Siapa tahu penting. "Ibu?" Anneth menarik nafas. Dia berusaha untuk tenang sebelum menjawab panggilan dari sang ibu. "Halo, Ibu. Ada apa?"["Ann, kau di mana? Sekarang Ibu sedang berada di apartemenmu, tapi kosong. Apa kau masih berada di perusahaan?"]"Tidak, Ibu. Aku sedang di luar bersama Sofia," jawab Anneth dengan lembut.["Oh, begitu. Ya sudahlah tidak apa-a
"Mau sampai kapan kau main-main begini, Sean? Lupa ya kalau kau itu sudah tua? Perlu dituliskan di kening tidak berapa usiamu sekarang?"Tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, Sean akhirnya sampai di rumah. Dan begitu dia masuk, sebuah ejekan langsung menyapa indra pendengarannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan wanita cantik yang telah berbesar hati melahirkannya ke dunia ini. Nyonya Sinclair, Safina. "Jangan diam saja. Cepat jawab Ibu!" sentak Safina sambil berkacak pinggang. "Bu, ayolah. Sekarang jam tiga pagi, bisa tidak marah-marahnya ditunda besok saja?" sahut Sean dengan santainya. Dia kemudian terbatuk saat tenggorokannya terasa kering. "Uhh, alkohol di negara ini tidak sebaik di tempat tinggalku dulu. Alangkah baiknya jika aku bisa kembali lagi ke sana. Hmmm,"Rasa-rasanya kepala Safina seperti mendidih saat mendengar perkataan putra semata wayangnya. Kesal, dia melepas alas kaki lalu dilemparkan ke arah pria bengal yang malah tertawa melihatnya murka. "Ckck
"Ann, kau baik-baik saja?" tanya Merly sembari memperhatikan putrinya yang terlihat tidak bersemangat menikmati sarapan. Sekarang dia tengah berada di apartemen Anneth. Sengaja datang kemari karena sudah lebih dari dua hari tidak bertemu dengan anak gadis kesayangannya. "Hah? Ibu bilang apa barusan?" Anneth yang sedang melamun langsung terhenyak kaget saat ibunya tiba-tiba membuka suara. Pikirannya tengah melayang mengingat satu kejadian perih yang membuat hidupnya berubah drastis. "Sejak tadi Ibu perhatikan kau terlihat lesu sekali. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di kantor?" tanya Merly dengan lembut. Manik matanya terus memperhatikan gerak tubuh putrinya yang terlihat seperti orang kebingungan. "Tidak, Bu. Keadaan kantor baik-baik saja kok. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semuanya aman terkendali," jawab Anneth. "Lalu?" "Lalu ... ya tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Merly menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu, sangat ama
Anneth menyerahkan kunci mobil pada satpam kemudian menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Menjadi seorang bos membuatnya harus memberi contoh yang baik dengan selalu datang tepat waktu ke kantor. Hal ini membuat para karyawan begitu hormat dan juga segan terhadapnya. "Selamat pagi, Nona Anneth," sapa seorang karyawan yang bertugas di meja resepsionis. Senyumnya ramah. Dilengkapi juga dengan pakaian yang rapi serta bersih. "Pagi," sahut Anneth tak ramah. "Nona, seseorang menitipkan bunga untuk diberikan kepada Anda." Sebelah alis Anneth terangkat ke atas. Dia lalu melirik ke arah meja di mana ada sebuket bunga lili tergeletak di sana. Menyebalkan. Lagi-lagi dia mendapat hadiah seperti ini. Sampai kapan? "Pengirimnya masih orang yang sama?" "Benar, Nona. Malah tadi orang itu bersikeukeuh ingin memberikannya langsung kepa
Bab 8Sean berjalan santai sambil memainkan kunci mobil saat menuju ruangan ayahnya. Saat ini dia tengah berada di perusahaan, menepati janjinya yang akan melakukan serah-terima sebagai bos besar di sini."Selamat datang, Tuan Arsean!" sapa beberapa karyawan sambil membungkuk hormat ke arah bos baru mereka yang baru saja datang.Yang pertama kali dilakukan Sean ketika mendengar sapaan tersebut adalah menarik nafas. Dia sungguh tak senang dengan keadaan ini. Keberadaan orang-orang tersebut membuat lehernya seperti tercekik. Terbayang dipelupuk mata bagaimana nanti dia akan berkutat dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya. Astaga, hanya membayangkan saja sudah membuat perut Sean terasa mual. Lalu apa yang akan terjadi nanti saat dia mulai menjalani?"Selamat siang. Duduklah," ucap Sean mempersilahkan orang-orang untuk kembali duduk. Setelah itu dia menghampiri ayahnya yang terlihat