Bab 04.
*** Ada luka yang membekas dihatiku ini. Nyeri. Nyeri sekali. Namun, kali ini aku tahan untuk kuat didepannya. Aku tidak ingin terlihat RAPUH dihadapan laki laki yang masih berstatus kan suami, walaupun telah menalak aku ke tahap tiga dan aku masih bersabar untuk itu. Ku berani menatapnya dengan tenang, ingin melihat reaksinya seperti apa? Ku hela nafas pelan. "Sudah" kataku singkat. Dengan tenang. Bahkan senyum pun tidak. Ia tampak tersenyum getir menatapku dengan rasa bersalah yang mendalam. Tapi semua sudah terlambat. Perlu diperbaiki. Apanya? Toh, semua sudah terlontar dan tidak bisa ditarik kembali. Rasa penyesalan mendalam ia rasakan, mungkin ia merasa sangat bersalah karena telah mengatakannya tanpa sadar. "Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku" nadanya serius bahkan sedikit ditekan. Ada getaran yang ia pendam. Aku tersenyum tersenyum. "Setelah kamu mengatakan itu, apa kamu baru menyesalinya?. Apa dulu tidak pernah terpikirkan olehmu apa yang kamu ucapkan itu sangat menyakitkan?. Bahkan menghancurkan duniaku. Meluluh lantakan jiwa ragaku. Kau tahu bagaimana perasaanku kala itu, mas?" Mataku terasa perih. Dan yang membuncah dikelopak mataku. Aku tahu, jika aku lemah dan tak berdaya namun aku coba tegar, coba untuk kuat. Tapi aku hanyalah wanita biasa. "Ya, ya,,, aku tau. Maka dari itu aku minta maaf. Kita bisa memperbaikinya demi anak anak kita" rengeknya dengan wajah memelas. Rasanya aku ingin menghancurkan wajahnya hingga tak berbentuk. Dengan alasan buat anak-anak dia mengatakan hal itu penyesalan. Dulu dimana hal itu? Apa nggak terpikirkan jika perpisahan itu akan terjadi seperti ini pada AKHIRNYA. "AKU TIDAK INGIN MEMBAHAS HAL YANG NGGAK PETING!" kemudian aku berlalu dari hadapannya. Mulai hari ini aku akan tidur terpisah dengan mereka dan aku akan tidur dikamar Shinta putriku karena aku merasa lebih nyaman. * Saat bangun pagi, sudah ku siapkan sarapan untuknya. Seperti biasanya saat sarapan bersama kini tidak ada kehangatan seperti biasanya bersama anak-anak. "Aku akan pulang malam!" Ujarnya saat menyelesaikan sarapannya. Dia tidak menanyakan minuman yang biasa aku siapkan untuk saat akan beraktivitas. Aku hanya tersenyum kecut menanggapinya. Terserah! Aku juga tidak peduli jikapun dia pulang malam ataupun pulang larut malam sekalipun. "Kenapa diam? Kau anggap apa aku ini?" Dia tampak kesal melontarkan kata-kata. Ku tanggapi dengan tenang. Tersenyum kecil padanya. "Lalu apa yang kau inginkan?" Ucapku balik bertanya. Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dibahas kali ini karena hubungan ini secara perlahan akan RETAK pada akhirnya hanya ada k perceraian yang terjadi karena sudah tidak bisa diperbaiki lagi. "Aku tidak ingin bertengkar lagi hari ini!" dengusnya. Aku juga tidak ingin menanggapinya lagi. "Aku pergi" ia pun berlalu dan pergi. Lagi, aku tersenyum getir saat kepergian hingga rumah ini terasa sepi dan hampa. "Ayah, ibu, kini aku baru menyadarinya apa yang pernah kalian katakan tentang mas Restu" tak terasa air mataku bergulir secara. Teringat akan ucapan orang tuaku terutama ibuku. "Nak, apa tidak terlalu cepat keputusan yang kamu ambil. Pikirkan dulu, ini demi kebaikanmu. Ibu tidak menghalangi untuk menikah. Tapi, kamu perlu mengenal lebih dekat. Ibu merasa khawatir denganmu, entah mengapa ibu belum bisa melepasmu untuk menikah dengan Restu. Sebaiknya kamu pikirkan nak sebelum pada akhirnya nanti kamu menyesali keputusanmu ini" pesan ibu kala itu. Air mataku makin deras bergulir. Hupffff... Kini aku mulai mengemasi barang-barangku, sedikit demi sedikit agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi mas Restu. Terlebih rumah begitu sepi. Mulai saat ini aku tidak akan mengemis lagi cinta pada mas Restu, dan aku akan pergi menjauh, menghilang untuk selama-lamanya. Ada telpon masuk. "Hallo, ya,,," "Laki-laki tak tau diri! Bukankah ibu dulu pernah memperingatimu. Sekarang kau sadar, bukan" "Apa ingin aku bereskan laki laki tak tau diri itu?" sentak suara diseberang sana yang lagi menelpon, penuh amarah yang bergejolak. "Tidak. Jangan!" cegahku karena jika hal itu dilakukannya maka selesai sudah nasib mas Restu. Aku tidak mau hal itu terjadi padanya. "Apa maksudmu? Kamu masih melindunginya setelah menyakitimu. Buat apa?" "Itu urusanku" "Iya, tapi buat apa kamu melindunginya seperti ini? Apa ingin kamu semakin terpuruk. Dia sudah berani SELINGKUH dihadapanmu, tapi kamu masih memberi kesempatan. Aku tidak tahu jalan pikiranmu kemana? Jika kamu mengatakan satu kalimat saja, maka aku akan MELENYAPKAN DARI MUKA BUMI INI karena apa yang telah dilakukannya padamu! Apakah kamu masih memberinya kesempatan?" "Tidak. Karena dia sudah menalakku tiga. Dan itu tidak bisa dirubah. Aku hanya ingin dia tersadar atas apa yang telah dia lakukan padaku" "Lalu apa yang kamu inginkan sekarang?" "Biarkan saja dia. Toh, aku sudah mulai menjauh" "Apa kamu tidak mau memberinya pelajaran?" "Itu rencana ku. Aku akan memberi pelajaran padanya!" "Bagaimana dengan wanita selingkuhannya?" "Dia tidak selevel denganku!" "Apa perlu diberi pelajaran juga?" "Itu terserah kamu. Aku tidak peduli lagi. Terlebih aku sudah melepaskan mas Restu. Setiap saat aku bisa saja menggugatnya. Aku juga sudah menghubungi pengacara dan memberi barang bukti tentang perselingkuhan mas Restu" "Kamu masih saja menghormati laki laki tak tahu diri itu. Muak aku mendengarnya" "Laki laki yang sudah selingkuh itu tidak akan pernah sembuh. Aku sudah melepasnya. Aku tidak peduli lagi padanya!" "Bagaimana dengan anak anakmu sekarang?" "Ditempat aman. Mas Restu tidak tahu keberadaan mereka" "Lalu tengah rumah dan harta gono-gini?" "Rumah itu kami beli dengan uang berdua. Namun, aku biarkan saja. Masalah harta gono-gini, aku suruh menyesuaikan pengacara dan sudah diurus" "Ternyata kamu pintar. Kini aku tenang. Tapi, kamu tidak perlu khawatir. Setelah kamu kembali kekeluarga SAYLENDRA maka kamu akan jadi wanita yang tidak akan dipandang remeh lagi. Calon manta suami Restu itu pasti akan menyesalinya seumur hidup karena telah menceraikanmu" Mendengar hal itu aku hanya tersenyum tipis. Diseberang sana orang yang sedang menelponku terdiam juga bersyukur karena kini aku sebentar lagi akan menjadi seorang janda. "Restu itu laki laki buta. Aku tahu siapa Lana itu, hanyalah wanita licik dan picik yang hanya memburu kesenangan dan kejantanan saja. Setelah Restu tak mampu lagi memuaskannya maka dia akan TENDANGNYA" ada kegeraman dibalik kata-katanya. Lagi-lagi aku tersenyum terkulum mendengarnya. Aku hanya menyimak setiap kata-kata yang diucapkannya. "Jadi benar kamu akan PISAH dengan Restu. Kapan?" Tanyanya. Menunggu jawabannya. Mendesah pelan. Berat bagikumengambil keputusan ini. Namun, aku tidak bisa mempertahankannya lagi sekalipun dalam benak ku terbayang-bayang wajah kedua anakku. "Hmmm,,,," gumamku lirih penuh keraguan.©Pertengkaran kembali. *****Seorang disebrang sana menunggu keputusan. Yang pasti tidak sekarang. Nadanya terdengar tidak sabaran. "Supaya kamu disakiti lebih dalam dan melihat laki-laki bajingan itu bermesraan dihadapanmu, baru kamu akan melepaskannya. Begitu?" Sambungnya lagi dengan nada penuh emosi. "Dengan alasan seperti itu kamu masih tetap bertahan. Jikapun kamu mau hari juga kamu bisa pisah dengan bajingan tak tahu diri itu" dia benar meluap emosinya. "Kau tahu, aku sudah muak dengan pencundang tak tahu diri itu. Setelah dia dapat segalanya darimu. Kini dengan terang-terangan menyakiti hatimu selingkuh dengan wanita lain. Lana! Bukakah kau mengenalnya Luna? Dia dulu yang pernah jadi sainganmu untuk memperebutkan laki-laki yang sekarang sudah mencampakkanmu. Apalagi yang kamu pertahankan Luna? Apa?"Tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah dia bicara panjang lebar. "Ayah dan ibu sudah menunggu dirumah. Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari juga dalam waktu lama karena aku s
Bab 01.***** "Ma, kita cerai!" Dengan mudah laki-laki itu mengatakan CERAI didepan mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak dapat berkata apa-apa atas pernyataannya itu, seolah langit runtuh menimpa tubuhku hingga hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku menyangka jika mas Romi, suami yang telah menikahiku hampir lima tahunan lebih menceraikan aku tanpa rasa pertimbangan sama sekali. Air mataku bagai air bah yang menerjang, bercucuran tiada henti. Lidahku kelu, hingga mulutku bungkam memandang nanar dengan rasa tak percaya. Ku usap air mata yang luruh dengan telapak tanganku kasar. Dengan sekuat tenaga ku besarkan hati ini. Menatapnya tajam, mencari kebenaran dari kata-katanya yang terlontar dengan sangat manis namun didalamnya terdapat racun yang amat mematikan. Secara tidak langsung, aku telah menelan racun itu dan hampir membuatku terbunuh seketika. "Yah,,," jawabku singkat, hanya ucapan itu yang meluncur dari bibirku ini. Dengan sedikit anggukan kepala. Kelu
Bab 02. ***** "Ma, bagus banget tempat ini?" Decak kagum Shinta kagum dengan tempat yang ku datangi saat ini. "Iya ma, aku belum pernah datang kesini, ma" mata Rama tampak berbinar. "Hmmm,,, " ada seseorang yang berdehem. Sontak aku menoleh kesumber suara. Ku lihat cewek cantik, mempesona, tubuhnya langsing, penampilannya sangat glamour, dengan belahan dada yang menonjol, sedangkan belahan kakinya yang jenjang, sedikit terekspos, tampak begitu jenjang, mulus. Terlihat begitu angkuh, menatapku seolah menghina dengan penampilanku. "Gak salah ada orang udik datang kesini" sindirnya terasa pedas. Namun, aku tidak ada urusan dengan wanita yang otaknya gak beres ini. Dia pikir, dirinya kayak. Aku kesini juga tidak traktiran dia. "Saya datang kesini bukan minta ditraktir olehmu. Kenapa situ sekali sama saya. Anda pikir orang seperti anda yang bisa datang ke tempat ini?" Aku balik sinis padanya. Orang sepertinya kalau didiemin pasti ngelunjak. "Oh, kau sudah merasa hebat ya.
Bab 03.***** Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untukmu. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa hambar dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasan untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak
Pertengkaran kembali. *****Seorang disebrang sana menunggu keputusan. Yang pasti tidak sekarang. Nadanya terdengar tidak sabaran. "Supaya kamu disakiti lebih dalam dan melihat laki-laki bajingan itu bermesraan dihadapanmu, baru kamu akan melepaskannya. Begitu?" Sambungnya lagi dengan nada penuh emosi. "Dengan alasan seperti itu kamu masih tetap bertahan. Jikapun kamu mau hari juga kamu bisa pisah dengan bajingan tak tahu diri itu" dia benar meluap emosinya. "Kau tahu, aku sudah muak dengan pencundang tak tahu diri itu. Setelah dia dapat segalanya darimu. Kini dengan terang-terangan menyakiti hatimu selingkuh dengan wanita lain. Lana! Bukakah kau mengenalnya Luna? Dia dulu yang pernah jadi sainganmu untuk memperebutkan laki-laki yang sekarang sudah mencampakkanmu. Apalagi yang kamu pertahankan Luna? Apa?"Tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah dia bicara panjang lebar. "Ayah dan ibu sudah menunggu dirumah. Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari juga dalam waktu lama karena aku s
Bab 04. *** Ada luka yang membekas dihatiku ini. Nyeri. Nyeri sekali. Namun, kali ini aku tahan untuk kuat didepannya. Aku tidak ingin terlihat RAPUH dihadapan laki laki yang masih berstatus kan suami, walaupun telah menalak aku ke tahap tiga dan aku masih bersabar untuk itu. Ku berani menatapnya dengan tenang, ingin melihat reaksinya seperti apa? Ku hela nafas pelan. "Sudah" kataku singkat. Dengan tenang. Bahkan senyum pun tidak. Ia tampak tersenyum getir menatapku dengan rasa bersalah yang mendalam. Tapi semua sudah terlambat. Perlu diperbaiki. Apanya? Toh, semua sudah terlontar dan tidak bisa ditarik kembali. Rasa penyesalan mendalam ia rasakan, mungkin ia merasa sangat bersalah karena telah mengatakannya tanpa sadar. "Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku" nadanya serius bahkan sedikit ditekan. Ada getaran yang ia pendam. Aku tersenyum tersenyum. "Setelah kamu mengatakan itu, apa kamu baru menyesalinya?. Apa dulu tidak pernah terpikirkan
Bab 03.***** Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untukmu. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa hambar dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasan untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak
Bab 02. ***** "Ma, bagus banget tempat ini?" Decak kagum Shinta kagum dengan tempat yang ku datangi saat ini. "Iya ma, aku belum pernah datang kesini, ma" mata Rama tampak berbinar. "Hmmm,,, " ada seseorang yang berdehem. Sontak aku menoleh kesumber suara. Ku lihat cewek cantik, mempesona, tubuhnya langsing, penampilannya sangat glamour, dengan belahan dada yang menonjol, sedangkan belahan kakinya yang jenjang, sedikit terekspos, tampak begitu jenjang, mulus. Terlihat begitu angkuh, menatapku seolah menghina dengan penampilanku. "Gak salah ada orang udik datang kesini" sindirnya terasa pedas. Namun, aku tidak ada urusan dengan wanita yang otaknya gak beres ini. Dia pikir, dirinya kayak. Aku kesini juga tidak traktiran dia. "Saya datang kesini bukan minta ditraktir olehmu. Kenapa situ sekali sama saya. Anda pikir orang seperti anda yang bisa datang ke tempat ini?" Aku balik sinis padanya. Orang sepertinya kalau didiemin pasti ngelunjak. "Oh, kau sudah merasa hebat ya.
Bab 01.***** "Ma, kita cerai!" Dengan mudah laki-laki itu mengatakan CERAI didepan mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak dapat berkata apa-apa atas pernyataannya itu, seolah langit runtuh menimpa tubuhku hingga hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku menyangka jika mas Romi, suami yang telah menikahiku hampir lima tahunan lebih menceraikan aku tanpa rasa pertimbangan sama sekali. Air mataku bagai air bah yang menerjang, bercucuran tiada henti. Lidahku kelu, hingga mulutku bungkam memandang nanar dengan rasa tak percaya. Ku usap air mata yang luruh dengan telapak tanganku kasar. Dengan sekuat tenaga ku besarkan hati ini. Menatapnya tajam, mencari kebenaran dari kata-katanya yang terlontar dengan sangat manis namun didalamnya terdapat racun yang amat mematikan. Secara tidak langsung, aku telah menelan racun itu dan hampir membuatku terbunuh seketika. "Yah,,," jawabku singkat, hanya ucapan itu yang meluncur dari bibirku ini. Dengan sedikit anggukan kepala. Kelu