Pertengkaran kembali.
***** Seorang disebrang sana menunggu keputusan. Yang pasti tidak sekarang. Nadanya terdengar tidak sabaran. "Supaya kamu disakiti lebih dalam dan melihat laki-laki bajingan itu bermesraan dihadapanmu, baru kamu akan melepaskannya. Begitu?" Sambungnya lagi dengan nada penuh emosi. "Dengan alasan seperti itu kamu masih tetap bertahan. Jikapun kamu mau hari juga kamu bisa pisah dengan bajingan tak tahu diri itu" dia benar meluap emosinya. "Kau tahu, aku sudah muak dengan pencundang tak tahu diri itu. Setelah dia dapat segalanya darimu. Kini dengan terang-terangan menyakiti hatimu selingkuh dengan wanita lain. Lana! Bukakah kau mengenalnya Luna? Dia dulu yang pernah jadi sainganmu untuk memperebutkan laki-laki yang sekarang sudah mencampakkanmu. Apalagi yang kamu pertahankan Luna? Apa?" Tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah dia bicara panjang lebar. "Ayah dan ibu sudah menunggu dirumah. Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari juga dalam waktu lama karena aku sedang sibuk. Tapi, tenang saja. Aku terus memantau pria bangsat dan selingkuhannya. Apa yang akan kau lakukan Luna?" "Jangan usik mereka. Aku akan memberi pelajaran yang berharga yang tidak akan pernah terluka selama hidupnya" entah mengapa sekarang aku punya rencana ingin menghancurkan kehidupan kedua manusia parasit dalam hidupku. Belum puas rasanya jika aku tidak menghancurkan mereka berdua sehancur hancurnya seperti hatiku saat ini. "Apa rencanamu? Oiya, minggu depan ada pertemuan disebuah hotel bintang lima dimana para pembinis akan berkumpul disana karena ada sebuah proyek raksasa yang mereka incar karena invest-nya sangat menggiurkan para CEO. Apa kamu ingin datang kesana Luna?". "Oiya, ku dengar laki-laki banjingan itu akan datang. Mungkin akan membawa serta selingkuhannya" mendengar hal itu hati bagai terbakar hingga menghancurkan sekujur tubuhku. "Apa kamu akan datang kesana?" "Aku akan datang kesana." "Sendirian." "Iya." "Tapi sebelum itu aku ingin membuat perjanjian dulu dengan mas Restu. Jadi, saat diadakan pertemuan itu nanti, agar aku tidak ada masalah sama mas Restu kedepannya denganku. Kamu bisa urus surat perceraian ku dengan mas Restu secepat. Bukti sudah aku kirim di alamat emailmu." "Kamu cerdik. Tapi kamu belajar dari novel-novel yang sekarang marak di sosmed." "Iya, karena banyak pelakor yang bertebaran. Jadi, jika laki-laki sudah punya WIL buat apa harus mempertahankannya. Maka aku akan melepaskan dengan lapang dada." "Baiklah jika itu menjadi keputusanmu. Secepatnya aku akan urus. Aku juga akan mengawasiku saat pertemuan itu." "Terima kasih. Aku memang sedikit membutuhkan bantuanmu. Demi kelancaran rencanaku." "Apa yang akan kau lakukan nanti?" Aku tersenyum simpul mendengarnya. Tentu saja aku tidak akan beberkan rencanaku padanya karena itu rahasia pribadiku. "Itu bukan urusanmu. Yang terpenting rencanaku, itu lancar, itu yang ku inginkan. Dan akan membuatnya menyesal seumur hidupnya karena bercerai denganku!" Mataku membulat. Tekadku sudah bulat aku akan balas lebih dari ini apa yang telah dia lakukan padaku. "Baiklah jika kamu tidak mau memberitahu rencanamu. Aku hanya mendukungmu." "Terima kasih." Setelah itu telpon terputus. Aku tersenyum lebar. Ku tatap kedepan dengan senyum serta perasaan bahagia mulai saat ini tentu saja aku akan menjalankan rencanaku yang telah ku susun.© * Rumah ini terasa begitu sepi hanya ada seorang pembantuku. Itupun pulang saat sore dan akan kembali pagi hari. "Hupfff,,, rasanya aku lelah hari ini" gumamku sambil melangkah dengan tenang memasuki rumah yang telah ku huni bertahun&-tahun dengan suamiku. Ku mendengar ada seseorang yang sedang bicara dan ku pasang telingaku dengan seksama ternyata itu calon mantan suamiku yang sedang bicara sangat mesra sekali. Seolah dunia milik mereka berdua. Tidak tahu sedang telponan sama siapa. "Siapa yang sedang dia telpon?" Ada rasa penasaran menggelitik jiwaku walaupun sedikit banyak aku menduganya kalau itu selingkuhannya. Senyum sangat riang, penuh canda tawa padahal selama ini tidak pernah hal itu dilakukannya. Diawal dulu tidak seperti itu tawanya sangat lepas. "Iya sayang. Buat yang nggak apa sih? Semua telah ku berikan padamu." Bahkan dengan suara mesra menyebut sayang. Rasanya hatiku seperti terhantam sesuatu yang sangat menyakitkan. Bahkan kehadiranku diruang tengah tidak disadarinya masih asik dengan telponan. "Ya Tuhan" rasanya hati nyeri. Luka yang tak berdarah ternyata lebih menyakitkan dari apa yang ku bayangkan. "Hemmmm,,,!" Sengaja aku berdehem untuk menarik perhatiannya yang masih sibuk dengan gombalan serta rayuan yang membuat lawan jenis klepek-klepek tapi tidak denganku. Dulu, mungkin akan bucin dengan rayuan mautnya tapi tidak dengan sekarang yang aku sudah tahu kedok, kebusukannya. Seolah tanpa dosa dia menyapaku. "Sudah pulang kamu. Dari mana seharian?" "Apa perlu aku jelaskan kemana aku pergi?" Aku balik bertanya. Dia saja seharian sibuk dengan selingkuhan. Kenapa kini peduli denganku. Buat apa?. Ada kilatan aneh dari sorotnya. Tampak tajam menatapku dengan rasa tidak suka. "Kau masih istriku." Mendengus, "Kau masih menganggapku istrimu. Sedang yang kamu lakukan diluar sana apa? Kau bersenang-senang dengan wanita jalang itu!" "Jaga ucapanmu! Jangan sampai aku turun tangan ke kamu!" Dia tersulut emosi. Memang itu yang ku harapkan. "Sekarang apa yang kau inginkan dariku. Diam begitu saja! Iya! Enak sekali dirimu! Bersenang-senang tanpa memperdulikan perasaanku seperti apa?" "Ha haaa,,, kau bukan anak kecil lagi. Buat apa peduli dengan perasaanmu, hah!" "Kau anggap apa aku?" Sentakku. Ku tahan sesak dalam dadaku yang terasa menghimpit jiwaku. Jika, aku sendirian, mungkin aku akan menangis sejadi jadinya. Tapi aku tidak ingin memperlihatkan sisi kerapuhanku dihadapannya. Pandang bagiku menangis dihadapannya. "Sudah tidak berguna lagi!" Tegasnya. Membuatku tidak mempercayai kata katanya yang terlontar dengan lugas tanpa rasa bersalah. Suara agak bergetar. "Baik. Baik, jika seperti itu. Aku sudah artinya buatmu!" Perlahan aku pergi dari hadapannya. Ia mendengus kesal. "Mau kemana kamu!" Bentaknya. Aku tidak peduli cepat berlalu dan masuk kedalam kamar serta ku kunci dari dalam. * Semalam tidak ada yang menggangguku. Aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa ada gangguan dari mas Restu. Aku tidak peduli kemana semalam dia tidur karena dirumah ini ada lima kamar dan satu kamar pembantu yang berada dibelakang dekat dapur. "Sepi?" Gumamku mencari keberadaan mas Restu karena tidak terlihat gerak geriknya didalam rumah. Setelah ku periksa dia sudah tidak ada. "Ternyata semalam dia pergi" "Bu, maaf saya terlambat" pembantuku datang terlambat langsung meminta maaf. Bahkan Barinah, aku memanggilnya bi Inah. "Nggak apa-apa bi, kayak sama siapa? Bibi sudah ku anggap keluarga aku sendiri" aku tersenyum hangat kearahnya. "Bi, jika nanti aku sudah tidak ada disini lagi, bibi tetap disini ya" #bersambung....Bab 01.***** "Ma, kita cerai!" Dengan mudah laki-laki itu mengatakan CERAI didepan mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak dapat berkata apa-apa atas pernyataannya itu, seolah langit runtuh menimpa tubuhku hingga hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku menyangka jika mas Romi, suami yang telah menikahiku hampir lima tahunan lebih menceraikan aku tanpa rasa pertimbangan sama sekali. Air mataku bagai air bah yang menerjang, bercucuran tiada henti. Lidahku kelu, hingga mulutku bungkam memandang nanar dengan rasa tak percaya. Ku usap air mata yang luruh dengan telapak tanganku kasar. Dengan sekuat tenaga ku besarkan hati ini. Menatapnya tajam, mencari kebenaran dari kata-katanya yang terlontar dengan sangat manis namun didalamnya terdapat racun yang amat mematikan. Secara tidak langsung, aku telah menelan racun itu dan hampir membuatku terbunuh seketika. "Yah,,," jawabku singkat, hanya ucapan itu yang meluncur dari bibirku ini. Dengan sedikit anggukan kepala. Kelu
Bab 02. ***** "Ma, bagus banget tempat ini?" Decak kagum Shinta kagum dengan tempat yang ku datangi saat ini. "Iya ma, aku belum pernah datang kesini, ma" mata Rama tampak berbinar. "Hmmm,,, " ada seseorang yang berdehem. Sontak aku menoleh kesumber suara. Ku lihat cewek cantik, mempesona, tubuhnya langsing, penampilannya sangat glamour, dengan belahan dada yang menonjol, sedangkan belahan kakinya yang jenjang, sedikit terekspos, tampak begitu jenjang, mulus. Terlihat begitu angkuh, menatapku seolah menghina dengan penampilanku. "Gak salah ada orang udik datang kesini" sindirnya terasa pedas. Namun, aku tidak ada urusan dengan wanita yang otaknya gak beres ini. Dia pikir, dirinya kayak. Aku kesini juga tidak traktiran dia. "Saya datang kesini bukan minta ditraktir olehmu. Kenapa situ sekali sama saya. Anda pikir orang seperti anda yang bisa datang ke tempat ini?" Aku balik sinis padanya. Orang sepertinya kalau didiemin pasti ngelunjak. "Oh, kau sudah merasa hebat ya.
Bab 03.***** Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untukmu. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa hambar dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasan untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak
Bab 04. *** Ada luka yang membekas dihatiku ini. Nyeri. Nyeri sekali. Namun, kali ini aku tahan untuk kuat didepannya. Aku tidak ingin terlihat RAPUH dihadapan laki laki yang masih berstatus kan suami, walaupun telah menalak aku ke tahap tiga dan aku masih bersabar untuk itu. Ku berani menatapnya dengan tenang, ingin melihat reaksinya seperti apa? Ku hela nafas pelan. "Sudah" kataku singkat. Dengan tenang. Bahkan senyum pun tidak. Ia tampak tersenyum getir menatapku dengan rasa bersalah yang mendalam. Tapi semua sudah terlambat. Perlu diperbaiki. Apanya? Toh, semua sudah terlontar dan tidak bisa ditarik kembali. Rasa penyesalan mendalam ia rasakan, mungkin ia merasa sangat bersalah karena telah mengatakannya tanpa sadar. "Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku" nadanya serius bahkan sedikit ditekan. Ada getaran yang ia pendam. Aku tersenyum tersenyum. "Setelah kamu mengatakan itu, apa kamu baru menyesalinya?. Apa dulu tidak pernah terpikirkan
Pertengkaran kembali. *****Seorang disebrang sana menunggu keputusan. Yang pasti tidak sekarang. Nadanya terdengar tidak sabaran. "Supaya kamu disakiti lebih dalam dan melihat laki-laki bajingan itu bermesraan dihadapanmu, baru kamu akan melepaskannya. Begitu?" Sambungnya lagi dengan nada penuh emosi. "Dengan alasan seperti itu kamu masih tetap bertahan. Jikapun kamu mau hari juga kamu bisa pisah dengan bajingan tak tahu diri itu" dia benar meluap emosinya. "Kau tahu, aku sudah muak dengan pencundang tak tahu diri itu. Setelah dia dapat segalanya darimu. Kini dengan terang-terangan menyakiti hatimu selingkuh dengan wanita lain. Lana! Bukakah kau mengenalnya Luna? Dia dulu yang pernah jadi sainganmu untuk memperebutkan laki-laki yang sekarang sudah mencampakkanmu. Apalagi yang kamu pertahankan Luna? Apa?"Tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah dia bicara panjang lebar. "Ayah dan ibu sudah menunggu dirumah. Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari juga dalam waktu lama karena aku s
Bab 04. *** Ada luka yang membekas dihatiku ini. Nyeri. Nyeri sekali. Namun, kali ini aku tahan untuk kuat didepannya. Aku tidak ingin terlihat RAPUH dihadapan laki laki yang masih berstatus kan suami, walaupun telah menalak aku ke tahap tiga dan aku masih bersabar untuk itu. Ku berani menatapnya dengan tenang, ingin melihat reaksinya seperti apa? Ku hela nafas pelan. "Sudah" kataku singkat. Dengan tenang. Bahkan senyum pun tidak. Ia tampak tersenyum getir menatapku dengan rasa bersalah yang mendalam. Tapi semua sudah terlambat. Perlu diperbaiki. Apanya? Toh, semua sudah terlontar dan tidak bisa ditarik kembali. Rasa penyesalan mendalam ia rasakan, mungkin ia merasa sangat bersalah karena telah mengatakannya tanpa sadar. "Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku" nadanya serius bahkan sedikit ditekan. Ada getaran yang ia pendam. Aku tersenyum tersenyum. "Setelah kamu mengatakan itu, apa kamu baru menyesalinya?. Apa dulu tidak pernah terpikirkan
Bab 03.***** Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untukmu. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa hambar dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasan untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak
Bab 02. ***** "Ma, bagus banget tempat ini?" Decak kagum Shinta kagum dengan tempat yang ku datangi saat ini. "Iya ma, aku belum pernah datang kesini, ma" mata Rama tampak berbinar. "Hmmm,,, " ada seseorang yang berdehem. Sontak aku menoleh kesumber suara. Ku lihat cewek cantik, mempesona, tubuhnya langsing, penampilannya sangat glamour, dengan belahan dada yang menonjol, sedangkan belahan kakinya yang jenjang, sedikit terekspos, tampak begitu jenjang, mulus. Terlihat begitu angkuh, menatapku seolah menghina dengan penampilanku. "Gak salah ada orang udik datang kesini" sindirnya terasa pedas. Namun, aku tidak ada urusan dengan wanita yang otaknya gak beres ini. Dia pikir, dirinya kayak. Aku kesini juga tidak traktiran dia. "Saya datang kesini bukan minta ditraktir olehmu. Kenapa situ sekali sama saya. Anda pikir orang seperti anda yang bisa datang ke tempat ini?" Aku balik sinis padanya. Orang sepertinya kalau didiemin pasti ngelunjak. "Oh, kau sudah merasa hebat ya.
Bab 01.***** "Ma, kita cerai!" Dengan mudah laki-laki itu mengatakan CERAI didepan mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak dapat berkata apa-apa atas pernyataannya itu, seolah langit runtuh menimpa tubuhku hingga hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku menyangka jika mas Romi, suami yang telah menikahiku hampir lima tahunan lebih menceraikan aku tanpa rasa pertimbangan sama sekali. Air mataku bagai air bah yang menerjang, bercucuran tiada henti. Lidahku kelu, hingga mulutku bungkam memandang nanar dengan rasa tak percaya. Ku usap air mata yang luruh dengan telapak tanganku kasar. Dengan sekuat tenaga ku besarkan hati ini. Menatapnya tajam, mencari kebenaran dari kata-katanya yang terlontar dengan sangat manis namun didalamnya terdapat racun yang amat mematikan. Secara tidak langsung, aku telah menelan racun itu dan hampir membuatku terbunuh seketika. "Yah,,," jawabku singkat, hanya ucapan itu yang meluncur dari bibirku ini. Dengan sedikit anggukan kepala. Kelu