Tok tok tok
Anneth membuang nafas kasar. Kesal karena ada yang mengganggunya. Sambil melepas kaca mata yang bertengger di mata, dia mempersilahkan si pengganggu untuk masuk ke dalam ruangan.
Ceklek
"Apa aku mengganggu?" tanya Sofia seraya menampilkan cengiran khas di bibir. Dan cengirannya bertambah semakin lebar saat di empunya ruangan menatapnya dengan pandangan tajam. Sudah biasa.
"Kalau tidak penting sebaiknya kau pergi saja dari sini. Dasar pengganggu!" omel Anneth ketika Sofia, sahabatnya, berlenggak-lenggok dengan tampang yang sangat menyebalkan masuk ke dalam ruangan. Sebelah alisnya terangkat ke atas saat Sofia dengan santainya duduk di pinggiran meja sambil bersilang kaki. "Sudah bosan punya kaki? Iya?"
"Ck, ayolah, Ann. Jangan segalak ini pada sahabatmu sendiri. Aku bukan musuhmu. Okey?" sahut Sofia sambil memutar bola matanya. Jengah.
"Kalau memang benar kau adalah sahabatku lalu kemana perginya sahabat itu ketika aku sedang membutuhkan?"
Sofia meringis. Kini dia tahu penyebab mengapa Anneth terlihat begitu kesal padanya. Siang tadi mereka telah berjanji untuk minum kopi bersama di cafe langganan. Akan tetapi sebelum waktunya tiba untuk mereka bertemu, Sofia dibuat kelelahan oleh kekasihnya yang baru saja kembali dari melakukan perjalanan bisnis. Alhasil dia baru bisa menemui Anneth lima jam dari waktu yang telah ditentukan. Dan sekarang wanita dingin ini merajuk.
"I'm sorry, bab. Oliver membuatku terlelap. You know lah," ucap Sofia berusaha meminta maaf.
"Selalu Oliver yang kau jadikan alasan. Kapan dia akan menikahimu?" cecar Anneth sudah tak heran akan kebiasaan Sofia dan Oliver yang selalu memadu kasih seperti pasangan suami istri. Walau sudah berulang kali ditegur, tapi mereka tetap tak mau dengar.
"Oliver bilang setelah dia di angkat menjadi Presdir di perusahaan ayahnya."
"Kapan?"
"Katanya sebentar lagi. Dia perlu menunggu ayahnya pensiun dulu."
"Apa ini bukan alasannya saja untuk menunda-nunda tanggung jawab?"
"Oliver bukan pria seperti itu, Ann. Dia gentel."
"Tahu darimana kalau dia bukan pengecut?"
"Dari caranya yang selalu berhasil membuatku menjerit keenakan. Hehehe."
"Cihhh!"
Mau tak mau Anneth tetap tersenyum mendengar perkataan vulgar Sofia. Karena dia Oliver sama-sama menggeluti dunia bisnis, sedikit banyak Anneth bisa menilai sikap dan watak pria yang menjadi kekasih dari sahabatnya. Oliver adalah seorang pembisnis yang sangat gigih dan selalu bertanggung jawab pada proyek-proyek yang dipegangnya. Hal ini juga yang menjadi nilai plus di mata Anneth ketika Sofia bilang pria itu ingin mengajaknya menjalin hubungan. Anggaplah dia tenang melepas sahabatnya pada pria yang bisa bertanggung jawab. Tidak seperti dirinya yang ... ah, sudahlah. Anneth tak mau membahas masa lalu yang memuakkan.
"Oya, Ann. Pemilik cafe bilang tadi siang kau terlihat marah saat pergi dari sana. Apa yang terjadi? Tidak mungkin kau marah karena aku tidak jadi datang, kan?" tanya Sofia sembari menatap lekat wajah cantik sahabatnya.
(Haihh, padahal Anneth begitu cantik dan perfeksionis. Bagaimana bisa ada pria yang tega menyia-nyiakan hingga membuatnya trauma seperti sekarang? Dasar bodoh. Punya kekasih berspek dewi kenapa malah dibuang demi memungut remahan sampah yang bisanya hanya merusak hubungan orang? Aneh.)
"Aku malas menceritakannya. Buang-buang waktu," jawab Anneth langsung jengkel begitu diingatkan pada pria tak tahu diri yang siang tadi mengganggunya.
"Seseorang mengganggumu?"
"Bukan hanya mengganggu, tapi membuatku benar-benar merasa muak sekali. Sudahlah jangan bahas masalah ini lagi. Membuat moodku rusak saja."
"Baiklah-baiklah, aku tidak akan membahasnya lagi. Tidak masalah."
Hening. Anneth diam. Sedangkan Sofia, dia terus memperhatikan wajah sahabatnya dengan lekat. Diam-diam dia merasa penasaran sekali pada orang yang telah menganggu wanita ini. Sejak sikap Anneth berubah menjadi sangat dingin, belum pernah Sofia melihatnya sekesal ini. Mungkinkah orang yang mengganggunya berjenis kelamin laki-laki? Jika benar, sepertinya Tuhan telah mengirimkan jodoh untuk sahabatnya. Ah, ini menarik.
"Ini sudah malam. Oliver tidak menjemputmu?" tanya Anneth sambil melihat jam di tangannya. Pukul sembilan malam. Sudah tiba saatnya untuk dia pulang ke rumah.
"Tidak. Aku bilang padanya akan pulang dengan menumpang pada mobilmu saja. Kasihan dia, Ann. Setelah menghabiskan banyak tenaga untuk menghukumku masih harus kembali ke perusahaan untuk meeting. Aku mana tega membiarkannya menempuh perjalanan jauh hanya untuk mengantarkan aku pulang. Aku tidak sekejam itu kalau kau mau tahu," jawab Sofa seraya mengerling nakal.
"Hmm, bilang saja kalau kau itu sebenarnya takut aku marah padamu. Makanya sengaja menolak saat Oliver menawarkan untuk mengantarmu pulang. Iya, kan?"
"Hehehe, kau memang yang paling tahu, Ann. Aku sayang padamu. Muacchh,"
Anneth dan Sofia sudah menjadi sahabat sejak mereka masih sekolah di taman kanak-kanak. Profesi orangtua mereka yang kebetulan sama-sama bergelut di dunia bisnis membuat persahabatan di keluarga mereka bertambah semakin erat saja. Akan tetapi tujuh tahun lalu Anneth harus rela kehilangan ayahnya yang meninggal karena kecelakaan mobil. Dan sejak saat itu Anneth lah yang mengambil alih seluruh beban pekerjaan di Omary Corp. Bersamaan dengan suatu kejadian yang mengubah sifatnya menjadi sangat luar biasa dingin.
"Kau mau langsung pulang atau ingin jalan-jalan dulu, Sof?" tanya Anneth sambil memasang seatbelt. Dia kemudian menoleh, menatap datar pada sahabatnya yang malah sibuk bermain ponsel. "Kalau kau duduk di mobilku lalu memperlakukan aku seperti seorang sopir, akan lebih baik kau meminta Oliver menjemputmu saja. Aku sedang tidak terima orderan malam ini."
"Sabar dulu, Ann. Aku sedang melihat apakah malam ini ada sesuatu yang menyenangkan atau tidak. Sudah dua bulan kita tidak menghabiskan waktu bersama, jadi malam ini aku tidak akan membiarkanmu tidur cepat. Besok weekend, baby. Come on. Ayo kita bersenang-senang. Oke?" sahut Sofia.
"Asalkan bukan ke tempat yang tidak karu-karuan, aku tidak masalah."
"Bagaimana dengan klab?"
"Klab?"
"Ya. Berdansa dengan pria-pria tampan. Menarik, bukan?"
Anneth menghela nafas.
"Padahal kau sudah punya Oliver yang begitu sempurna, tapi masih saja ya matamu jelalatan mencari pria tampan lainnya. Tidak takut Oliver cemburu, hm?"
"Oliver adalah pria terbaik di muka bumi ini. Dia jelas tahu kalau aku hanya iseng-iseng saja. Karena kemanapun aku pergi ada mata-mata yang akan selalu mengawasi. Jadi aku tidak perlu merasa takut untuk melakukan hal seperti ini. Santai."
"Kau gila, Sofia."
"Yes, i'm."
Sofia tertawa melihat Anneth menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Dia lalu menatap kaca spion mobil, tersenyum samar saat mendapati ada sedan hitam yang diam-diam membuntuti.
"Itu yang kau maksud?" tanya Anneth sambil mengemudikan mobil. Dia menyadari ada mobil asing yang mengikuti di belakang.
"Yap, itu orang suruhan Oliver. Sekarang kau sudah tahu bukan betapa dia sangat posesif padaku?" jawab Sofia sambil memainkan rambut.
"Ya ya ya. Terserah kalian sajalah ingin bagaimana."
"Dan kau Nona Anneth, kapan mengenalkan kekasihmu padaku, hm? Ini sudah bertahun-tahun, lupakan dan bukalah lembaran yang baru. Bisa?"
Tak ada jawaban. Anneth datar-datar saja saat Sofia mulai membahas tentang hubungannya.
(Kekasih? Hah,)
***
Setibanya di klab, Anneth dan Sofia langsung memesan meja. Mereka memilih untuk duduk di meja yang tak jauh dari bartender. Agar mudah memesan minuman. Begitu pikirnya. "Malam ini ramai sekali. Seseorang sedang membuat acarakah?" tanya Sofia pada seorang waiters yang datang mendekat. "Benar, Nona. Ada yang membooking klab ini untuk merayakan kepulangannya dari luar negeri.""Ouwh, begitu ya. Pantas saja pengunjungnya kebanyakan berasal dari kalangan orang-orang kaya. Ternyata bos yang sedang menggelar acara."Anneth sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan antara Sofia dengan waiters. Baginya sama saja mau klab ini ramai atau tidak. Dia tetap kesepian. "Nona, kau ingin pesan minuman apa?""Apa saja. Yang penting kadar alkoholnya tidak terlalu tinggi," jawab Anneth dingin. Dia lalu menghela nafas panjang saat mendengar suara cekikikan Sofia yang bercampur dengan dentuman musik dj. "Kau jangan macam-macam, Sof. Aku masih harus menyetir mobil saat pulang nanti. Kau tidak mau kita m
ByurrrAnneth membasuh wajahnya dengan air dingin hingga beberapa kali. Sungguh, dia benar-benar kesal sekarang. Bisa-bisanya dia bertemu dengan pria menyebalkan yang siang tadi mengganggu me time-nya saat berada di cafe. "Apa aku perlu melakukan ritual buang sial supaya dijauhkan dari laki-laki seperti Sean ya? Melihat caranya menatapku membuatku sangat ingin mencolok biji matanya," geram Anneth sadis. Dia lalu mengembuskan nafas kasar, sekali lagi membasuh wajahnya supaya lebih segar. "Ck, menjengkelkan."Belum juga hilang kekesalan di diri Anneth, ponsel di dalam tasnya berdering. Segera dia melihat siapa yang menelpon. Siapa tahu penting. "Ibu?" Anneth menarik nafas. Dia berusaha untuk tenang sebelum menjawab panggilan dari sang ibu. "Halo, Ibu. Ada apa?"["Ann, kau di mana? Sekarang Ibu sedang berada di apartemenmu, tapi kosong. Apa kau masih berada di perusahaan?"]"Tidak, Ibu. Aku sedang di luar bersama Sofia," jawab Anneth dengan lembut.["Oh, begitu. Ya sudahlah tidak apa-a
"Mau sampai kapan kau main-main begini, Sean? Lupa ya kalau kau itu sudah tua? Perlu dituliskan di kening tidak berapa usiamu sekarang?"Tepat ketika waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, Sean akhirnya sampai di rumah. Dan begitu dia masuk, sebuah ejekan langsung menyapa indra pendengarannya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan wanita cantik yang telah berbesar hati melahirkannya ke dunia ini. Nyonya Sinclair, Safina. "Jangan diam saja. Cepat jawab Ibu!" sentak Safina sambil berkacak pinggang. "Bu, ayolah. Sekarang jam tiga pagi, bisa tidak marah-marahnya ditunda besok saja?" sahut Sean dengan santainya. Dia kemudian terbatuk saat tenggorokannya terasa kering. "Uhh, alkohol di negara ini tidak sebaik di tempat tinggalku dulu. Alangkah baiknya jika aku bisa kembali lagi ke sana. Hmmm,"Rasa-rasanya kepala Safina seperti mendidih saat mendengar perkataan putra semata wayangnya. Kesal, dia melepas alas kaki lalu dilemparkan ke arah pria bengal yang malah tertawa melihatnya murka. "Ckck
"Ann, kau baik-baik saja?" tanya Merly sembari memperhatikan putrinya yang terlihat tidak bersemangat menikmati sarapan. Sekarang dia tengah berada di apartemen Anneth. Sengaja datang kemari karena sudah lebih dari dua hari tidak bertemu dengan anak gadis kesayangannya. "Hah? Ibu bilang apa barusan?" Anneth yang sedang melamun langsung terhenyak kaget saat ibunya tiba-tiba membuka suara. Pikirannya tengah melayang mengingat satu kejadian perih yang membuat hidupnya berubah drastis. "Sejak tadi Ibu perhatikan kau terlihat lesu sekali. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di kantor?" tanya Merly dengan lembut. Manik matanya terus memperhatikan gerak tubuh putrinya yang terlihat seperti orang kebingungan. "Tidak, Bu. Keadaan kantor baik-baik saja kok. Ibu tidak perlu mengkhawatirkan hal ini. Semuanya aman terkendali," jawab Anneth. "Lalu?" "Lalu ... ya tidak ada apa-apa. Kenapa Ibu bertanya seperti itu?" Merly menarik nafas dalam kemudian mengembuskannya perlahan. Dia tahu, sangat ama
Anneth menyerahkan kunci mobil pada satpam kemudian menganggukkan kepala pada karyawan yang menyapa. Menjadi seorang bos membuatnya harus memberi contoh yang baik dengan selalu datang tepat waktu ke kantor. Hal ini membuat para karyawan begitu hormat dan juga segan terhadapnya. "Selamat pagi, Nona Anneth," sapa seorang karyawan yang bertugas di meja resepsionis. Senyumnya ramah. Dilengkapi juga dengan pakaian yang rapi serta bersih. "Pagi," sahut Anneth tak ramah. "Nona, seseorang menitipkan bunga untuk diberikan kepada Anda." Sebelah alis Anneth terangkat ke atas. Dia lalu melirik ke arah meja di mana ada sebuket bunga lili tergeletak di sana. Menyebalkan. Lagi-lagi dia mendapat hadiah seperti ini. Sampai kapan? "Pengirimnya masih orang yang sama?" "Benar, Nona. Malah tadi orang itu bersikeukeuh ingin memberikannya langsung kepa
Bab 8Sean berjalan santai sambil memainkan kunci mobil saat menuju ruangan ayahnya. Saat ini dia tengah berada di perusahaan, menepati janjinya yang akan melakukan serah-terima sebagai bos besar di sini."Selamat datang, Tuan Arsean!" sapa beberapa karyawan sambil membungkuk hormat ke arah bos baru mereka yang baru saja datang.Yang pertama kali dilakukan Sean ketika mendengar sapaan tersebut adalah menarik nafas. Dia sungguh tak senang dengan keadaan ini. Keberadaan orang-orang tersebut membuat lehernya seperti tercekik. Terbayang dipelupuk mata bagaimana nanti dia akan berkutat dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya. Astaga, hanya membayangkan saja sudah membuat perut Sean terasa mual. Lalu apa yang akan terjadi nanti saat dia mulai menjalani?"Selamat siang. Duduklah," ucap Sean mempersilahkan orang-orang untuk kembali duduk. Setelah itu dia menghampiri ayahnya yang terlihat
"Kau serius akan benar-benar menikah dengan pria yang Bibi Merly pilihkan?" tanya Sofia seraya menatap seksama ke arah sahabatnya yang tengah mengaduk minuman. Mereka sekarang tengah berada di cafe setelah Sofia memaksanya meninggalkan pekerjaan yang tiada habisnya."Tidak ada pilihan lain, Sof. Hatiku sakit melihat Ibu tidak bahagia.""Lalu kau sendiri? Apa kau bahagia dengan keputusan tersebut?""Aku tidak tahu,"Kepala Anneth tertunduk dalam. Bahagia? Kata ini sungguh sangat jauh dari pikirannya. Hanya saja dia tak kuasa melihat raut sedih yang terus menghiasi wajah ibunda tercinta. Anneth tahu betul kalau kesedihan itu berasal dari kekhawatiran sang ibu akan masa depannya. Jadi sekarang sudah tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan yang telah diatur untuknya. Meski sebenarnya hati sangat ingin menolak."Coba pikirkan dulu masak-masak, Ann. Menikah
["Sayang, besok malam jangan lupa datang ke alamat ini ya. Ibu dan teman Ibu sudah mengatur pertemuan untuk kalian. Maaf jika keputusan ini terkesan memaksa dan terburu-buru. Ibu hanya terlalu menyayangimu. Ibu ingin yang terbaik untukmu, Ann. Tolong jangan benci Ibu ya,"] Anneth hanya bisa termangu diam seusai membaca pesan dari ibunya. Perasaannya sekarang sungguh sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Jujur, jika menuruti keinginan hati rasanya ingin sekali dia menolak perjodohan tersebut. Akan tetapi kembali lagi pada rasa tak tega yang Anneth rasakan ketika melihat raut sedih di wajah ibunda tercinta. "Hahhhh, semangat Anneth. Kau pasti bisa melewati semua ini dengan baik. Tak apa mengalah. Demi kebahagiaan ibumu," gumam Anneth menyemangati dirinya sendiri. Sejak Anneth meninggalkan Sofia berdua dengan Sean di cafe, sejak saat itu dia tak membiarkan sahabatnya datang mengacau. Anneth dengan sengaja memblokir nomor Sofia dari ponselnya dan berpesan pada security agar mengus
Sean fokus membaca informasi yang dibawakan oleh orang suruhannya. Dia yang begitu penasaran akan kemunculan Maya alias Melinda, tak kaget begitu mengetahui motif wanita itu."Ingin menjadikanku tempat pelarian?" Sean menyeringai. "Mimpi. Kau terlalu jauh berkhayal, Mel. Aku tak sehina itu untuk kau jadikan tempat persinggahan."Wina diam tak bereaksi mendengar ucapan atasannya. Dia hanya diam-diam menebak ejekan tersebut ditujukan pada wanita yang kemarin datang ke kantor. Ini adalah kali pertama, dan besar kemungkinan akan adalagi wanita lain yang datang berkunjung. Hmmm, nasib menjadi sekertaris dari seorang mantan Casanova. Harus rela menghadapi jejeran wanita yang pernah menjadi pasangan one night stand pria tersebut."Meski aku bukan seorang cenayang, aku tahu kau sedang memikirkan hal buruk tentang diriku. Benar?""Anda terlalu pandai menilai seseorang, Tuan." Wina tak menampik. Dia hanya tersenyum kecil karena ketahuan sedang membatin."Itulah aku. Dan terkadang aku sedikit me
Tok tok tok"Selamat siang, Tuan Arsean. Ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda." Wina melapor. Dengan sabar dia menunggu saat atasannya acuh akan apa yang disampaikan. Salah satu tabiat buruk yang kini menjadi makanan sehari-hari sejak pemilik perusahaan berganti orang."Tuan Arsean?""Hmm, kau sangat mengganggu, Win." Akhirnya Sean merespon. Dia menarik napas dalam-dalam kemudian berbalik menatap wanita cantik yang telah mengacaukan fantasi liarnya. "Sayang sekali kau adalah sekertaris pilihan ayahku. Jika bukan, aku pasti sudah menyeretmu ke ranjang sebagai bentuk hukuman. Tahu?""Anda terlalu berlebihan, Tuan. Orang seperti saya mana mungkin pantas berada di ranjang yang sama dengan anda," sahut Wina santai. Selain mempunyai perangai yang buruk, atasannya ini juga lumayan mesum."Kenapa tidak? Bukankah kau normal?""Tentu saja iya,""Kalau begitu apanya yang tidak pantas? Jangan terlalu naif, Wina. Aku tahu betul ucapanmu tak sinkron dengan isi hatimu. Benar tidak?"Wina hanya te
"Ann, coba kau pikirkan sekali lagi. Aku tidak mau sahabat ku menjadi janda hanya karena sebuah perjodohan. Itu tidak lucu!""Terserah kau mau bicara apa. Aku tidak peduli.""Tapi aku peduli. Apalagi kalau kau menjadi jandanya Sean. Otomatis kau akan menjadi lebih kaya lagi. Aku tidak mau orang-orang mengejarmu yang berstatus sebagai janda kaya raya. Itu mengerikan."Fokus Anneth terpecah setelah mendengar ocehan Sofia yang tidak masuk akal. Dia lalu mendengus, kesal. Untung sahabat. Kalau bukan, Anneth pasti sudah merujaknya sejak tadi. Benar-benar membuang waktu saja."Oke, aku tahu alasan dibalik kau menerima perjodohan ini adalah karena demi kesehatan Bibi Merly. Tapi Ann, pernikahan tanpa cinta itu apa artinya? Bagaimana jika nanti setelah menikah Sean berubah menjadi bajingan dan memperlakukanmu dengan kasar?" ucap Sofia sembari menggigit ujung jari. Sahabatnya yang ingin menikah, tapi dia yang kebakaran jenggot. Sofia tentu saja ingin yang terbaik untuk Anneth, tapi Sean? Olive
Ponsel di tangan Sean langsung terjatuh begitu karyawan butik membuka tirai. Tampak di hadapannya sosok cantik bak peri kayangan berdiri anggun dengan gaun pengantin berwarna putih menghias tubuhnya. Indah, sangat luar biasa indah. Gaun dengan ekor panjang menjuntai, menampilkan bagian bahu yang dibiarkan terbuka, membuat Sean ternganga seperti idiot."Very beautifull. Luar biasa," puji Sean setengah tak sadar. Saking terpesona, dia sampai tak menyadari kalau reaksinya sedang menjadi bahan tertawaan karyawan butik."Kendalikan tampang bodohmu itu, Sean. Jangan membuatku malu," tegur Anneth. Tapi jujur, reaksi pria ini membuatnya bahagia. Padahal saat di dalam tadi Anneth sempat merasa khawatir apakah Sean akan menyukai gaun pilihan ibu mertuanya atau tidak. Dan hasilnya ... pria ini langsung kicep seraya menampilkan mimik seorang idiot. Anneth kesal, tapi gembira."Honey, kaukah ini?"
"Berhenti menatapku. Aku risih.""Hon, tolong jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa ku lakukan. Itu menyakitkan. Tahu?""Masih ada pemandangan lain yang bisa kau lihat. Jangan tak tahu diri.""Tidak ada yang lebih indah dari pesona kecantikan calon istriku. Itu valid, tak bisa didebat.""Keras kepala,""Terima kasih atas pujiannya. Aku tersanjung."Sean menyeringai puas setelah menang debat dari Anneth. Tanpa mengalihkan pandangan, dia membali melontarkan kalimat bualan yang mana membuat wanita ini mendesah jengah. "Kalau saja aku tahu di kota ini ada wanita secantik dirimu, aku pasti sudah kembali sejak dulu. Untungnya aku tidak terlambat datang. Lengah sedikit, kau pasti sudah menjadi milik orang lain."Tak ada respon apapun yang muncul di diri Anneth saat Sean kembali membual. Seperti sudah kebal, padahal mereka baru beberapa
Anneth tak menghiraukan keberadaan pria yang saat ini tengah duduk di sofa. Tangan dan matanya sibuk memeriksa berkas di meja."Hon, mau sampai kapan kau mengacuhkanku?"Tak ada respon. Sean lalu mend*sah pelan. Calon istrinya benar-benar sangat dingin. Ketampanannya seolah tak berarti apa-apa di mata wanita ini.(Sebenarnya apa yang telah membuat Anneth menjadi sedingin ini? Aku jadi semakin penasaran. Haruskah aku bertanya langsung padanya? Tetapi kalau dia marah bagaimana? Astaga, rumit sekali hubungan percintaanku. Padahal aku sudah sangat ingin bermanja-manja padanya. Sedih sekali,)"Kemarilah. Berkasnya sudah selesai ku tandatangani." Anneth menutup panggilan. Ekor matanya melirik ke arah Sean yang masih betah menunggu di sana. Mendapati pria tersebut tengah asik melamun, Anneth memutuskan untuk tidak mengusiknya. Tidak diusik saja sudah membuat kesal, apalagi jika sengaja memulainy
Ding dongSuara bel mengalihkan perhatian Anneth yang tengah asik dengan pekerjaannya. Dia menoleh, menatap sekilas ke arah pintu apartemen. Dari reaksinya, dia seperti enggan membukakan pintu untuk orang yang datang berkunjung. Mungkin orang salah kamar. Biasalah, mabuk.Ding dongSuara bel kembali terdengar saat Anneth tak kunjung membuka pintu. Sepertinya tamu yang datang begitu gigih ingin agar mereka bertemu. Karena setiap kali Anneth abaikan, orang tersebut akan kembali menekan bel. Hal ini tentu saja membuat si pemilik kamar menjadi kesal. Anneth meletakkan pena ke atas meja lalu mendengus kasar."Manusia mana yang tidak tahu diri bertamu di jam sepuluh malam? Heran!" gerutu Anneth sembari beranjak dari duduknya. Penampilannya cukup sederhana dengan hanya memakai kaos kebesaran disertai dengan hotpants pendek berwarna hitam. Rambutnya yang hitam panjang diikat kuncir kuda. Tak lupa
"Mau sampai kapan kau menggangguku?" tanya Oliver. Dia tak henti menghela nafas panjang sambil menatap pria aneh yang sedang duduk di hadapannya. "Ini sudah hampir satu jam, Sean. Apa maumu sebenarnya?"Sean masih enggan membuka mulut. Pikirannya jauh menerawang. Menerka gerangan apa yang membuat calon istrinya menggumamkan kata penuh amarah saat mereka tidur bersama."Ayolah, Arsean. Jangan samakan aku dengan dirimu yang tidak terbebani dengan pekerjaan. Aku bisa gagal menikahi Sofia kalau kau menghambat waktu kerjaku. Tolonglah. Ya?""Siapa orangnya?""Hah?""Siapa orang yang telah lancang menyakiti calon istriku hingga meninggalkan luka mendalam di hatinya?" ucap Sean. Sedetik setelah itu dia mengusap dagu bawahnya, masih penasaran dengan apa yang terjadi. "Tidak mungkin Anneth pernah menjadi korban pelecehan. Aset-aset di tubuhnya masih begitu kencang dan juga kenyal. A
Anneth mendesah tertahan ketika Sean menghisap kuat kulit lehernya. Posisi mereka cukup intim di mana Anneth benar-benar duduk tepat di atas gundukan junior milik Sean."Ahhhhhhh," ....(So seksi .... )"Lepaskan saja, Hon. Jangan ditahan," bisik Sean sambil menelan ludah. Dia hampir gila hanya dengan mendengar suara desahan Anneth. Kelewat seksi, membuat tubuhnya seperti terbang melayang. "Kau seperti heroin, Hon. Suara desahanmu membuatku candu. Bagaimana ini?""K-kalau begitu hentikan," sahut Anneth setengah berbisik. Sayangnya respon tubuh tidak sesuai dengan kata yang terucap keluar. Bibir berkata agar berhenti, tapi tangan masih melingkar di leher pria yang tengah membuatnya terbuai sentuhan."No, tidak akan. Aku suka menjadi gila. Begitu juga dengan dirimu. Kau ingin sentuhan yang lebih dari ini, bukan?""Jangan gila, Sean. Ini