Bab 03.
***** Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untukmu. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa hambar dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasan untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak tidur bersama hingga bangun. Rasanya percuma juga bicara jika pada akhirnya aku salah dimatanya. Bahkan tidak menanyakan anak-anaknya dimana karena saat ini kedua putraku memang tidak bersamaku. 'Bahkan kedua putraku tidak ada pun tidak peduli. Entah apa yang ada dipikirannya saat ini?' "Mulai hari ini aku tidak akan membuat minuman itu lagi untukmu!" ucapku bernada tegas. Dia tidak sadar ramuan yang selalu ku suguhkan untuknya tiap hari mulai hari tidak lagi. Belum juga beranjak. "Kenapa?" Tidak perlu ditanyakan kenapa aku melakukannya. Ingatanku tertuju pada wanita cantik dengan rambut hitam indah yang tergerai, dengan tubuh seksi. Ada rasa yang terasa teriris dalam hatiku. Halus namun sangat pedih, bahkan perihnya sangat terasa hingga detik ini membuat sesak dadaku. Namun, sekuatnya aku menahannya. Aku harus tegar. Aku tidak boleh kalah. Aku tidak ingin menyerah begitu saja dengan hatiku. Aku akan melawannya sekuat tenaga walaupun itu sakit. Air mataku rasanya sudah penuh di peluk mataku, kutahan dengan segenap jiwa raga agar air mata itu tidak tumpah. Aku tidak ingin lemah di hadapan laki-laki telah menghianati. Entah sejak kapan hal itu terjadi aku tidak pernah mengetahuinya?. "Kamu pikir sendiri!" Mas Restu mendengus kasar. "Apa itu berarti buat, setelah apa yang kau lakukan didepan mataku. Apa itu belum cukup? Hal apa lagi yang kau lakukan dibelakang ku selama ini selain perselingkuhan?!" tandasku. Matanya langsung merah, berapi-api. Dulu aku takut jika hal itu terjadi, aku berusaha buat meredakan dan meluluhkan dengan berbagai cara. Tapi tidak kali ini. Aku ingin tahu apa yang akan dilakukannya. Apa akan melakukan kdrt seperti halnya yang terjadi difilm-film atau pun sinetron layar kaca yang sering ku tonton disaat waktu senggang sambil mengejarkan tugas ringan seperti halnya nyetrika. Kini aku merasakan sendiri apa yang ada dilayar kaca itu ternyata kini aku mengalaminya. Sungguh IRONI diatas IRONI. "JANGAN BAHAS ITU LAGI!" suara keras menggelegar. Untung tidak ada anak-anak saat ini sehingga mereka tidak mendengar pertengkaran yang terjadi sekarang. Jika mereka mengetahuinya aku takut mental mereka akan terkena imbasnya. Itu sebabnya aku telah mengirim mereka berdua ke suatu tempat yang aman dan hal itu tidak disadari oleh mas Restu yang akan menjadi mantan suamiku. "Kenapa? Karena aku telah mengetahuinya. Begitu! Bahkan sampai detik ini kedua anakku tidak pernah tahu kelakuan papanya itu seperti apa. Jika mereka berdua tahu, aku tidak tahu apa mereka masih menyakuimu sebagus papanya karena tengah bersama wanita lain!" suara juga ikut naik. Bahkan mataku terasa sudah penuh. Jika hal itu dulu terjadi, maka aku akan menangis sejadi jadinya tetapi tidak kali ini. Pantang bagiku. "Percuma aku debat sama kamu. Lebih baik aku pergi saja!" Ketusnya sambil berlalu dan menghilang dari pandanganku. "TERSERAH,,,!" teriakku. Apa mas Restu mendengarnya atau tidak karena bayangannya pun sudah hilang dari pandanganku. * Hari ini ku bawa kedua anakku liburan ketaman wisata dengan jarak tempuh kurang lebih satu setengah jaman dengan memesan travel yang aku sewa satu hari. Aku tidak ingin kedua anakku Rama dan Sinta merasakan apa yang terjadi padaku akhir-akhir ini kurang baik. Biarlah mereka berdua tidak tahu hingga saatnya nanti mereka berdua mengerti keadaan kami para orang tuanya yang sudah tidak memiliki kecocokan satu sama lain. Bahkan pripsi telah berbeda dan pemicu adalah SELINGKUH. "Ma,,, kenapa matanya merah? Mama habis nangis ya? Papa marahin mama ya?" Tanya Rama saat aku memandangnya dengan tersenyum lembut. Shinta putri kecilku juga tampak heran melihat perubahan ku saat ini. "Mama jangan sedih ya. Kita main seru-seruan. Papa kemana ma?" Seketika aku tercenung. Aku harus mencari alasan yang tepat agar pikiran mereka tidak donw dan metal mereka buruk. "Papa lagi sibuk sayang" itulah kata yang tepat sebagai gambaran papanya saat ini. "Yah, papa gitu. Sibuk mulu" sungut Rama dengan raut kecewa. Pun dengan Shinta saat ku ceritakan tentang papanya. Padahal, tujuanku adalah perlahan lahan menjauhkan mereka berdua dari mas Restu supaya saat berpisah nanti keduanya tidak bergantung lagi pada papanya yang tabiatnya buruk. Mereka berdua tidak tahu kelakuan papanya itu seperti apa dibelakang mereka. Jika mengingat hal itu, hatiku merasa sedih sekali. Aku tidak bisa berbuat apa-apa terlebih untuk memperbaiki keadaan. Karena kini aku sudah di TALAK tiga oleh mas Restu karena ucapan kata CERAI. Seolah mas Restu tidak sadar jika melakukan hal itu dianggap itu hanyalah main-main. Mengapa aku sampai menolaknya ketika di menginginkan aku untuk tidur bersamanya. Karena dia sudah mengatakan kata SAKRAL itu yang begitu LUGAS diucapkannya tanpa berpikir dampak kedepannya itu seperti apa. Bahkan orang tuaku saja belum mengetahuinya. Masih ku pendam dan ku tahan, jika saatnya aku akan mengatakan pada kedua orang tuaku. * Setelah refreshing hari ini berakhir tampak rona kebahagiaan terpancar di wajah kedua Putra putriku saat ini seolah beban yang mereka rasakan sudah tidak ada lagi. Akan tetapi tidak dengan beban yang aku rasakan rasanya seolah menghimpit jiwa ragaku hingga terkadang membuat dadaku terasa sesak. 'Sampai kapan aku menahan semua ini? Apa aku harus diam saja menerima semua perlakuan mas Restu yang menyakitkan? Saat ini aku tidak bisa mengatakan hal ini pada orang tuaku maupun saudara-saudaraku. Apa yang harus ku lakukan?' rasa kegamangan kini menderaku. "Bagaimana tinggal ditempat sekarang, enak, nyaman?" Tanyaku pada keduanya dengan senyum lembut menenangkan. Keduanya mengangguk pasrah, tapi ada hal yang tersirat yang sulit digambarkan. Tentu saja ada secuil kesedihan yang dirasakan mereka karena merasa kehilangan sosok laki-laki yang jadi panutan. "Sudah, sudah. Nanti kalau papa ingat kalian pasti akan mencari kalian" rayuku pada keduanya supaya tidak sedih lagi. Karena perasaan mereka itu sangat sensitif dan dengan cepat mood berubah. "Kalau begitu nanti kita beli hadiah yang kalian mau, gimana?" tawarku untuk mengembalikan mood mereka menjadi baik kembali. Seketika berubah dan bersorak kegirangan. * Akhirnya keduanya ku bawa ke sebuah toko mainan dan memilih mainan yang mereka sukai dengan wajah ceria. Aku pun mengembalikan ketempat yang aman. "Terima kasih ma hadiahnya" ucap keduanya riang. "Ingatnya, jika ada yang mengajak kalian pergi jangan mau kecuali mama" pesanku. "Iya ma" jawab keduanya nurut. Kini aku tenang meninggalkan mereka berdua karena dalam pengawasannya yang aman. * Rumah ini terasa begitu sunyi dan sepi seperti hatiku saat ini yang terasa hampa. Ku hela nafas memendam perasaan. Semua kenangan melihat dipikiranku. Begitu indah hingga membuatku tersenyum pahit. Kini hanyalah tinggal kenangan. Tak terasa air mataku merebak. Clek,,, Lampu ruangan tengah menyala karena ada yang menyalakan. Buru-buru ku hapus supaya tidak terlihat. "Hmmm,,," suara dehem mas Restu dengan wajah lelahnya. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu. Aku hanya terdiam. "Luna,,, aku minta maaf"Bab 04. *** Ada luka yang membekas dihatiku ini. Nyeri. Nyeri sekali. Namun, kali ini aku tahan untuk kuat didepannya. Aku tidak ingin terlihat RAPUH dihadapan laki laki yang masih berstatus kan suami, walaupun telah menalak aku ke tahap tiga dan aku masih bersabar untuk itu. Ku berani menatapnya dengan tenang, ingin melihat reaksinya seperti apa? Ku hela nafas pelan. "Sudah" kataku singkat. Dengan tenang. Bahkan senyum pun tidak. Ia tampak tersenyum getir menatapku dengan rasa bersalah yang mendalam. Tapi semua sudah terlambat. Perlu diperbaiki. Apanya? Toh, semua sudah terlontar dan tidak bisa ditarik kembali. Rasa penyesalan mendalam ia rasakan, mungkin ia merasa sangat bersalah karena telah mengatakannya tanpa sadar. "Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku" nadanya serius bahkan sedikit ditekan. Ada getaran yang ia pendam. Aku tersenyum tersenyum. "Setelah kamu mengatakan itu, apa kamu baru menyesalinya?. Apa dulu tidak pernah terpikirkan
Pertengkaran kembali. *****Seorang disebrang sana menunggu keputusan. Yang pasti tidak sekarang. Nadanya terdengar tidak sabaran. "Supaya kamu disakiti lebih dalam dan melihat laki-laki bajingan itu bermesraan dihadapanmu, baru kamu akan melepaskannya. Begitu?" Sambungnya lagi dengan nada penuh emosi. "Dengan alasan seperti itu kamu masih tetap bertahan. Jikapun kamu mau hari juga kamu bisa pisah dengan bajingan tak tahu diri itu" dia benar meluap emosinya. "Kau tahu, aku sudah muak dengan pencundang tak tahu diri itu. Setelah dia dapat segalanya darimu. Kini dengan terang-terangan menyakiti hatimu selingkuh dengan wanita lain. Lana! Bukakah kau mengenalnya Luna? Dia dulu yang pernah jadi sainganmu untuk memperebutkan laki-laki yang sekarang sudah mencampakkanmu. Apalagi yang kamu pertahankan Luna? Apa?"Tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah dia bicara panjang lebar. "Ayah dan ibu sudah menunggu dirumah. Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari juga dalam waktu lama karena aku s
Bab 01.***** "Ma, kita cerai!" Dengan mudah laki-laki itu mengatakan CERAI didepan mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak dapat berkata apa-apa atas pernyataannya itu, seolah langit runtuh menimpa tubuhku hingga hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku menyangka jika mas Romi, suami yang telah menikahiku hampir lima tahunan lebih menceraikan aku tanpa rasa pertimbangan sama sekali. Air mataku bagai air bah yang menerjang, bercucuran tiada henti. Lidahku kelu, hingga mulutku bungkam memandang nanar dengan rasa tak percaya. Ku usap air mata yang luruh dengan telapak tanganku kasar. Dengan sekuat tenaga ku besarkan hati ini. Menatapnya tajam, mencari kebenaran dari kata-katanya yang terlontar dengan sangat manis namun didalamnya terdapat racun yang amat mematikan. Secara tidak langsung, aku telah menelan racun itu dan hampir membuatku terbunuh seketika. "Yah,,," jawabku singkat, hanya ucapan itu yang meluncur dari bibirku ini. Dengan sedikit anggukan kepala. Kelu
Bab 02. ***** "Ma, bagus banget tempat ini?" Decak kagum Shinta kagum dengan tempat yang ku datangi saat ini. "Iya ma, aku belum pernah datang kesini, ma" mata Rama tampak berbinar. "Hmmm,,, " ada seseorang yang berdehem. Sontak aku menoleh kesumber suara. Ku lihat cewek cantik, mempesona, tubuhnya langsing, penampilannya sangat glamour, dengan belahan dada yang menonjol, sedangkan belahan kakinya yang jenjang, sedikit terekspos, tampak begitu jenjang, mulus. Terlihat begitu angkuh, menatapku seolah menghina dengan penampilanku. "Gak salah ada orang udik datang kesini" sindirnya terasa pedas. Namun, aku tidak ada urusan dengan wanita yang otaknya gak beres ini. Dia pikir, dirinya kayak. Aku kesini juga tidak traktiran dia. "Saya datang kesini bukan minta ditraktir olehmu. Kenapa situ sekali sama saya. Anda pikir orang seperti anda yang bisa datang ke tempat ini?" Aku balik sinis padanya. Orang sepertinya kalau didiemin pasti ngelunjak. "Oh, kau sudah merasa hebat ya.
Pertengkaran kembali. *****Seorang disebrang sana menunggu keputusan. Yang pasti tidak sekarang. Nadanya terdengar tidak sabaran. "Supaya kamu disakiti lebih dalam dan melihat laki-laki bajingan itu bermesraan dihadapanmu, baru kamu akan melepaskannya. Begitu?" Sambungnya lagi dengan nada penuh emosi. "Dengan alasan seperti itu kamu masih tetap bertahan. Jikapun kamu mau hari juga kamu bisa pisah dengan bajingan tak tahu diri itu" dia benar meluap emosinya. "Kau tahu, aku sudah muak dengan pencundang tak tahu diri itu. Setelah dia dapat segalanya darimu. Kini dengan terang-terangan menyakiti hatimu selingkuh dengan wanita lain. Lana! Bukakah kau mengenalnya Luna? Dia dulu yang pernah jadi sainganmu untuk memperebutkan laki-laki yang sekarang sudah mencampakkanmu. Apalagi yang kamu pertahankan Luna? Apa?"Tidak dapat berkata apa-apa lagi setelah dia bicara panjang lebar. "Ayah dan ibu sudah menunggu dirumah. Maaf, aku tidak bisa menemuimu hari juga dalam waktu lama karena aku s
Bab 04. *** Ada luka yang membekas dihatiku ini. Nyeri. Nyeri sekali. Namun, kali ini aku tahan untuk kuat didepannya. Aku tidak ingin terlihat RAPUH dihadapan laki laki yang masih berstatus kan suami, walaupun telah menalak aku ke tahap tiga dan aku masih bersabar untuk itu. Ku berani menatapnya dengan tenang, ingin melihat reaksinya seperti apa? Ku hela nafas pelan. "Sudah" kataku singkat. Dengan tenang. Bahkan senyum pun tidak. Ia tampak tersenyum getir menatapku dengan rasa bersalah yang mendalam. Tapi semua sudah terlambat. Perlu diperbaiki. Apanya? Toh, semua sudah terlontar dan tidak bisa ditarik kembali. Rasa penyesalan mendalam ia rasakan, mungkin ia merasa sangat bersalah karena telah mengatakannya tanpa sadar. "Aku benar-benar minta maaf sama kamu. Maukah kamu memaafkan aku" nadanya serius bahkan sedikit ditekan. Ada getaran yang ia pendam. Aku tersenyum tersenyum. "Setelah kamu mengatakan itu, apa kamu baru menyesalinya?. Apa dulu tidak pernah terpikirkan
Bab 03.***** Tidak tahu jalan pikirannya saat ini. Walaupun masih dengan berat hati, aku masih menyiapkan sarapan pagi untukmu. Walaupun tidak ada senyum atau pun sapa seperti biasanya sehingga rumah ini terasa hambar dan hampa seolah tidak ada penghuninya. Bahkan aku tidak percaya jika orang yang hidup bersamaku hampir enam tahun punya pikiran untuk selingkuh. Kurang apa aku? Cantik? Tentu bukan alasan. Cantik itu relatif dari sudut pandang seseorang yang menilainya. Tidak perlu aku tanyakan hal itu padanya. Lebih baik aku pendam untuk selamanya. "Hari ini aku tidak pulang. Ada lembur dikantor" ucapnya datar. Tidak ku balas, hanya senyum getir yang bisa ku berikan. Karena itu hanyalah alasan untuk selingkuh. Lalu, tampak dia seperti sadar. "Mana minuman yang biasa aku minum itu?" Ia mencari sesuatu yang tak ku suguhkan. Tidak ku jawab... "Kamu budek!" Aku hanya berlalu dan mencuci perabotan kotor yang ku pakai buat tadi untuk masak. Dia tampak kesal ku abaikan sejak
Bab 02. ***** "Ma, bagus banget tempat ini?" Decak kagum Shinta kagum dengan tempat yang ku datangi saat ini. "Iya ma, aku belum pernah datang kesini, ma" mata Rama tampak berbinar. "Hmmm,,, " ada seseorang yang berdehem. Sontak aku menoleh kesumber suara. Ku lihat cewek cantik, mempesona, tubuhnya langsing, penampilannya sangat glamour, dengan belahan dada yang menonjol, sedangkan belahan kakinya yang jenjang, sedikit terekspos, tampak begitu jenjang, mulus. Terlihat begitu angkuh, menatapku seolah menghina dengan penampilanku. "Gak salah ada orang udik datang kesini" sindirnya terasa pedas. Namun, aku tidak ada urusan dengan wanita yang otaknya gak beres ini. Dia pikir, dirinya kayak. Aku kesini juga tidak traktiran dia. "Saya datang kesini bukan minta ditraktir olehmu. Kenapa situ sekali sama saya. Anda pikir orang seperti anda yang bisa datang ke tempat ini?" Aku balik sinis padanya. Orang sepertinya kalau didiemin pasti ngelunjak. "Oh, kau sudah merasa hebat ya.
Bab 01.***** "Ma, kita cerai!" Dengan mudah laki-laki itu mengatakan CERAI didepan mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun. Aku tidak dapat berkata apa-apa atas pernyataannya itu, seolah langit runtuh menimpa tubuhku hingga hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku menyangka jika mas Romi, suami yang telah menikahiku hampir lima tahunan lebih menceraikan aku tanpa rasa pertimbangan sama sekali. Air mataku bagai air bah yang menerjang, bercucuran tiada henti. Lidahku kelu, hingga mulutku bungkam memandang nanar dengan rasa tak percaya. Ku usap air mata yang luruh dengan telapak tanganku kasar. Dengan sekuat tenaga ku besarkan hati ini. Menatapnya tajam, mencari kebenaran dari kata-katanya yang terlontar dengan sangat manis namun didalamnya terdapat racun yang amat mematikan. Secara tidak langsung, aku telah menelan racun itu dan hampir membuatku terbunuh seketika. "Yah,,," jawabku singkat, hanya ucapan itu yang meluncur dari bibirku ini. Dengan sedikit anggukan kepala. Kelu